Sudah dua hari Bima tidak menyentuh buku aneh itu, dia memilih fokus mengerjakan skripsinya di kamar. Ibu sudah lebih dari tiga kali memanggilnya untuk makan siang. Dia masih belum beranjak dari laptopnya. Jari-jemarinya masih terus menari, menulis barisan kata menjadi kalimat hingga tersusun menjadi tumpukan paragraf.
Tiara muncul dari balik pintu tanpa mengetuk ataupun sekadar meminta izin untuk masuk, "Hei, kupingmu sudah tuli ya? Ibu daritadi memanggilmu." Bima masih bergeming, Tiara terus menganggunya. "Aku mau pinjam buku boleh, ya?" ujar Tiara.
Bima mulai merasa risi, namun tetap tidak memalingkan pandangannya. "Jauhkan tanganmu dari buku-buku itu," Bima memperingatkan, tetapi Tiara masih terus mengacak-acak tiap buku yang ada di rak.
"Nah, ini dia yang aku cari," seru Tiara. "Buku hitam misterius yang dicuri dari rumah Nenek."
"Kamu mengerti bahasa manusia kan? Jauhkan tangan kotormu dari buku itu!" kali ini Bima bangkit dan segera menarik buku itu dari tangan Tiara.
"Dasar pelit, akan kuadukan pada Ibu!" Tiara bersungut-sungut lari keluar kamar.
Di ruang tengah, kini Bima beserta Tiara dan Ibu sedang menikmati makan siang. Seperti biasa di meja makan itu selalu berisi obrolan senggang yang hambar.
"Bu, Ibu tau gak," lirih Tiara sambil melirik Bima.
Ibu hanya membalas dengan sebuah dehaman kecil. Menyendok nasi ke piringnya.
"Bima mencuri buku dari rumah Nenek," Tiara mulai mengadu pada Ibu.
Bima tidak menanggapi, dia makin lahap menyantap makanan yang tersaji di hadapannya.
"Buku apa sih?" Ibu penasaran. "Masa kamu menuduh kakakmu mencuri."
"Entahlah Bu, dia tidak mau memberi tahu buku apa itu, yang jelas buku itu tidak biasa. Warnanya hitam dan pekat penuh noda; pokoknya jorok."
"Buku apa itu, Bim?" Ibu makin penasaran, mengalihkan tatapan ke arahnya.
Tiara langsung menyela, "Sepertinya itu buku mantra-mantra tentang bagaimana cara memikat hati perempuan, Bima lagi belajar ilmu pelet, Bu!"
Bima tersedak mendengar perkataan Tiara. Hampir saja ia mengeluarkan kembali makanan yang telah ditelannya. Sementara Ibu tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. "Anak aneh ini kalau bicara memang suka sembarangan, jangan dengarkan dia, Bu. Aku mau lanjut mengerjakan skripsiku lagi."
Bima membawa piring yang telah kosong ke dapur, lalu masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Kali ini dengan memberi peringatan pada Tiara: "Jangan masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu!"
Bima merapikan kembali buku-buku yang berantakan karena ulah Tiara. Disusunnya kembali buku-buku itu ke dalam rak seperti semula, kecuali buku hitam yang kini ada di tangannya. Ia ingin kembali membaca buku tersebut, melanjutkan kembali cerita di mimpinya yang belum usai. Maka dibacalah lembaran berikutnya.
12 Desember 1943
Malam menjelang akhir tahun di pesta ulang tahun Daidan Ichiro, aku bertemu Ratih. Entah bagaimana mungkin ia bisa berada di sana bersama para perempuan sundal itu.
Kudapati perubahan sikapnya padaku. Aku kecewa karena dia menolak ajakanku untuk mengantarnya pulang ke Bogor. Ternyata benar dia masih marah padaku. Mungkin juga memang hubungan kami sudah berakhir.
Apa sebenarnya pekerjaanya itu? Semoga dugaanku ini salah.
16 Desember 1943
Catatan ini kutulis saat aku mulai putus asa mencari Ratih.
Sejak malam di rumah komandan Jepang itu, tak sekalipun aku bertemu lagi denganmu. Tak dapat lagi kuketahui jejakmu. Sampai ketika aku bertemu dengan perempuan sundal bernama Ida.
Gadis manis yang terpaksa menjajakkan tubuhnya. Puluhan lelaki telah hinggap dan menggerayangi tubuh mungil itu. Bergerumul dan bersanggama dengan dosa, mengerang sepanjang malam di atas ranjang. Menjadi sundal tentu bukan mimpi, melainkan kenyataan hidup yang harus dihadapi. Dan kita yang berlagak sok suci, senantiasa menghakimi.
Ida perempuan malang. Dalam gelap meratap, setiap malam mendamba ampunan Tuhan. Semoga Tuhan berkenan memberi pertolongan-Nya.
18 Desember 1943
Dari perempuan manis berhati tulus yang menjadi sundal itu, akhirnya aku bertemu kembali dengan Ratih. Keadaannya sungguh memilukan. Aku tak sanggup menuliskannya...
Yang pasti, aku akan menghabisi orang yang bernama Harada!
H A R A D A.
(Kutulis besar-besar agar tak lupa)
Selesai ia membaca lembaran-lembaran pada buku itu, maka ia tahu sesuatu pasti akan terjadi padanya. Dia telah membiasakan diri dengan hal itu. Sejurus kemudian Bima tidak kuasa menguasai diri, kepalanya tertunduk dan matanya perlahan terpejam. Dia kembali tertidur lelap bersama mimpi yang belum usai mengahantui dalam tidurnya.
***
Aku masih terus menjalani latihan ini setiap hari, kendati tak pernah sekalipun kami terlibat dalam pertempuran. Entah untuk apa sebenarnya latihan semua ini. Tidak ada artinya. Pasukan kami hanya dipersiapkan untuk menjaga pulau Jawa dari tangan sekutu. Sementara di ujung Pasifik sana Jepang kembali terlibat pertempuran sengit melawan Belanda, dan kali ini Inggris dan Jerman yang dipimpin oleh seorang pemimpin fasis berkumis Charlie Chaplin juga ada di sana. Sungguh dunia ini adalah medan pertempuran yang tidak berujung.
Sore harinya ketika langit mulai gelap kemerahan dan matahari berkenan meredupkan sinarnya, aku berjumpa dengan Sjahrir dan dua kawan Jepangnya, Ishikawa dan Chonan. Mereka berdua adalah anggota Heiho. Aku iri pada Sjahrir meskipun dia hanya seorang tentara cadangan, tetapi pergaulan cukup luas dan bahasa Jepangnya juga lebih lancar daripadaku.
"Kochira wa Bima-san, boku no tomodachi desu," Sjahrir mengenalkanku pada dua orang sahabat Jepangnya. Aku tersenyum lalu membungkukkan badan. Aturan yang tertulis mengatakan bahwa orang Jepang harus dihormati, sekalipun mereka berpangkat lebih rendah dari kami. Sebuah aturan diskriminatif yang harus dipatuhi oleh semua orang.
"Ima, doko e iku?" ujar Sjahrir dengan logat Jepang bercampur Sunda yang kental.
"Eto... kyou wa Daidan Ichiro no tanjoubi. Daidan no ie de patii ga aru kedo, isshouni ikimasenka?" ujar salah satu dari mereka yang aku tak ingat namanya, namun aku dapat mengerti ucapannya. Dia bilang bahwa hari ini adalah ulang tahun Daidan Ichiro, salah satu komandan Batalyon Heiho dan mereka mengajak kami pergi ke pesta ulang tahun di rumahnya. Aku sempat menolak, tapi Sjahrir menarik tanganku dan ikut bersama mereka.
"Ayolah, cuma sekali ini saja kok, kau tidak akan menyesal."
"Aku tidak mengenal kawanmu itu, bahkan Daidan tidak mengundang kita. Dia pasti akan marah besar bila tahu ada tamu tak diundang di pestanya."
"Tidak akan, percayalah. Wajah kita mirip seperti Jepun, kita adalah saudara mereka."
Di sepanjang perjalanan menuju rumah Daidan Ichiro para tentara Jepang tidak berseragam berkumpul memadati jalan dan tanpa menenteng senjata, berbondong-bondong memasuki halaman rumah Daidan Ichioro. Tampak luar rumah itu sangat mencolok dibandingkan rumah-rumah lain di sekitarnya. Atap berbentuk runcing menjulang ke atas seperti kuil—bangunan khas Jepang yang menunjukkan bahwa rumah tersebut bukan rumah milik pribumi. Tembok batu marmer kokoh mengelilingi halaman ditanami tumbuhan menjalar di atasnya, serta pohon-pohon bonsai yang tertata rapi di dalam pot tanah liat memenuhi pekarangan rumah mewah itu.
Kami masuk melalui pintu belakang dengan perasaan canggung. Saat itu juga Daidan Ichiro keluar dari dalam rumah dengan mengenakan pakaian kimono yang sedikit kebesaran menyambut para tamu yang hadir memadati pekarangan rumahnya yang luas, lalu disambut dengan teriakan 'Omoudetto tanjoubi Ichiro-sama' oleh semua orang, tak terkecuali Sjahrir di sampingku.
Meja-meja besar dengan segala makanan lezat beserta minuman dibawa keluar oleh para pelayan cantik berpakaian kebaya—mereka adalah perempuan pribumi. Para pelayan itu membawakan botol-botol sake kepada para tamu, tak lupa melemparkan senyum menawan. Setelah Daidan Ichiro selesai menyampaikan sepatah dua patah kata yang tidak aku mengerti, mereka menenggak botol sake di tangan mereka bersama-sama. Dan pesta pun dimulai.
Pesta berlangsung sangat liar, seperti pesta para binatang di tengah belantara. Kerumunan yang berjumlah lebih dari 50 orang itu bernyanyi, menari dan tertawa dalam keadaan mabuk berat, suasana menjadi tidak dapat dikendalikan. Mataku beralih kepada seorang pelayan yang tengah sibuk melayani para tentara Jepang. Sesekali mereka menatap ke arahku, lalu cepat-cepat membuang muka karena malu ada pribumi lain yang menyaksikan perilaku tidak terpuji mereka. Perempuan pribumi sekarang ini rentan dijadikan gundik, bahkan pelacur untuk menghibur para tentara Jepang yang disebut sebagai Jugun Ianfu.
Aku sendiri hanya berdiri di pinggir keramaian, bersandar pada tembok dengan segelas minuman di tanganku. Sjahrir mulai asyik berbaur dengan mereka, ikut mabuk seperti binatang. Daidan Ichiro duduk di kursi panjang menyesap pipa cerutu dan sebotol sake ditemani oleh para pelayan pribumi yang mengapitnya di tengah. Lalu sekonyong-konyong muncul satu perempuan pribumi lain. Menunduk perlahan hingga lututnya menyentuh lantai menghadap Daidan Ichiro yang duduk dengan membuka lebar-lebar kedua pahanya. Perempuan itu menuangkan sebotol sake ke gelas seseorang yang duduk di sebelah Daidan Ichiro. Sekelebat mata kulihat, aku merasa kenal dengan perempuan itu, wajahnya sungguh tak asing bagiku. Mataku menyorot tajam ke arah perempuan yang baru keluar itu, kuperhatikan wajahnya lekat-lekat, tidak salah lagi perempuan itu adalah Ratih!
Aku terperangah melihat dirinya dalam pakaian seorang sundal dengan rambut disanggul ke belakang, memperlihatkan tengkuk lehernya yang indah. Dia berjalan menghampiri tamu demi tamu dengan botol sake di tangannya dengan cara menunduk serendah mungkin sambil sesekali melempar senyum kepada tamu yang sedang mabuk itu. Darahku mendidih menyaksikannya. Kalau sampai para binatang itu berani menyentuh gadisku, maka aku takkan segan berbuat anarkis, mengacaukan pesta ini.
Ia masih tidak menyadari keberadaanku di tengah-tengah banyaknya tamu yang tumpah ruah di pekarangan rumah Daidan Ichiro. Ketika ia berjalan menjauh dari tempat Daidan Ichiro duduk, aku segera berlari menembus keramaian orang, lalu menariknya ke pinggir kerumunan. Dia sempat menepis tanganku dan bersiap berteriak, namun begitu menyadari bahwa orang yang menariknya itu adalah aku—kekasih yang pergi meninggalkannya—dia terperanjat. Matanya nyalang, mulutnya terkatup rapat.
"Mengapa kau bisa ada di sini?!" bisikku.
Dia masih terdiam, masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bumi kembali terasa berhenti berputar untuk kesekian kali saat mata kami saling menyelami satu sama lain.
"Ratih," aku berbisik lagi kepadanya dan menggoyang-goyangkan bahunya. Dia tampak tak sadarkan diri. Telapak tangannya meraih wajahku dan mulai meraba-raba rambut, telinga, hidung, hingga daguku.
"Bima? Apa sekarang aku sedang bermimpi."
Akhirnya dapat kudengar kembali suara nyanyian surga itu untuk pertama kalinya sejak kejadian malam itu. Aku maju selangkah dan meraih tubuhnya, menariknya ke dalam pelukanku.
"Kita harus pergi dari sini!" seruku tanpa basa-basi.
Aku menuntunnya berjalan kembali menembus keramaian para binatang, mencari Sjahrir yang larut berpesta bersama mereka. Ketika kudapati dirinya, segera kutarik keluar dari kerumunan. "Rir, ikut denganku sebentar.''
Dengan wajah merah karena setengah mabuk ia berseru, "Bima lihat, itu Ratih!"
"Aku akan membawa Ratih keluar dari sini, kau tolong alihkan perhatian mereka," kataku.
Sjahrir dengan wajah merah berkeringat pun kebingungan. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Apa saja yang penting tidak ada yang melihat kami keluar, aku tahu kau ahli dalam hal ini. Tolonglah, kumohon untuk kali ini bantu aku. Aku mengandalkanmu, Kawan."