Mantra Pikat

Adine Indriani
Chapter #9

#Bermalam

Untuk pertama kalinya aku melihat sinar yang lebih terang dari mentari dan bintang-bintang. Merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang memuncak ketika mencumbunya. Gilang.

***

"Kak Edo, tolong kita enggak bisa pulang. Anak-anak digebukin sama UNJ," seru Bedul di telepon meminta bantuan.

"Serius, Lu?? Di mana??" ujar Edo terkesiap.

"Gama."

"Tunggu, gw bawa Senior semua ke sana."

Beberapa panitia membawa Tim Mercusuar ke salah satu gedung di lantai dua. Mereka menaiki tangga untuk sampai ke sana dan menempatkan mereka dalam satu ruangan, selagi berkomunikasi aktif dengan panitia lainnya dengan walkie talkie yang terus berdengung. Tak lupa, meminta kepolisian untuk segera datang memberikan bantuan. Reyka, Kiki dan teman-teman cukup merasa ketakutan karena terjebak di dalam kampus, terlebih mereka tak bisa menghubungi supir Bus Kampus yang berada di parkiran luar. Mereka berpikir tak akan bisa pulang sampai pembuat kerusuhan itu meninggalkan tempat. Mereka pun menghubungi Orang tua masing-masing untuk memberitahukan kejadiannya.

"Kak, gimana Pak Budi apa kondisinya aman?" tanya Cotch.

"Tenang, Cotch. Supir Kampus sudah kita amankan di dalam. Cuma Busnya belum bisa kita masukin, karena mereka sengaja nunggu di sana," jelas salah satu Panitia.

"Ya Allah, ngapain sih mereka belum pulang juga," protes lainnya.

"Gimana kalau kita enggak bisa pulang," ringis lainnya.

"Bu, Rey nggak pulang ya, Rey nginep di rumah temen," bisiknya di telepon.

"Kenapa, Rey? Ayahmu bisa jemput kok biar pun agak jauh," jawab Ibu.

"Nggak usah, Bu. Besok pagi Rey pulang kok," tambah Rey.

"Ya udah, Rey. Kamu hati-hati ya." Itu terakhir percakapan Reyka dengan Ibuanya sebelum terputus karena lowbat.

***

Sementara itu di tempat lain.

Seluruh tubuhnya merasakan adrenalin yang memuncak, baru kali ini Gilang merasakan darahnya mendidih dan bergetar karena suatu kabar yang didengarnya. Di dalam hatinya ia begitu mengkhawatirkan sesuatu yang buruk akan menimpa Reyka. Jika sesuatu terjadi kepadanya, ia akan lebih menyesali ketimbang perbuatannya selama ini yang mengabaikannya. Perasaan bersalah itu mengiringi setiap langkah Gilang menuju kendaraannya. Lebih baik gue aja yang kenapa-kenapa, jangan dia, Tuhan.

“Lang, lu mau ke mana?” pekik Edo dan Rian di ambang pintu.

“Jemput, Reyka,” jawab Gilang sambil membuka pintu mobil.

“Kita nyusul di belakang, lu,” teriak Edo sambil menepuk bahu Rian mengajaknya. Rian menuruti anggukan itu.

Kendaraan Gilang melesat dengan cepat keluar dari Kampus. Penjaga Kampus sempat menghentikan laju yang terlalu kencang itu, tetapi motor di belakang yang dikendarai Edo berboncengan dengan Rian memperingati Penjaga untuk membiarkannya. Penjaga mengerti kode dari Edo yang harus pergi karena hal darurat. 

Dari balik kasa spion mobilnya, ia sempat melihat Edo memberitahukan sesuatu kepada Penjaga. Sebuah anggukkan langsung pertanda pesan itu telah dimengerti oleh Penjaga yang sudah lama bekerja di sana. Lalu, Penjaga itu merogoh gawai di kantong celananya dan menghubungi seseorang atas perintah Edo yang segera menyusul Gilang ke jalanan.

Gilang memacu kendaraannya lebih cepat di ruas tol, ia harus berpisah dengan Edo dan Rian yang hanya bisa melewati arteri. Ia hanya ingin lebih cepat sampai ke Universitas Gama yang ada di pusat kota. Tak peduli jika kecepatannya sudah melebihi rambu-rambu yang memperingatinya.

Geberan gas yang terus memacu hingga batas maksimal membuat Gilang mengemudi secara ugal-ugalan. Ia sangat mengkhawatirkan Reyka yang sedang ketakutan dalam situasi itu. Memasuki jalan utama menuju area Universitas Gama, terlihat sunyi. Kedua matanya yang awas mendelik-delik situasi, di kanan, kiri dan samping belakang. Di mana Para Pengacau itu berada?!

Pelan-pelan kendaraan itu melintasi sisi dinding tinggi sebelum pintu gerbang Kampus Gama. Gilang melihat situasi yang tertutup rapat, terlihat cukup senyap. Ketika sampai di depan gerbang, Honda hijau itu mendadak dihalau oleh beberapa orang dan mendapatkan serangan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Gerombolan itu berusaha untuk mencegah mobil Gilang masuk ke dalam. Mereka juga memaksa Gilang untuk turun dari sana.

Buk-Buk-Buk!

Seruan yang mengancam gerombolan orang-orang yang memukuli mobilnya dengan kayu.

“Keluar nggak, loh!” ancam Orang yang berpostur kurus dan hitam dengan mata menyala itu.

“Lo, anak mana? Keluar!” tuntut mereka semuanya.

Di dalam mobil, Gilang terjebak dengan kepungan orang-orang. Jika ia ke luar dari mobil akan mati konyol. Namun, jika hanya berdiam diri di dalam, hasilnya pun akan sama. Orang-orang itu sudah tak sabar menunggunya keluar untuk memberinya pelajaran. Bahkan, mereka semakin beringas membuat kerusakan pada badan mobil. 

Sorot mata Gilang fokus kepada jalan masuk ke dalam, ia tak peduli jika harus baku hantam dengan gerombolan bengis ini, demi mengeluarkan Reyka dari sana. Gilang pun membuka pintu mobilnya dan menghadapi satu per satu yang menyerangnya. Kemunculan Gilang disambut dengan pukulan keras ke arah kepala dan wajahnya. Gilang berusaha menangkis dan memberi tendangan tanpa bayangannya. Salah satu darinya tersungkur ke belakang. Selang beberapa menit, Edo dan konvoi kendaraan yang membawa hampir setengah senior di kampus menyerbu berniat memberikan serangan balasan.

Woiiii, ngapain loh!!

Hajaaarrrr!

Seruan Edo mengajak teman-temannya membalas serangan Orang-orang itu.

Edo membawa pasukan motor di belakangnya. Motor-motor itu digeletakkan di jalanan dan menggempur gerombolan yang sedang mengeroyok Gilang. Mereka membantu Gilang yang di serang lima orang sekaligus. Meskipun, lawan-lawannya yang berdarah-darah tetapi Gilang terlihat kelelahan menghadapi sendirian. Tak lama gemburan balasan Edo dan teman-teman disambut pula serangan balasan yang datang dari arah dalam. Kini, mereka bertempur di depan gerbang. 

Gilang menjungkirkan seseorang yang berusaha menyerangnya dari belakang, selagi Gilang membuka gerbang itu agar kendaraannya bisa masuk. 

Edo melindunginya dan membalas serangan itu. 

“Lang, pergi sana jemput Reyka,” teriak Edo memberi perintah. Pukulan ke wajah dan perut penyerang itu berhasil membuatnya mengaduh. Edo melumpuhkan orang itu dengan dua jurus.

“Lu, nggak apa-apa?” tanya Gilang sambil menendang seseorang. 

“Pake nanya lagi, lu nggak lihat gw sibuk,” protes Edo yang sedang sibuk berkelahi.

Gilang masuk ke dalam mobil dan mengemudikannya ke dalam, terpaksa meninggalkan teman-temannya dalam pertarungan. Ia memasuki gedung yang sepi dan memutari gedung hingga sampai di belakang di mana lapangan basket, tenis dan lapangan voli yang terlihat sepi. Hanya tersisa jejak porak poranda bekas minuman, kerikil dan sampah yang berserakan.

Lihat selengkapnya