Gelak tawa meledak dari kamar Tiara. Pada suatu siang, teman-teman Tiara sedang berkunjung ke rumah. Jumlah mereka hanya terdiri dari empat orang gadis remaja, namun suara mereka mampu mengguncang seisi rumah yang kala itu ditinggal Ayah dan Ibu pergi ke luar kota. Bima amat jengkel dibuatnya, dia keluar dari sarangnya, lalu mengetuk pintu kamar Tiara berkali-kali. Suara berisik dari dalam kamar itu sempat berhenti sesaat, lalu kembali meledak dua kali lebih keras.
Bima kembali masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras. Diputarnya lagu Morning Glory dari grup band rock asal Inggris: Oasis. Ia memutar tombol volume audio playernya ke kanan hingga penuh. Rumah yang ditinggalkan oleh kedua orangtua itu kini berubah menjadi panggung konser band rock, dan Bima tidak peduli.
Kini Tiara yang terganggu dengan suara musik yang amat keras. Dia menggedor-gedor pintu kamar Bima sambil berteriak memintanya untuk mengecilkan sedikit suara musiknya itu. Namun suara teriakan Tiara lambat laun tenggelam oleh kerasnya suara musik. Sementara di dalam kamar, rupanya ia sedang membaca buku aneh itu kembali.
23 Maret 1944
Topeng kemunafikan yang dibalut oleh kepalsuan itu mulai terkuak. Sungguh membuatku muak.
Aku dan Sjahrir akhirnya bisa pulang ke desa. Setelah lebih dari dua tahun berlalu sejak kami meninggalkan desa, tapi apa yang kami dapati? Kekecewaan dan kesedihan!
Entah di mana kalian berada kini, aku selalu berdoa untuk keselamatan kalian.
24 Maret 1944
Sore hari sepulangnya aku dan Sjahrir dari desaku yang sudah mati. Di tengah perjalanan pulang kutulis buku catatan ini dengan perasaan kalut.
Kami bertemu dengan Liam, seorang anak keturunan salah satu mantan pimpinan regu Laskar Pemuda yang kini menjadi anggota PETA wilayah Bogor. Darinya, aku mengetahui bahwa penjajahan gaya baru telah dimulai.
Aku melihat sendiri bagaimana para pribumi itu dipekerjakan layaknya hewan ternak. Pada suatu wajah kulihat kesedihan dan pada wajah yang lain kulihat kemarahan. Aku juga tak pernah membayangkan memakan batang dan pelepah pohon pisang, apa rasanya itu semua? Kondisi mereka sungguh memilukan hatiku.
27 Maret 1944
Apa makna suatu pernikahan? Apa arti dua langkah menjadi satu lebih baik daripada satu langkah? Aku tak mengerti layaknya seorang anak desa yang hanya tahu mengenai berkebun dan cara memberi pakan hewan ternak.
Sejujurnya, aku hanya belum siap bila sewaktu-waktu takdir memanggilku kembali. Saat keluhuran tangannya kembali menyeretku pergi. Saat rantainya kembali membelenggu kedua kakiku.
Biarlah untuk sementara waktu aku menikmati semua ini, toh semua akan berakhir juga pada akhirnya. Aku hanya tak boleh gegabah.
Lantunan musik keras di dalam kamar itu menjadi musik pengantar tidurnya. Seperti biasa setelah membaca lembaran buku aneh itu, tubuh Bima seperti tak berdaya—seakan terisap masuk ke dalam buku tersebut. Bima tertidur bersamaan dengan datangnya mimpi aneh itu kembali.
***
Hari-hari kelabu dan waktu-waktu berat itu sudah berlalu, berganti hari-hari cerah. Pepohonan layu yang kering dan hampir mati telah berbuah manisnya anggur pengharapan. Latihan yang dulu terasa berat itu kini terasa sangat ringan. Melihat kembalinya kilatan cahaya di mataku, membuat Dirman bertanya-tanya di sela waktu latihan, "Kau bersemangat sekali belakangan ini, apa kau habis menang undian lotere?"
Aku menjawabnya dengan tersenyum puas, "Aku baru saja menemukan kembali takdriku Mas, seperti yang pernah kau bilang: 'segala yang sudah tertulis tak dapat lagi diubah dan kini sang takdir telah menuliskannya padaku.'"
Latihan pada hari ini selesai lebih awal dari biasanya, aku segera menemui Ratih di rumah Bi Imah, mengajaknya keluar menyaksikan pertunjukan sandiawara di Gedung Kesenian Jakarta.
"Ratih ada, Bi?'' kataku saat berada tepat di depan pintu rumah Bi Imah dan disambut langsung oleh senyum ramah si pemilik rumah.
"Ada di dalam, masuk dulu sini di luar banyak nyamuk, ayo sini.''
"Di sini saja Bi, tidak lama kok.''
"Ratih... Ratih... ini ada Bima datang.''
"Iya, tunggu sebentar!'' jawab Ratih dari dalam.
"Masuk dulu sini, perempuan kalo dandan suka lama.''
"Ih Bibi sok tahu, ini aku sudah selesai kok,'' bantah Ratih yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah sambil menyisir rambutnya yang lurus melewati bahu.
"Terang saja kamu dandannya sudah dari jam yang lalu." Bi Imah tak mau kalah.
Aku senang melihat hubungan Ratih dan Bi Imah. Mereka sudah akrab seakan sudah lama saling kenal. Setelah itu kami lantas pamit pergi keluar pada Bi Imah. Kami menaiki kereta delman yang ditarik oleh seorang remaja tanggung dengan tampang memelas. Memasuki gedung dengan bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih yang tengah dicumbu api asmara, lalu duduk di kursi deretan depan.
Ketika pertujukan akan dimulai kurang dari lima menit lagi, seorang pria muda bergaya perlente dengan kemeja putih yang diseterika licin menghampiri kami dan duduk tepat di samping Ratih. Aku merasa tidak nyaman dengan kehadiran pria kerempeng itu. Dia seperti habis mabuk; matanya merah berair dan dengan suara serak dia mencoba merayu Ratih.
"Siapa juwita malam ini punya nama. Ah, tapi apalah arti sebuah nama untuk seorang perempuan secantik kau. Nama apa saja akan indah bila dilekatkan padamu."
Aku mendeham keras, namun pria mabuk ini tidak memedulikan keberadaanku dan masih terus mencoba merayu kekasihku, "Matamu berkata padaku, kau ingin berbicara padaku, lekas katakanlah wahai juwita malam yang berpijar indah bersama temaram sang rembulan. Aku amat mendamba ingin mendengar senandung malaikat melalui suaramu."
Pria ini makin kelewatan. Dan kulihat Ratih malah tersipu malu mendengar rayuan gombal dari pria mabuk ini. Ratih tersenyum kecil dan menunduk agar pipinya yang memerah tak terlihat.
"Hei Bung, dia pacarku. Jangan sembarangan menebar rayuan pada tiap gadis," aku memperingatkannya.
Pria itu berpaling padaku dengan mata yang merah seperti terkena iritasi.
"Masih sekadar pacar, toh? Belum menikah? Sebelum ada ikatan apa-apa di antara kalian, itu artinya aku masih punya kesempatan untuk memiliki juwita hatiku ini," pria mabuk ini makin menjadi-jadi.
"Aku tak tahu kau siapa dan apa mau mu?" aku makin gusar dan hampir berdiri dari kursi melayani berandalan yang tak tahu malu ini.
"Kau tak tahu siapa aku, sungguh?" dia terkekeh dengan cara yang aneh. "Kau akan tahu siapa aku kurang dari satu menit lagi."
Tidak berselang lama seorang pembawa acara naik ke atas panggung. Pertunjukan pun dimulai. Pembawa acara tersebut memperkenalkan bintang tamu kepada para penonton yang hadir, selayaknya sebuah pertunjukan pada umumnya.
"Para hadirin yang berbahagia, marilah kita sambut penyair besar kita, si binatang jalang... Chairil Anwar!"
Sontak seluruh isi gedung begemuruh bertepuk tangan menyambutnya dengan meriah, pria itu pun berdiri dan menyambut gemuruh tepuk tangan penonton dengan senyum pongahnya. Ketika ia hendak pergi menaiki panggung ia berkata padaku dengan sombongnya, "Aku duluan ya, Bung."
Selama pertunjukan sandiwara itu berlangsung, aku hanya cemberut kesal. Sama sekali tak menikmati sandiwara yang mengisahkan tentang Rama dan Shinta itu. Selesai pertunjukan tersebut, seperti biasa kuantar Ratih pulang ke rumah Bi Imah.
Di tengah perjalanan aku bertanya padanya, "Jadi kau sudah tahu sebelumnya siapa pria mabuk yang tadi mencoba merayumu itu?"
"Tentu saja aku tahu, aku suka membaca sajak-sajaknya. Dia salah satu penyair terkenal yang sedang naik daun," jelasnya bersemangat.
"Aku tak suka padanya, terlalu banyak gaya," jawabku ketus sambil membuang muka.
"Mengapa? Bukankah wajar bila seorang seniman bersikap seperti itu."
"Justru itulah dasar dari ketidaksukaanku padanya. Bagiku, sastrawan; budayawan; atau seniman adalah orang yang paling sok berbudaya—sok paling mengerti tentang segala-galanya dengan sudut pandang yang tidak dimengerti semua orang."
"Kurasa tidak demikian."
"Apanya?"
"Kau hanya cemburu lantaran pria itu merayuku," Ratih tergelitik sambil mengatikan tanganku dan tak melepasnya sepanjang jalan.
***
Aku kembali ke asrama dengan senyum lebar mengembang di wajahku, melewati para anggota lainnya yang sedang berkumpul di ruang tengah. Mereka sedang berdiskusi seru dan aku pun tak mau ketinggalan ikut nimbrung di tengah-tengah mereka.
"Kita harus segera bergerak, cepat atau lambat keadaannya bisa semakin memburuk," ujar salah seorang anggota.
Dirman duduk di tengah para anggota yang berdiri melingkarinya berusaha mengingatkan. "Jangan gegabah, kita masih harus menunggu. Kaum pelopor belum memberi arahan pada kita, biarkan mereka bergerak lebih dulu."
Salah seorang anggota menyanggah, "Para petani di bawah sudah berteriak, mereka amat menderita atas kebijakan Jepang ini. Kita tidak boleh berdiam diri saja."
Dirman hanya diam, menggelengkan kepala. Sementara para anggota lain di ruangan itu tak henti-hentinya menggerutu tidak puas atas jawaban dari pemimpin mereka.