Manusia dan Semestanya

Apriyogi
Chapter #4

#3 Perang Pasifik Telah Berakhir

Parkiran kampus tampak sepi hari ini. Liburan menjelang tahun ajaran baru dimulai memang begitu panjang. Dan terkutuklah mereka yang masih harus datang ke kampus untuk mengambil semester pendek demi bisa 'mencuci nilai' di saat orang-orang menikmati libur panjang mereka.

Bima berjalan di lorong kampus menuju ruang dosen. Tak ada wajah-wajah yang ia kenal selain sekelompok mahasiswa baru yang berjalan mondar-mandir mengenakan almamater baru mereka dengan senyum sumringah. Saat tiba di depan pintu ruang dosen, ia mengetuk pintu dua kali lalu masuk ke dalam. Bu Lestari telah menunggu di mejanya, mengerutkan alis menatap Bima yang baru muncul dari balik pintu dengan wajah muram. Sudah telat setengah jam rupanya.

Bima memberi salam, lalu duduk di kursi yang ada di depan Bu Lestari.

"Siang Bu, maaf sedikit telat."

"Kesiangan lagi kamu? Makanya jangan nonton bola hingga larut malam," ketus Bu Lestari.

Bima menarik keluar skripsinya dari dalam tas dan baru disadarinya ternyata ia juga membawa buku hitam itu bersamanya. Ia takut kalau-kalau seseorang masuk ke kamarnya dan membaca buku itu ketika ia sedang tidak ada di rumah.

"Buku apa itu?" Bu Lestari terkejut begitu melihat buku hitam bernoda pekat itu.

"Eh, anu Bu... bukan apa-apa." Bima cepat-cepat memasukkan buku itu kembali. "Ini bab empat yang sudah selesai saya revisi."

Selama bimbingan berlangsung Bu Lestari tak henti-henti mengguratkan tinta merah di skripsi Bima yang telah dikerjakan bermingu-minggu lamanya itu, dan sekarang tak ubahnya seperti kertas kosong coret-coretan ujian matematika. Bu Lestari memberikan catatan-catatan perbaikan yang harus segera dilakukan oleh Bima.

Karena waktu ujian sidang semakin dekat ia memutuskan untuk segera mengerjakan revisi di perpustakaan. Walaupun hari telah menjelang sore, namun tidak masalah karena kampus selalu buka sampai jam sepuluh malam dan dia pun telah memberi pesan ke Ibu, bahwa mungkin dia akan telat pulang ke rumah.

Matanya hanya terpaku pada layar laptop. Jari jemarinya menari dengan cepat mengetik kata demi kata hingga tersusun menjadi paragraf. Semangatnya menggebu-gebu menyelesaikan revisi bab terakhir. Hingga tanpa terasa ia telah berada cukup lama di perpustakaan. Ia mengintip ke luar jendela dan langit sudah berwarna gelap kemerahan. Sudah lebih dari tiga jam ia duduk di sana mengerjakan revisi tersebut tanpa memedulikan keadaan sekitarnya.

Di tengah kesuntukannya, Bima baru teringat akan buku hitam yang dibawanya, maka dikeluarkanlah buku tersebut dari dalam tas. Ada perasaan ragu ketika ia memutuskan untuk membacanya, tapi rasa penasarannya yang sebesar Gunung Himalaya takkan mungkin bisa dikalahkan oleh segumpal kerikil keragu-raguan.

1 Maret 1942

Belanda kalah! Ramalan kuno itu menjadi kenyataan!

Hari-hari belakangan ini kudengar kabar bahwa perang segera usai. Akan datang saudara dari negara kepulauan yang berada jauh di sana—saudara yang akan menyelamatkan kita semua dan mewujudkan impian kita: merdeka.

Namun kataku, kita tak punya saudara. Mereka orang asing sama seperti Belanda. Tidak ada yang percaya padaku saat kukatakan hal itu. Mereka semua malah menertawakan, lagi menghardikku. Biar saja aku tak peduli.

Matahari terbit, begitu orang-orang menyebutnya. Omong kosong! Matahari takkan terbit di tengah musim penghujan. Percayalah.

6 Maret 1942

Kukira selama ini hal terindah di alam semesta raya ini adalah mekar pelangi di cakrawala senja, aku salah. Ternyata ada yang melebihi indahnya nyanyian alam menyambut mentari pagi dan lebih sejuk dari kristal embun di rerumputan hijau.

Saat pertama kali aku melihatmu, jantung ini berdendang hebat seperti genderang perang. Entah beberapa lama waktu yang kau tempuh dalam perjalananmu menuju bumi dari surga tempat kau berasal. Membuat sayap-sayap indahmu patah dalam perjalanan.

10 Maret 1942

Siapakah engkau wahai gerangan.

Yang menggangu pikiranku.

Yang membuatku tak nafsu makan.

Yang membuatku sepi di tengah keramaian.

Yang membuatku terjaga di tengah malam.

Yang membuat malam-malamku terasa panjang.

Siapakah engkau gadis bermata indah?

24 Maret 1942

Empat belas hari. Kutemukan dirimu bersama indah sinar purnama. Empat belas hari, kau selalu ada mewarnai hari-hariku. Kini empat belas hari itu sudah berakhir. Sang waktu telah mengukuhkan keangkuhannya, meniupkan takdir di antara kita. Telaga hatiku yang telah kau isi penuh dengan cintamu, kini kembali kering, tandus tanpa kehidupan di dalamnya.

Aku tak pernah bermaksud membuatmu bersedih, tak ada niatku untuk menggoreskan luka di hatimu. Aku memang manusia paling berdosa di muka bumi, begitu tega menghancurkan mahakarya terindah ciptaan sang semesta.

Tak kuasa hatiku melihatmu menangis seperti itu. Dan tak kuasa pula diri ini menentang takdir. Aku makhluk lemah yang tak kuasa atas diriku sendiri.

Tetapi ingatlah, bahwasanya aku akan segara kembali bersama purnama. Kembali pulang membawa cinta seluas samudra kepadamu. Pada malam yang kembali berpunama, pasti kita bisa kembali bersama—suatu saat nanti entah kapan...

    Bima diserang rasa kantuk yang tiba-tiba menyergapnya, kepalanya terasa berat dan napasnya mulai tersenggal. Semua lampu di ruangan itu redup satu per satu. Seluruh ruangan menjadi gelap dan pengap. Dia kembali dikalahkan oleh rasa kantuknya dan mimpi aneh itu kembali menyerang dalam tidur.

***

Beberapa hari belakangan ini kabar tentang kekalahan Belanda menyeruak ke seantero nusantara. Mereka tenggelam bersama gulungan ombak di tengah lautan lepas. Jepang masih terlalu perkasa untuk mereka. Setelahnya mereka pun mengadakan perjanjian dengan Jepang untuk menarik semua bala tentaranya dari negeri ini. Bahkan dari surat kabar harian yang kubaca pagi tadi, mereka menyerah tanpa syarat dari Jepang, sungguh memalukan.

"Belanda hancur, mereka tenggelam digulung ombak, Jepang menang Indonesia menang, merdeka, merdeka harga mati." Semua orang tak henti-henti meneriakkan kalimat tersebut. Anak-anak pinggir bengawan juga ikut bergembira atas kekalahan Belanda. Mereka berlarian tanpa alas kaki dengan bendera merah putih kecil yang diikatkan pada sebuah batang lidi seraya bersorak-sorai, "Jepang pemimpin Asia, Jepang pelindung Asia, Jepang cahaya Asia.

"Kegembiraan atas kekalahan Belanda melanda semua orang tak terkucuali Sjahrir, dan para pemuda lain yang juga ikut larut merayakan peristiwa besar tersebut.

"Kita akan merdeka, ayo Bung bersemangatlah," kata Sjahrir menepuk pundakku.

"Jangan terlalu cepat merasa puas, kuyakin perang belum benar-benar berakhir. Justru ini baru permulaan dari sebuah babak baru."

"Halah kau ini, dulu kau bersemangat sekali ingin merdeka, sekarang malah pesimis begini."

"Bukan begitu. Kau tahu Belanda kalah lalu menyerahkan Indonesia kepada Jepang, itu artinya kita belum sepenuhnya merdeka. Suatu saat bisa saja Jepang malah balik menjajah kita."

"Ya, begitulah kau ini selalu pesimis."

"Aku bukan pesimis, tapi skeptis. Itu dua hal yang berbeda."

Sjahrir melahap potongan paha ayam miliknya dan berkata dengan mulutnya yang penuh, "Bima sahabatku anak seorang petani jagung, Jepang jauh berbeda dengan Belanda, mereka adalah saudara kita. Kau tahu itu."

"Saudara? Di tengah dunia yang sedang berperang seperti saat ini tidak ada yang namanya teman apalagi saudara. Jepang sama saja seperti Belanda, mereka ingin menguasai negeri ini."

Seluruh anggota Laskar Pemuda yang sedang makan siang di dapur umum pagi itu seketika menatap tajam ke arah kami. Mereka tak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan.

Bonar beranjak dari kursinya dan mendatangiku sambil menenteng botol tuak setengah kosong. "Banyak cakap kau, sini aku tuangkan kau tuak lalu tenggak itu habis-habis."

Semua orang tertawa menyaksikannya. Menertawaiku atas keyakinanku bahwa kita masih jauh dari kata merdeka.

"Singkirkan benda haram ini dari wajahku," kataku menepis botol tuak yang disodorkan padaku.

Bonar tak pernah berhenti berbuat onar. Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, selang beberapa saat setelah peristiwa berjudinya yang diketahui Dirman, ia berulah lagi minggu lalu. Dia terlibat perkelahian dengan pemuda sekitar markas komando karena memperebutkan hati seorang gadis yang baru dikenalnya. Kejadian itu cukup menghebohkan karena si pemuda bersama teman-temannya yang diketahui sebagai pemuda berandalan terminal mendatangi markas kami untuk mencari Bonar.

Bonar tak diam begitu saja, ia malah mengumpulkan anak buahnya untuk melawan sekolompok berandalan itu. Sehingga terjadilah pertiakaian antar dua kelompok di depan markas kami, tak ada yang berani melerai kecuali—lagi-lagi—Dirman. Kesalahpahaman itu dapat diatasi dan Bonar kembali mendapat peringatan kedua. Tapi, apalah arti peringatan kedua, ketiga bahkan kesepuluh untuk orang yang memang gemar membuat onar.

Cukup cerita tentang Bonar. Tidak akan ada habisnya bila kutuliskan semua cerita buruk tentangnya.

Pada malam harinya aku dan Sjahrir memutuskan akan berjalan-jalan mencari hiburan, orang-orang banyak membicarakan tentang pertujukan musik keroncong di alun-alun kota. Dari markas komando tempat kami tinggal, kami menaiki kereta delman menuju alun-alun kota. Di sana berkumpul para pemuda bergairah berpakain necis, minum-minum, dan berdansa ria di tengah alunan musik keroncong.

Begitu sampai kami langsung duduk di kursi kosong, memasan dua gelas es kopyor, dan menikmati musik yang mendayu-dayu merdu di telinga. Mataku mengembara menyaksikan para pemuda yang sedang asyik berdansa begitu bergairah, seolah ikut merayakan kekalahan Belanda yang digambar-gemborkan ke seluruh negeri. Namun seketika mataku tiba-tiba terasa perih saat melihat Bonar turun dari kereta delmannya. Si perusuh ini sedang apa di sini, kataku berbisik. Bonar melihat sekilas ke arah kami, namun dia tidak acuh dan langsung ikut menari di antara lautan pemuda.

Musik terus bergema dari arah panggung. Seorang wanita muda sedang menyanyikan lagu keroncong dengan amat merdu. Aku berusaha melihat ke arah panggung dari tempatku duduk, tapi karena ramainya orang di depanku sehingga yang terlihat hanya barisan punggung manusia.

Rasa penarasanku kian membuncah ingin melihat langsung penyanyi bersuara merdu ini. Dia begitu lihai menghipnotis semua orang untuk menari di tempat ini dengan suara tingginya yang merdu. Aku pun berdiri dan berjinjit-jinjit berusaha melihat ke arah panggung hingga akhirnya aku dapat dengan jelas melihat wajah si penyanyi bersuara indah tersebut.

Oh Tuhan, siapa gadis cantik bersuara merdu ini, sungguh mempesona. Aku tak berkedip sedetik pun saat memandangi wajahnya. Gadis belia dengan rambut panjang yang bergelombang sebahu, terurai indah bersama cahaya purnama. Baru pertama kali kulihat gadis secantik ini. Kulitnya putih cerah, matanya bulat melengkung seperti mata kucing, membuat wajahnya yang mungil tampak besar, bahu tinggi dan lekukan pinggangnya laksana sebuah gitar yang mendayu-dayu ke kanan dan ke kiri. Kupandanginya dari lutut hingga ke ujung kepala, tidak ada cacat sama sekali. Sungguh indah bidadari cipataan Tuhan yang satu ini. Di desaku tidak akan pernah terlahir gadis secantik ini.

"Hei, duduklah kau seperti orang mau memetik mangga saja daritadi jinjit-jinjit begitu," ujar Sjahrir memerhatikan tingkahku.

"Sempurna, Rir," kataku sambil kembali duduk. "Makhluk ciptaan Tuhan terindah yang pernah kulihat."

Sjahrir ikut penasaran, dia berdiri melihat ke arah panggung. "Oh, perempuan itu, dia tipemu kah, Bim?"

"Tentu, ah maksudku... siapa yang tidak jatuh cinta pada kecantikannya itu," aku tersipu malu.

"Kau mau kuantar bekenalan dengannya?"

"Ah gila kau, gadis secantik itu sudah tentu punya pacar."

"Bagaimana kalau belum, boleh aku yang menjadi pacarnya?"

"Sudah berani kau pada pemimpinmu sendiri hah," kataku sambil mencubit pipi gemuknya yang selalu basah berkeringat.

"Dalam urusan seperti ini kita sama, kau jangan menyalahgunakan jabatanmu. Kalau berani mari bersaing secara sehat."

"Kau tidak akan punya kesempatan sama sekali bila bersaing denganku."

"Oh ya? Lihat saja nanti, siapa yang pada akhirnya akan memiliki gadis itu."

Selama hampir lebih dari satu jam lamanya mataku tak bisa lepas darinya. Di mataku ia paling bersinar di antara semua orang di tempat ini, bagai bintang di tengah langit malam yang mendung. Di bawah hamparan sinar purnama ia menyanyi, bertepuk tangan dan sambil tersenyum berlenggak-lenggok ke kanan dan kiri. Tak jemu kupandangi wajah itu sampai tak sadar bahwa Sjahrir telah pulang lebih dulu meninggalkanku.

Pertunjukan musik keroncong itu pun usai bersamaan dengan lonceng jam yang berdentang keras, menunjukkan waktu sudah memasuki tengah malam. Para pemuda berpakaian necis satu per satu pulang ke rumah masing-masing. Meninggalkanku yang masih duduk memandangi tiap anggota grup musik tersebut sedang sibuk beres-beres, tak terkecuali gadis itu yang sedang kesulitan menggulung kabel mikrofon miliknya.

Tak pernah kualihkan pandanganku dari wajahnya barang sedetikpun. Menatap penuh damba pada seorang gadis yang baru saja kujumpai, namun telah mampu memikat hatiku.

Sampai tiba-tiba, ia menoleh ke arahku yang sedang terpaku memandanginya, lalu tersenyum. Buru-buru kulempar pandanganku ke arah lain, wajahku memerah. Lebih merah dari jambu air yang bergelayut diterpa angin. Sayangnya aku tak punya keberanian untuk menghampirinya, hanya untuk sekadar basa-basi menawarkan bantuan atau menyanyakan pukul berapa sekarang. Aku lantas kembali ke markas komando.

Pikiranku dilanda kekacauan keesokan harinya. Selalu teringat dan tak bisa lepas dari kejadian semalam, bersama sekelumit pertanyaan terus berputar-putar di kepalaku. "Siapa namanya? Apa dia sudah punya pacar? Apakah dia benar-benar tersenyum padaku semalam? Mengapa dia tersenyum padaku? Mungkinkah dia tak nyaman karena aku terus menerus menatapnya dari kejauhan?"

Aku tersiksa tiap kali membayangkan senyumannya pada malam itu. Entah mengapa perasaan ini membuat diriku menjadi tak keruan. Aku bisa merasa sedih dan bahagia di waktu yang sama tanpa alasan yang jelas. Jatah makan siangku di sela istiharat latihan yang biasa kulahap seperti orang kesurupan, tak kusentuh barang sejengkal pun. Kuberi pada Sjahrir yang menggila melahap penuh napsu jatah makan siangku. Dan saat malam hari, aku hanya mengurung diri di kamar sementara semua anggota lain pergi mencari hiburan di luar sana. Meninggalkanku seorang diri yang terbaring pasrah menatap langit-langit dengan tatapan kosong.

Perasaan tak wajar yang belum pernah kualami sebelumnya ini berlangsung selama berhari-hari berikutnya. Mengendap dan perlahan menggeroti jiwa seperti kanker. Ingin sekali aku pergi ke tempat itu sekali lagi hanya untuk berjumpa dengan gadis bermata indah itu, namun aku takut. Aku takut pada banyak hal: aku takut akan penolakan, aku takut akan kesendirian, aku takut akan mengecewakan, aku takut berharap lebih. Terlalu banyak ketakutan yang kuciptakan sendiri.

"Kau tidak seperti biasanya akhir-akhir ini," Liam berdiri tepat di hadapanku menghalangi sinar matahari yang sengaja kubiarkan menyengat tubuhku.

"Justru inilah aku yang biasanya, seorang pelamun dan penyendiri."

"Kau tahu, kau sebenarnya mirip sekali sepertiku," Liam meletakkan botol airnya di sampingku lalu duduk bersandar ikut menikmati terpaan sinar matahari yang menyengat. "Aku juga seorang penyindiri karena tak punya banyak teman. Sejak kecil aku selalu dijauhi dan merasa terasing dari lingkunganku karena aku seorang hokkian—bukan warga pribumi asli seperti kalian."

"Tak usah kau pikirkan lagi soal itu, kau punya banyak teman di sini."

"Memang demikian, tapi tidak banyak yang benar-benar kuanggap teman. Hanya kau, Sjharir, Dono dan Bonar, sisanya hanya orang-orang yang dapat kuingat namanya tanpa benar-benar mengenalnya." Liam merenggangkan seluruh tubuhnya dan menguap lebar sebelum berdiri. "Kita harus segera kembali latihan."

***

"Jadi kau sudah lebih dulu berkenalan dengannya?!" aku tersentak mendengar cerita Sjahrir.

Sjahrir menyeringai penuh kepuasan, "Kami bahkan sudah lumayan akrab."

Tiga hari berlalu sejak malam itu aku tak pernah keluar kamar saat malam datang, dan selama tiga hari itu pula Sjahrir terus datang ke tempat pertunjukan musik itu. Aku tidak mampu menyembunyikan kecemburuanku padanya. Rasanya ingin kutampar senyum culas Sjahrir yang mengembang meledekku.

"Kau tak ingin tahu siapa namanya?"

Tentu saja aku ingin sekali mengetahui nama gadis yang selama ini menggangu pikiranku itu, tapi aku takkan mengemis pada sainganku si gempal satu ini. Harga diriku sebagai pemimpin bisa jatuh karenanya.

"Hahaha, tak perlu repot-repot," aku tersenyum getir dengan sedikit memaksa. "Aku sendiri yang akan menanyakan langsung padanya."

"Oh ya, kau ingin pergi ke sana nanti malam?"

Aku diam sesaat, memalingkan pandangan sambil menimbang-nimbang: kalau aku terus mengurung diri seperti ini, aku akan makin tersiksa dan si gempal ini akan benar-benar merebut gadis pujaanku.

"Tentu saja, kau juga akan pergi ke sana bukan?"

Sjahrir menghela napas, "Sejujurnya aku mau sekali ke sana. Tapi aku sudah ada janji dengan Liam dan Dono pergi memancing dan membakar ikan di danau dekat irigasi. Kau pergi sendiri saja, semoga beruntung."

"Bagus!" seruku dalam hati. Dengan begitu aku bisa bebas bencengkrama dengan gadis pujaanku tanpa ada seorang pun yang menyela. Ini kesempatanku.

Malam harinya satu per satu pemuda meninggalkan markas. Sjahrir, Dono dan Liam sudah pergi berasama rombongan mereka ke danau membawa alat pancing sejak sore hari. Dan sisanya hanya ngobrol-ngobol santai di depan teras markas sampai larut malam. Sementara Bonar, berada di halaman belakang sedang menenggak sebotol tuak dan menyesap rokok kretek di bawah guyuran sinar purnama.

Lihat selengkapnya