Perjalanan pulang selalu terasa lebih cepat daripada perjalanan sewaktu pergi. Mereka kini telah berada di atas kapal yang sedari tadi bersandar di tepi laut menunggu kedatangan mereka. Hijaunya pepohonan dan selimut kabut putih telah berganti menjadi permadani biru lautan. Tidak seperti kedatangan mereka kemarin, kini kapal lebih tampak lebih lengang. Tidak terlihat lagi pemandangan orang berjubel-jubel mengantre di lorong setapak.
Laut sedang tidak bersahabat sore itu. Angin bertiup kencang mendorong gemuruh ombak menghantam karang dengan keras. Semua penumpang cemas, tapi sang kapten kapal mengisyaratkan bahwa perjalanan akan tetap berlangsung. Ia sudah berpengalaman menghadapi amukan laut selama puluhan tahun.
"Aku ingin turun saja, lebih baik kita menginap sehari lagi di rumah Nenek," seru Tiara menutupi wajahnya dengan bantal.
Ibu memeluknya dengan lembut dan berkata, "Kita akan sampai ke rumah dengan selamat, percayalah."
Memang ketakutan Tiara bukannya tanpa alasan, melihat langit yang seketika berubah menjadi gelap kemerahan. Hujan turun deras dan tersapu oleh kencangnya tiupan angin, serta ombak yang terus bergemuruh mengombang-ambingkan kapal. Sesekali petir juga mencambuk langit, mebelah kegelapan lalu menggelegar bak sebuah bom yang dilemparkan ke udara. Badai akan segera datang.
Ibu terus mendekap erat Tiara yang ketakutan, sementara Ayah berada di sisi ruangan sedang bercakap-cakap dengan para penumpang lain yang juga merasa khawatir dengan hal ini. Sebagai anak lelaki, Bima mencoba tenang dan tidak terlihat panik, walaupun sebenarnya pikirannya sendiri juga sedang kacau. Belum lepas kegelisahan bayang-bayang tentang rumah Nenek yang menyelimuti kepalanya, kegelisahannya kian bertambah akan kabar datangnya badai. Jiwanya kini tengah berkecamuk hebat, bagai badai di tengah lautan lepas.
Ia duduk bersandar—mencoba bersikap setenang dan sewajar mungkin—dengan tas ransel miliknya berada di pangkuannya. Dari celah tas ransel yang sedikit terbuka ia mengintip ke dalam, mencari buku hitam yang terselip di antara lembaran pakaian. Spontan saja buku itu tiba-tiba sudah ikut berada di pangukannya, tangannya seakan bergerak sendiri menarik buku tersebut keluar. Di sampul depan terdapat tulisan tangan, bertulis: Satria Bima Bakti Nusantara.
Dibukanya lembar pertama dan lembar-lembar berikutnya, melihat dengan teliti tiap tulisan. Buku itu tampak seperti sebuah buku catatan seukuran saku biasa, dengan tanggal penulisan yang tertera di pojok kiri atas. Lembaran kertas-kertas yang sudah menguning dan sangat lapuk—mudah sekali tersobek bila tidak hati-hati membukanya. Banyak halaman yang hilang maupun kotor terkena noda sehingga tidak dapat dibaca lagi secara utuh. Ia meyakini itu adalah tulisan tangan Kakek, tidak terlalu jelas namun masih dapat dibaca.
Ia menarik napas, mencoba menenangkan pikiran lalu membaca lembaran pertama buku aneh tersebut.
14 Februari 1942
Langit di kota ini tak lagi muram, sudut kota tak lagi dirundung ketakutan. Para pemuda telah tumbuh menjadi kesatria pemberani.
Perang tak pernah usai, setidaknya itulah yang aku dan kawan-kawan lain rasakan. Kami lahir dan besar di zaman yang salah. Tak ada tempat untuk bermimpi tentang harapan, akan masa depan yang cerah. Hanyalah kecemasan membayangi tiap tidur kami.
Ketakutan menghantui kemana pun kami pergi. Ketika langit mulai gelap, kecemasan mengintai dari balik kegelapan. Orangtua yang takut kehilangan anak, dan anak yang takut kehilangan orangtua tentu sudah menjadi cerita lama di desa ini. Kapankah ini semua akan berakhir? Ataukah selamanya akan terus seperti ini?
17 Februari 1942
Segala ketakutan yang menggelayut di langit itu akan segera berakhir. Pada suatu pagi yang cerah, seorang prajurit membawakan angin surga ke tengah padang tandus, kemarau tanpa ujung. Dia mengucapkan sebuah kata yang bahkan terlampau tabu untuk diucapkan: merdeka.
Kami penghuni padang tandus di tengah kemarau tanpa ujung, sudah terbiasa melihat ilusi fatamorgana. Namun kali ini kuyakin bukan sekadar ilusi fatamorgana, aku dapat merasakannya. Begitu nyata bahkan teramat nyata.
Belanda mulai terdesak, begitulah awal pesannya. Tetapi terdesak saja tidak cukup, mereka harus segera angkat kaki, begitu pula sambungnya. Untuk itu kami harus berjuang, bersama mengejar mimpi yang sama.
Sjahrir sahabatku yang baik, kau tahu kita telah bersahabat begitu lama, kau sudah seperti saudaraku. Maka kaulah satu-satunya orang yang kukabarkan pertama kali, kubawakan angin surga ini padamu. Akan tetapi cerita ini tidak akan berakhir hanya pada persahabatan kita berdua. Semua orang juga harus merasakan indahnya angin surga. Mereka juga memiliki mimpi yang sama, mimpi tentang surga. Mari meraih surga kita bersama, surga di mana kita bisa bebas bermimpi akan masa depan tanpa ada lagi ketakutan yang membayangi.
19 Februari 1942
Dan tibalah hari perpisahan.
Seperti orang bijak pernah berujar, 'Tidak ada keberhasilan tanpa pengorbanan.' Pengorbanan pertamaku adalah meninggalkan desa dan Ayah.
Ah, ayahku yang malang.
Betapa berat bebanku saat harus meninggalkanmu, Ayah. Kau telah kehilangan Ibu di saat kau membutuhkan sentuhan kasih sayangnya. Kini kau harus merelakanku pergi. Kau antarkan satu-satunya harta warisan yang kau miliki ke tempat paling buruk diantara yang terburuk.
Rumah itu tidak lagi hidup Ayah, rumah itu telah mati, mati bersama kenangan kita bertiga. Jikalau kau rindu padaku, pada Ibu, ingatlah pada suatu malam berbintang, pada bulan yang sedu sedan itu, kita pernah bersama membunuh malam yang sepi.
Aku tak tahu apakah aku bisa kembali pulang ke rumah. Suatu hari nanti bila kau mendapat kabar bahwa aku gugur di medan perang sana, jangan bersedih. Kami yang mati di pelukan Ibu Pertiwi, kelak akan dikenang sepanjang masa. Biar jasadku hancur bersama tanah, namun jiwaku akan selalu bersama kalian, Ayah, Ibu....
26 Februari 1942
Aku terpilih menjadi salah satu pimpinan regu Laskar Pemuda. Aku bertanggung jawab atas nasib sepuluh orang pasukan di bawahku. Tak kuduga karir militerku cepat sekali melesat. Lima atau sepuluh tahun dari sekarang mungkin aku akan diangkat menjadi jenderal. Lalu setelah bangsa ini merdeka, namaku akan terpampang di tiap sudut kota, di buku-buku pelajaran sekolah dan di sepanjang jalan raya.
28 Februari 1942
Dalam perang manusia tidak lagi mengenal moral. Mereka tak ubahnya sebuah alat yang digunakan untuk meraih kemenangan. Apapun caranya.
Selama perang berlangsung hidup seorang manusia bukanlah hal yang penting lagi untuk dipertahankan. Manusia tak lebih dari gumpalan daging dan tulang belulang yang dibalut selembar kulit. Darah hanyalah air. Mengalir, membasahi, dan membanjiri tanah. Kita semua ini manusia yang diubah menjadi mesin perang. Saling beradu tanpa memedulikan bahwa mereka punya keluarga yang senantiasa menunggu mereka di rumah.
Perang selalu memakan korban, sesungguhnya tidak ada pemenang dalam sebuah peperangan. Mereka yang kalah menjadi abu dan yang menang menjadi arang. Mana mungkin kembali menjadi bunga bakung yang indah bila sudah hangus terbakar.
Selesainya dibaca lembaran awal buku itu bersamaan dengan berlalunya badai yang tinggal menyisakan rintik-rintik air hujan yang jatuh ke tengah lautan lepas. Tidak tampak pelangi sehabis badai karena langit sudah gelap. Semua orang bisa tidur dengan nyenyak sekarang, kecuali sang kapten kapal yang tetap berada di balik kemudinya, memastikan kapal itu tetap berlayar di bawah sinar rembulan.
Mata Bima mulai terasa berat tak mampu dilawan, pandangannya menjadi kabur dan kepalanya pun susah untuk digerakan, lalu pada akhirnya ia jatuh tertidur.
***
Seseorang datang kepadaku. Ayah berkata bahwa dia adalah seorang prajurit, tapi sepengamatanku ia lebih mirip tukang kebun sama seperti Ayah dibanding prajurit. Dia membawa pesan yang selama ini kami nantikan: kemerdekaan. Entah apakah ucapannya bisa dipercaya atau tidak, namun aku tidak bisa menutupi kegembiraan di wajahku saat mendengarnya. Ayah kemudian merangkulku dengan erat, ia juga merasa bahagia mendengar hal itu. Pesan itu harus segera kusampaikan pada pemuda desa yang lain, mereka harus tahu bahwa mimpi mereka akan segara terwujud.
Pertama-tama aku memberitahu sahabatku Sjahrir, orang yang paling bisa kupercaya. Kata kedua orangtua kami dulu, kami sudah bersahabat sejak pertama kali kami membuka mata. Itu karena kami lahir hanya berbeda beberpa hari saja, aku lahir tiga hari lebih dulu ketimbang Sjahrir. Rumah kami berdua juga bersebelahan hanya tersekat tumpukan batu bata, tanpa ditembok.
"Kau tahu orang yang datang bertamu ke rumahku tadi pagi?"
Sjahrir menarik joran bambu dengan satu entakan cepat. Cacing di mata kailnya telah raib dimakan ikan tanpa permisi.
"Tidak," ia kembali memasang umpan cacing dan melempar tali pancing ke tengah kolam. "Tukang kayu atau penjual susu keliling mungkin."
"Ya, awalnya kukira juga demikian," aku terkekeh. "Tapi siapa sangka kalau dia adalah seorang prajurit."
"Apa seorang prajurit?" Sjahrir heran. "Sedang apa seorang prajurit datang ke tempat ini dan mengapa ke rumahmu?"
Giliranku menarik joran pancing yang disambar ikan dan melepaskan mata kail yang mengait di bibir ikan, lalu menaruhnya di kaleng cat yang berisi air. Satu ikan nila kecil menambah jumlah tangkapanku hari ini.
"Ia mengaku kawan ayahku, dan dia menyampaikan sebuah pesan istimewa."
Sjahrir menatap ke arahku, pandangannya lurus ke depan dan ia menunggu aku menyelesaikan ucapanku.
Aku menggulung tali pancing dan menaruh tongkat joran di samping kaleng cat yang sudah penuh berisi ikan. Lalu kutarik tubuhnya yang gemuk mendekat dan berkata, "Kita akan segera merdeka temanku, m-e-r-d-e-k-a."
"B-benarkah?" Sjahrir terbata-bata. Keringat meluncur di pipinya yang selalu basah seperti bakpao baru diangkat dari tungku. "Hampir tidak mungkin rasanya, seperti mimpi di siang bolong."
"Memang kedengarannya seperti omong kosong, tapi ini sungguhan. Si prajurit tadi yang berkata dengan sungguh-sungguh bahwa Belanda sudah terdesak, mereka tak lama lagi akan pergi dari sini.''
Sjahrir mulai serius menyimak ceritaku. Ia ikut menggulung tali pancing dan mengangkat kaleng cat berisi air miliknya. Mengakhiri buruannya yang masih setengah dari tangkapanku.
"Kalau itu semua benar, bangsa ini sebentar lagi pasti merdeka, Bim.''
"Namun tidak secepat yang kau pikir, kita harus berjuang bersama—inilah saatnya," seruku.
"Lalu apa rencanamu? Aku pasti ikut."
"Pertama-tama kita harus menyampaikan berita ini pada pemuda desa yang lain terlebih dahulu, mereka harus tahu dan harus mau bersama-sama berjuang, ini kesempatan emas."
"Aku sejutu dengan idemu, ayo kita mulai rencana kita."
Aku dan sahabatku itu lalu bersepeda menyambangi tiap rumah teman-temanku yang lain, menyampaikan sebuah pesan lalu disampaikan kembali lewat mulut ke mulut oleh para pemuda lainnya. Mereka setuju dengan rencanaku untuk mengumpulkan semua pemuda di tanah lapang pada sore hari, di tempat yang biasa dijadikan tempat kumpul warga desa saat merayakan hari panen raya dan lebaran tiba.
Dan pada sore harinya para pemuda mulai berdatangan menemuiku dan Sjahrir yang tengah duduk terkantuk-kantuk di saung bambu menunggu kedatangan mereka. Jumlah mereka tidak seperti yang kuharapkan pada awalnya. Mereka yang datang adalah pemuda yang bersedia ikut berjuang bersamaku apapun risikonya. Sementara sisanya tidak ingin terlibat peperangan atau semacamnya. Walaupun sudah kuyakinkan sedemikian rupa, mereka tetap memilih tinggal di rumah.
Aku dan Sjahrir berdiri di hadapan mereka yang sudah menunggu-nunggu apa yang akan dibicarakan pada pertemuan ini. Sjahril maju selangkah, lalu mulai berbicara memecah kebingungan di antara mereka.
"Terima kasih kalian sudah mau datang ke tempat ini," buka Sjahrir tegas. "Ada hal penting yang ingin aku sampaikan pada kalian semua."
Wajah-wajah bingung di hadapanku serempak menoleh ke arah Sjahrir. Terdiam lalu saling menatap satu sama lain.
"Segeralah sampaikan kalau begitu," cela salah seorang pemuda.
"Baik. Bima kawanku ini akan menyampaikanya pada kalian. Ayo, Bim langsung saja kau sampaikan," Sjahril menunjukku dan mempersilakanku untuk bicara.
Aku tersentak lalu berbisik padanya, "Sial kau, berlagak seperti jagoan, tapi ujung-ujungnya malah aku yang kau suruh."
"Aku tidak pandai urusan seperti ini kau sajalah yang menjadi pemimpin," lirihnya.
Aku maju selangkah ke depan, menarik napas dalam-dalam dan menatap ke arah sekumpulan pemuda yang membalas tatapanku penuh tanda tanya.
"Seorang prajurit datang ke rumahku pagi ini, menyampaikan sebuah pesan seperti yang telah kalian ketahui bersama," aku membuka dengan perlahan.
Para pemuda itu bergumam menungguku menuntaskan pidato yang terlalu bertele-tele.
"Pada intinya aku mau kita semua harus bersatu dan bersama-sama berjuang; mengusir para penjajah yang selama ini menggangu tidur kita dan telah merenggut mimpi-mimpi kita!" seruku.
Para pemuda mulai besorak-sorai, mereka berseru, "Belanda bajingan! Enyahlah dari bumi pertiwi." Setelah sorak-sorai singkat itu mereda, salah satu dari mereka bertanya dengan polosnya, "Lalu apa yang mesti kita lakukan?"
"Pertanyaan bagus," kataku. "Besok siang berkumpulah kembali di tempat ini karena kita akan pergi ke kota, seorang prajurit akan menjemput kita semua."
"M-maksudmu kita akan pergi meninggalkan desa?"
Aku kembali menarik napas panjang. Kulihat kini muncul kecemasan di wajah mereka, akan amat menyulitkan bila jumlah mereka kian menyusut. Maka aku kembali berusaha meyakinkan mereka. "Tidak ada yang perlu ditakutkan, cepat atau lambat ini pasti akan terjadi dan sekarang ialah waktunya karena Belanda sudah terdesak."
"Apa mereka sudah kalah?" salah seorang menimpali dari kejauhan.
"Tepat sekali. Untuk kalian ketahui bahwa para pemuda di tempat lain di luar sana, juga tengah gencar melakukan perlawanan. Ditambah mereka mulai kewalahan dengan kehadiran Jepun di pihak kita, cepat atau lambat mereka akan kalah!"
Mereka terdiam, seolah tak percaya dengan ucapanku yang seperti mimpi di siang bolong.
Sjahrir tiba-tiba maju dan memotong, "Kita tidak sendiri kawan-kawan, pemuda lain di daerah lain saat ini juga sedang berjuang merebut kemerdekaan. Bukankah ini yang sudah lama kita mimpikan bersama? Apa kita mau menyia-nyiakan kesempatan ini? Apa kita mau terus tertindas seperti ini? Selama kita bersatu, tidak ada yang perlu ditakutkan. Sekumpulan semut bila bersatu dalam jumlah besar bahkan bisa mengusir predator paling ganas sekalipun!"
Mata mereka seakan seketika kembali menyala tersengat oleh kalimat yang diucapkan Sjahrir. Sinar-sinar semangat perjuangan terpancar jelas di wajah mereka.
"Sekali merdeka tetap merdeka! Merdeka selamanya!" seru Sjahrir lalu diikuti gemuruh teriakan seluruh pemuda lainnya.