Manusia dan Semestanya

Apriyogi
Chapter #5

#4 Kehidupan Baru

"Kamu harus lulus tahun ini juga, jangan sampai telat. Skripsimu itu harus selesai bagaimanapun caranya," tegas Ayah kepada Bima di sela-sela waktu sarapan di meja makan.

"Tidak harus lulus tahun ini juga tak masalah, tahun ini atau tahun depan sama saja," bela Ibu.

"Tidak bisa, Bu, pokoknya harus tahun ini," Ayah bersikukuh sambil mengencangkan kembali dasi di kerah kemeja, dan beranjak dari meja makan. "Ayah sudah siapkan bingkai untuk foto wisudamu nanti yang akan dipajang di dinding ruang tamu."

Selepas sarapan pagi Ayah dan Tiara pun pergi meninggalkan rumah. Tiara ikut bersama Ayah sampai ke kampus. Sementara Ibu pergi arisan di rumah temannya, meninggalkan Bima seorang sendiri yang tengah menunggu kedatangan kurir yang akan mengantarkan buku pesanannya.

Hari mulai siang ketika kurir tersebut tiba mengantarkan buku Pengantar Ilmu Sastra karya Jan van Luxemburg—buku pendoman untuk mahasiswa sastra yang sedang menulis skripsi. Dan kemudian ia melanjutkan mengerjakan skripsi di dalam kamar.

Baru satu jam ia terpaku menatap layar laptop, matanya sudah perih. Belum juga ada perbaikan yang berarti pada skripsinya kecuali sedikit memperbaiki kata dan tanda baca yang salah. Buku yang baru dibeli itupun baru belasan halaman dibaca. Akhirnya, karena merasa tak memiliki inspirasi untuk menulis, ia memilih mengeluarkan buku hitam dari ranselnya lalu mulai membacanya.

1 Oktober 1943

Kesepian adalah siksaan batin tak terperi. Menunggu adalah siksaan waktu tak bertepi. Menunggu dalam kesepian adalah siksaan maha dashyat yang mampu menghancurkan gunung gemunung menjadi serpihan pasir.

Tiada lagi hari-hari indah. Tiada lagi kudengar burung bernyanyi. Tiada lagi bunga bermekaran di musim semi. Tiada lagi bintang yang menyinari malamku. Semua hilang bersama kenangan dirimu.

Hari-hariku terlewat membosankan. Aku benci berada di sini, aku ingin pulang ke desa. Juga pulang ke pelukanmu. Aku terjebak dalam kekosongan, tak tahu jalan kembali. Takdirlah yang menyeretku kemari. Penjara sepi dan tak bertepi.

4 Oktober 1943

Kering sudah tinta yang kugoreskan di atas secarik kertas. Kering sudah air mataku tercucur saat malam menjemput. Tetap tidak ada balasan suratku darimu. Ke mana dirimu? Aku letih mengunggu dengan penuh harap.

Aku tahu aku berada di pihak yang salah dan kau bertindak layaknya perempuan, selalu menganggap dirimu sebagai korban dari kandasnya sebuah hubungan; yang teraniaya dan merasa disia-siakan. Tapi ketahuilah bahwasanya kita adalah korban dari keserakahan waktu yang ingin merenggut segala-galanya dari kita.

Bukan dirimu saja yang menderita dicabik-cabik kesunyian malam. Jadi berhentilah marah padaku dan segara balas surat-suratku, aku tak mau terus seperti ini!

10 Oktober 1943

Telingaku perih beberapa waktu belakangan ini. Bukan kerena aku menderita penyakit pendengaran, atau apa pun itu. Tetapi karena begitu maraknya propaganda yang terus menerus diproduksi oleh Jepang.

Dari poster di dinding yang kulewati, dari suara sumbang radio yang kudengar, dari film di bioskop dan balai kota yang kutonton, dari surat kabar yang kubaca pagi hari, dari ceramah pemuka agama yang kuhadiri—semuanya berisi propaganda semata.

Kebohongan yang dikemas dan dibalut sangat apik. Topeng samdiwara yang menghiasi wajah negeri ini. Suatu saat, pada akhirnya semua itu pasti akan terungkap.

Sejurus kemudian, setelah membaca beberapa halaman buku itu pandangannya menjadi kabur, kepalanya berputar, dan matanya berat tak mampu dilawan. Ia pun roboh di tempat tidur bersama layar laptop yang masih menyala.

***

"Sudah ada surat balasan dari orangtuamu?" tanya Dono saat kami sedang berdiri menunggu anterian di kantor pos yang memanjang.

"Aku tidak pernah mengirim surat ke Ayahku, dia buta huruf," sahutku. "Kau sendiri akan mengirim surat ke ibu dan bapakmu?"

Dono mengangukkan kepala sambil maju selangkah demi selangkah. Kami telah berdiri lebih dari tiga puluh menit untuk bisa mengirimkan surat kami. Antrean panjang itu akhirnya menempatkanku di barisan terdepan, berhadap-hadapan langsung dengan petugas pos.

"Apakah ada surat yang masuk untukku hari ini?"

Petugas itu masuk ke dalam, memeriksa keranjang surat yang masuk atas namaku. Beberapa menit kemudian ia kembali lagi menemuiku. "Tetap tidak ada."

"Barangkali ada yang terlewat, coba cek sekali lagi."

Petugas pos itu mengernyitkan dahi dan membenarkan posisi kacamata dengan ujung jarinya. "Kau sudah setiap hari datang kemari hanya untuk menanyakan hal yang sama, meskipun kau tahu bahwa jawabanku akan selalu sama: tidak ada surat untukmu!"

Petugas pos itu benar. Sudah setahun lebih sejak aku datang ke Jakarta, aku selalu mengirim surat yang sama dan menunggu balasan atas suratku—dari Ratih. Tetapi tetap tidak ada balasan untuk surat-suratku yang selama ini terus kukirimkan padanya.

"Kalau boleh tahu, apakah suratku benar-benar sampai ke alamat yang dituju?" tanyaku sekali lagi sesaat sebelum petugas itu mengusirku pergi.

"Tentu saja." Jawabnya ketus. "Kami akan mengembalikan setiap surat yang tidak sampai ke alamat tujuan."

Lihat selengkapnya