Mentari senja telah memudar. Kini giliran bulan merangkak menaiki tangga langit. Cahayanya menyapu langit, menyinari alam yang tengah beristirahat lelap menanti kehadiran sang fajar. Di dalam kamar yang lebih tepat disebut perpustakaan, Bima sedang sibuk mengemas barang-barang yang akan dibawa untuk keberangkatan esok hari. Tas-tas besar dan tak lupa kantong-kantong berisi makanan ringan sebagai teman perjalanan jauh dengan menggunakan kapal laut yang membosankan pun sudah tersusun rapi di sudut ruangan. Bima sekeluarga akan pergi mengunjungi Nenek di desa yang berada ratusan kilometer jauhnya di luar pulau sana.
Malam hari saat keluarga kecil itu sedang berkumpul, melepas lelah sehabis mengemas barang, Ayah mengatakan bahwa Nenek acap kali menelepon ke rumah beberapa waktu belakangan ini. Tampak rona kemerahan terpancar di wajah Ayah sewaktu bercerita mengenai ibu dan kampung halamannya tercinta itu, yang sejak meninggalnya Kakek lima belas tahun silam tak pernah lagi mereka kunjungi. Nenek memang lebih senang menghabiskan masa tuanya di sebuah rumah kecil di perdesaan yang berada tepat di bawah kaki Gunung Rajabasa, Lampung Selatan. Meski sudah berkali-kali diminta untuk pindah ke kota bersama anak-cucunya, Nenek tak pernah sudi meninggalkan rumah tua yang telah banyak menyimpan kenangan hari-hari senjanya bersama sang suami tercinta—seorang mantan pejuang pada masa pra-kemerdekaan.
Dan kini Nenek ingin mereka datang ke tempat itu. Dia tak mampu menahan rindu, ingin berjumpa dengan kedua cucunya yang mulai beranjak dewasa: Bima dan adik perempuannya Tiara. Kedua kakak beradik yang hanya terpaut selisih hitungan bulan itu tak ubahnya seperti teman sebaya. Bima si sulung, seorang mahasiswa jurusan sastra yang harus menyelesaikan skripsinya sebelum tahun ajaran baru dimulai, dan si bungsu Tiara, mahasiswi jurusan psikologi di universitas negeri ternama. Keduanya memiliki minat yang sama hampir di segala hal: novel, kesenian, sejarah dan politik adalah hal yang amat akrab bagi keduanya. Bahkan kini, ketika Bima mulai keranjingan mempelajari segala hal tentang filsafat, Tiara pun tak segan mengikuti jejak sang kakak dan memulai menghabiskan hari demi hari membaca setumpukan buku berbau filsafat.
Di balik kedekatan dan banyak kesamaan yang mereka miliki tidak serta merta menjadikan mereka adik kakak yang akur. Kedua kakak-beradik itu adalah perwujudan nyata dari air dan minyak yang tidak bisa menyatu. Sifat gadis mungil berambut ikal yang lincah dan cerewet itu berbanding terbalik dengan Bima, lelaki muda bertubuh jangkung yang cuek dan kaku. Bagi Tiara kakaknya adalah orang paling cuek yang pernah ia temui, dengan nada bicara yang selalu ketus. Sementara bagi Bima adiknya adalah anak kecil cerewet yang menyebalkan dan terkadang harus dihindari. Tetapi di balik itu semua, sebenarnya mereka saling memperhatikan dan menjaga satu sama lain, meski dari jauh dan dalam diam.
Kembali ke cerita Ayah mengenai Nenek tadi. Sekalipun hal yang diucapkan Ayah benar demikian—bahwa Nenek rindu kepada dirinya dan adiknya—tetapi Bima sama sekali tidak mengenal sosok Nenek, bahkan mengingat-ingat kembali wajahnya saja dia tak mampu. Dirinya masih terlalu kecil sewaktu terakhir kali berkunjung ke desa. Sosok Nenek yang terlintas di kepalanya adalah sesosok wanita tua renta; berjalan dengan tongkat; dan suka mengoceh seenaknya.
"Apa kamu ingat wajah Nenek saat terakhir kali kita ke sana?'' tanya Bima keluar kamar sambil berdeham kecil, lalu duduk perlahan di samping Tiara yang tengah sibuk bersama telepon genggamnya di ruang tengah.
"Bagaimana mungkin aku bisa lupa," jawab Tiara dengan nada datar, matanya tetap terpaku menatap layar ponsel tanpa melirik sedikitpun ke arah Bima.
"Kira-kira seperti apa wajahnya kini, ya?"
"Aku yakin seyakin-yakinnya wajahnya pasti mirip seperti nenek-nenek."
"Sepertinya aku bertanya pada orang yang salah," lirih Bima kesal.
Dengan wajah masam ia lantas beranjak menuju teras. Di teras depan Ayah dan Ibu sedang menikmati sapaan angin malam yang sejuk ditemani segerombolan nyamuk yang hilir mudik menggerayangi sepasang tungkai paha yang hanya tertutup celana pendek. Mereka pasti memiliki jawaban yang sedikit menyenangkan dan memuaskan hatinya, bukan jawaban asal-asalan.
"Bu, berapa umur Nenek sekarang?" tanya Bima yang seketika muncul keluar dari dalam ruang tamu.
Ibu berpikir sejenak, matanya nyalang menatap jauh ke luar. "Entahlah, mungkin sekitar 80 tahun."
"Tepatnya 84 tahun," timpal Ayah cepat. "Ada apa?"
Bima berpaling pada Ayah yang sedang kipas-kipas dengan koran dan sesekali menepuk paha yang dihinggapi nyamuk malam yang nakal.
"Apa ingatannya masih baik, Yah?"
Sambil mengerutkan dahinya Ayah menjawab, "Tentu saja. Kalau tidak, bagaimana mungkin ia bisa menelpon ke rumah."
"Kalau umur Kakek?"
"Kalau Ayah tidak salah ingat, mereka hanya terpaut selisih satu tahun."
"Kamu kelihatannya sudah tidak sabar bertemu Nenek ya," goda Ibu melihat kedua mata anaknya berbinar terkena pantulan cahaya lampu teras.
"Tidak juga. Aku cuma penasaran saja karena sudah lama tidak pergi ke desa."
"Terakhir kali kita pergi ke sana umurmu baru tujuh tahun." Ayah mengingat-ingat. "Kamu pasti betah berada di sana, hawanya sejuk dan bersih tidak seperti di Jakarta. Apalagi di sana juga sepi, kamu kan paling tidak suka keramaian."
"Kira-kira apa reaksi Nenek kalau melihat cucunya sekarang sudah sebesar ini ya?" Ibu ikut menambahkan.
"Dia pasti kaget, tidak menyangka bayi merah itu sekarang sudah tumbuh jadi pria dewasa," jawab Ayah sambil diiringi senyuman kecil melirik Bima.
"Aku jadi makin tidak sabar pergi ke sana. Bertemu Nenek dan menikmati alam yang bersih dan yang terpenting masih sepi, tidak banyak orang. Aku bisa bebas menyendiri sepanjang hari tanpa hal bising semacamnya."
Ibu tergelak, "Kalau itu tak perlu jauh-jauh pergi ke desa, setiap hari Ibu perhatikan yang kamu lakukan juga hanya mengurung diri di kamar sambil melamun di depan laptop."
Tanpa membalas sindiran itu, ia langsung beringsut pergi ke kamarnya melewati Tiara yang masih sibuk menatap layar telepon genggam di ruang tengah.
Di kepalanya kini terdapat dua sosok yang membuatnya penasaran. Ia mencoba menggali kembali ingatan masa kecilnya pada saat terakhir kali mengunjungi desa. Ingatan akan kedekatannya dengan kedua kakek dan neneknya. Namun ia sama sekali tidak mendapat gambaran apa pun tentang kedua sosok tersebut. Yang dia ingat hanya peti jenazah dan tangis orang-orang di sekitarnya pada hari meninggalnya Kakek, lima belas tahun silam. Selebihnya tidak ada lagi yang dapat diingat.
Malam makin larut, Bima masih terjaga. Sekelumit pertanyaan masih mengawang-awang di pikirannya. Entah perasaan apa yang melanda jiwanya, tapi sungguh membuatnya gelisah tak karuan. Semakin ia melawan rasa gundahnya, semakin sulit untuk bisa tidur.
Dengan satu gerakan ia meloncat dari atas kasur, lalu pergi menuju dapur, membuat segelas susu hangat yang barangkali bisa membuatnya merasa mengantuk. Saat beranjak meninggalkan kamar menuju dapur masih terdengar sayup-sayup suara televisi. Mungkin sang adik juga sulit tidur karena memikirkan hal yang sama dengannya. Mereka memang mempunyai ikatan batin yang kuat sedari kecil.
Begitu ia mendekati sumber suara bising tersebut, tenyata tidak ada siapa-siapa di sana. Barangkali Ayah atau siapa pun itu lupa mematikan televisi dan pergi begitu saja, sungguh tindakan yang ceroboh pikirnya. Matanya tertuju ke layar televisi, sedang berlangsung sebuah film dokumenter sejarah perlawanan pejuang Indonesia melawan tentara sekutu.
"Sungguh sebuah kebetulan... dan ini akan membuatku makin sulit tidur," umpatnya dalam hati. Gambar-gambar hitam putih beserta suara narator yang bercerita tentang perjuangan rakyat Indonesia mengusir tentara sekutu yang heroik membuatnya berdecak kagum, "Kakek pasti berada di sana saat itu."
Ia mulai larut pada perasaan kagumnya itu sampai akhirnya terlelap tidur di kursi sofa yang empuk dengan keadaan televisi masih menyala. Sungguh ceroboh sekali.
***
'Indonesia akan merdeka, Banzai!' Pekikan suara yang membakar semangat terus digelorakan oleh sekumpulan pemuda. Mereka berkumpul di alun-alun kota dengan ikat kepala merah putih di kepala. Di antara para pemuda itu tampak satu pemuda yang berpenampilan paling mencolok diantara yang lainnya. Pemuda tersebut mengenakan seragam berwarna cokelat muda yang berkerah besar dengan sabuk hitam terikat di pinggangnya. Ia tengah berdiri di atas anak tangga, posisinya menjadi lebih tinggi dari para pemuda lain yang berjajar menghadapnya, melakukan orasi penuh percaya diri.
"Saudara-saudaraku kita sudah mencapai titik akhir perjuangan kita. Tidak ada jalan untuk mundur, tidak ada waktu untuk meragu, di depan sudah terbentang jalan untuk meraih kemenangan kita. Kemenangan yang hakiki, yang kita rebut sendiri dengan mengorbankan nyawa. Kita semua adalah Tentara Allah, pasukan yang dipilih oleh-Nya untuk mempersembahkan kemerdekaan bagi bangsa ini. Sekali merdeka, tetap merdeka! Merdeka selamanya!"
"Merdeka selamanya! Merdeka selamanya!" Dengung seluruh pemuda di tempat itu.
Orasi berapi-api penuh semangat dan teriakan riuh rendah pada pemuda yang lain seketika terhenti oleh teriakan seorang pemuda yang berlari di ujung jalan. "Bima, kita harus segera berangkat!" Seru salah seorang pemuda yang berlari menembus kerumunan masa dan mendekati sosok pemuda yang tengah menyampaikan orasinya itu.
"Apa waktunya telah tiba?" gumam pemuda itu menghentikan orasinya.
Dengan wajah pucat pasi dan napas terengah-engah, si pemuda yang tadi berlari seperti kuda liar itu berujar, "Shodancho dan yang lain telah menunggu, kita harus berangkat sekarang!"
Mendengar hal itu sang pemuda turun dari anak tangga, kakinya kini kembali menapak tanah dan posisinya sejajar dengan semua pemuda di tempat itu. Ia memimpin pemuda lainnya untuk segera bersiap bergabung dengan pasukan lain yang telah menunggu mereka.
"Akhirnya waktunya tiba," ujarnya memulai dengan nada pelan memecah keheningan. "Apa pun yang terjadi kita semua telah siap, jangan biarkan diri kalian dipenuhi rasa takut sedikit pun. Di belakang kita ada doa-doa dari orang-orang yang kita cintai, yang senantiasa menunggu kita pulang. Jangan kecewakan mereka. Tujuan utama kita adalah merdeka, merdeka selamanya!"
Pemuda itu berteriak lantang dengan mengangkat satu tangannya ke udara. Sontak saja perkataan tersebut kembali mampu membakar semangat para pemuda lain. Dengan derap langkah berani mereka meninggalkan sudut kota, menuju ke suatu tempat.
Di suatu tempat yang berupa hamparan padang rumput yang luas dan dikelilingi pohon-pohon tinggi menjulang tak berdaun, kawanan burung pemakan bangkai terbang tinggi berputar-putar di atas kepala. Mengintai dengan mata menyelidik. Di bawah sana, barisan prajurit sedang berdiri tegak menantang angin yang berhembus kencang ke arah mereka. Jumlah mereka lebih dari seratus atau bahkan lebih dari dua ratus orang.
Di hadapan mereka berbaris pula tank-tank lapis baja yang siap meletupkan ledakan dari lubang moncongnya yang ganas. Namun mereka tidak gentar sama sekali, tidak ada guratan kegelisahan di wajah mereka. Sekalipun mereka hanya bermodalkan sebilah bambu runcing.
Si pemuda tadi juga ada di tengah-tengah barisan. Dia berada di barisan paling depan, mengentak-entakkan bambunya ke tanah, membuat irama ketukan yang bertalu-talu seperti musik pengiring tarian perang, dan diikuti oleh semua orang di padang rumput tersebut.
Satu per satu tank belapis baja mulai merambat dengan lambat dari balik perbukitan. Para prajurit yang bermodalkan bambu runcing bersiap di tempatnya. Iringan kendaraan lapis baja kian mendekat bersiap menggilas mereka. Melalui satu aba-aba dari seorang panglima yang menunggangi kuda putih berpelana emas, para prajurit itu berlari menerjang barisan tank yang melaju. Lalu akhirnya...
Tepukan tangan Tiara menguncang-guncang bahunya, membuyarkan semua gambaran tentang peristiwa tadi yang begitu nyata. Dia terus menggoyangkan badan Bima meski tahu bahwa kakaknya sudah bangun.
"Hei bangun, kamu tidak lupa hari ini kita harus pergi ke desa kan!?"
Bima membuka matanya perlahan, pandangannya tertuju pada wajah Tiara yang membuatnya gusar. Kemudian dia memalingkan pandangannya ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
Tadi itu benar-benar mimpi yang amat nyata, pikirnya. 'Bima' adalah nama yang sama dengan dirinya, lalu siapakah sosok 'Bima' di mimpinya tadi. Rasa curiganya mengarah kepada sosok Kakek, mengingat sewaktu kecil dulu Ayah pernah berujar bahwa nama Bima diberikan oleh Kakek. Mungkinkah nama mereka benar-benar sama?
"Jangan pasang wajah dungu seperti itu, kukira kamulah yang paling semangat ingin pergi awalnya," lirih Tiara melepas tangannya dari bahu Bima.
Memang Bima amat menunggu hari ini, namun terbangun pada saat sedang menikmati mimpi yang membuatnya penasaran sepanjang malam malah membuatnya kesal. Ia masih belum beranjak dari kursi sofa, duduk termangu memikirkan apa yang baru saja dialaminya.
Mimpi tadi sungguh nyata, bahkan ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri dalam mimpinya. Tiap sudut kota di mimpi itu masih tergambar jelas dalam ingatannya, tiap wajah para pemuda itu terasa sangat akrab sekali baginya. Bagaimana mungkin mendapat gambaran begitu nyata dalam mimpinya tersebut. Tempat yang tak pernah dikunjungi sebelumnya, orang-orang yang tak pernah dijumpai sebelumnya, tapi amat lekat dalam ingatannya.
***
Setelah melewati perjalanan yang melelahkan mereka akhirnya tiba di dermaga penyeberangan Merak-Bakauheuni. Kapal besar bersandar di tepi laut, disirami oleh cahaya mentari senja. Sejauh mata memandang hanya terdapat lautan manusia dengan wajah muram hilir mudik membawa tas-tas besar.
Ternyata tidak seperti perjalanan menggunakan kapal kelas eksekutif yang dipikirkannya sebelumnya, begitupun yang dirasakan oleh kedua orangtua dan adiknya. Berdesak-desakan memasuki lorong setapak sungguh pemandangan yang mengerikan. Ditambah dengan tangisan anak-anak dan teriakan sumbang orang-orang yang ingin didahulukan masuk ke dalam kapal, menambah kesan buruk perjalanan kali ini.
Kendati demikian mengeluh tidak akan mengubah apa pun. Ia tahu bahwa orangtua serta adiknya juga merasakan keletihan yang sama. Akan semakin buruk jika mengeluh di waktu yang tidak tepat. Maka berpura-pura seolah menikmati berdesak-desakan di lorong sempit itu adalah jalan yang terbaik.
Kapal besar itu terbagi menjadi sekat-sekat ruangan dengan berbagai fasilitas yang disediakan. Ayah dan Ibu beserta Tiara duduk di kursi deretan depan dekat jendela kapal yang berbentuk bulat seperti kaca serutan. Kepala mereka bersandar di kursi kulit empuk, dan merebahkan tungkai kaki yang lelah.
Sementara Bima memisahkan diri. Ia memilih menikmati pemandangan laut dari atas geledak kapal yang terombang-ambing gelombang laut yang tenang. Bulan terlihat amat jelas seolah persis berada di hadapannya. Sinarnya mulai jatuh memendarkan air laut yang biru menjadi perak. Kelap-kelip lampu-lampu di sepanjang dermaga yang menerangi kepekatan malam melepas kapal itu berlayar ke tengah lautan lepas, bersamaan dengan kawanan burung camar yang pulang kembali ke sarang mereka.
Setelah kurang lebih dua jam terombang-ambing di atas laut, kapal bersandar di tepi pelabuhan Bakauheuni, Lampung Selatan. Mereka kembali harus melanjutkan perjalanan dengan mobil selama 45 menit ke kota Kalianda, tepatnya di Desa Jondong.
Jalanan berkelok aspal menembus lebatnya hutan dan membelah perbukitan menjadi dua. Embun yang menempel di kaca jendela mobil menandakan betapa sejuknya udara di luar sana. Di sepanjang jalan yang berkelok itu hanya terdapat barisan pohon karet yang sudah disadap, meninggalkan luka bekas sayatan pada tiap batangnya.
Jalanan yang gelap dan masih berupa tanah merah berundak-undak memaksa Ayah harus mengurangi kecepatan mobilnya, serta harus lebih waspada terhadap lubang atau bahkan kubangan lumpur yang tak terlihat. Mobil mulai memasuki perumahan warga, dan berbeda dari pemandangan sebelumnya yang hanya terdapat pepohonan hijau, di sini mulai banyak bangunan semi permanen yang seragam dan orang-orang yang berlalu lalang layaknya sebuah aktivitas sehari-hari di desa. Mayoritas mereka tampaknya bekerja di sawah atau kebun, dapat dilihat dari sebuah cangkul yang mereka panggul di pundak, serta keranjang sepeda berisi sayur mayur hasil kebun.
Rumah Nenek berada persis di ujung gang menjadikannya mudah diingat walaupun sudah lima belas tahun tidak pernah dikunjungi. Di rumah yang tanpa pagar itu terlihat pelayan rumah, Mbak Surti telah menanti mereka, berdiri resah lebih dari tiga puluh menit lamanya hingga mobil berhenti tepat di depannya. Mereka pun turun membawa barang bawaan masuk ke dalam rumah, di mana Nenek juga sudah menanti mereka di dalam.