Apa sesuatu yang membuat kita merasa bahwa diri kita tidak berguna, dan terlalu banyak menyia-nyiakan waktu? Benar, tidur sepanjang hari melupakan skripsi yang harusnya sudah selesai direvisi untuk diserahkan keesokan harinya.
Bu Lestari terus mendecakkan bibirnya tanda kesal sambil sesekali mengernyitkan dahinya ketika membaca skripsi Bima yang belum banyak mengalami perbaikan. "Ibu tak habis pikir sama kamu, apa sih yang kamu kerjakan selama seminggu ini? Coba lihat skripsimu, masih acak-acakan. Hasil penelitian dengan antar premisnya saja tak nyambung."
Tidak ada kegiatan lain yang dilakukan Bima selain manggut-manggut dan menarik-narik ujung baju dengan kedua jarinya. Udara terasa padat di ruangan itu, menghantam tubuhnya hingga ia terpental dari kursi ke lantai.
"Terus coba lihat ini," katanya sambil mengetuk-ngetuk ujung pulpen ke arah tulisan yang dimaksud, "Landasan teorimu hanya baru sekadar definisi-definisi saja, tidak menjelaskan apa-apa. Bagaimana kamu mau lanjut ke pembahasan dan analisa kalau landasan teorimu seperti buku pelajaran anak SD begini?!"
Bima hanya bisa mengutuk dirinya sendiri atas keteledorannya, ia berpikir mungkin terkadang tindakan gegabah amat diperlukan. Belum selesai ia menyadari kebodohannya, Bu Lestari menambahkan lagi, "Ibu tak mau tahu apa yang terjadi sama kamu di luar sana. Kalau kamu masih ingin lulus tahun ini, skripsi ini harus selesai kurang dari dua minggu. Kalau minggu depan belum ada perbaikan yang berarti, terpaksa ibu tidak akan menyetujui skripsimu untuk diikut sertakan dalam ujian sidang, mengerti?"
Bima keluar dari ruangan dosen dengan wajah dilipat serta sorot mata yang menyalang tajam. Para mahasiswa baru yang sedang berkerumun membaca papan pengumuman di koridor kampus ketakutan dibuatnya. Ia pergi ke kantin memesan semangkuk mie rebus, lalu menyalakan sebatang rokok.
"Buku sialan," umpatnya dalam hati.
Ia mulai menyalahkan apa saja yang membuat skripsinya tertunda, mulai dari: buku aneh itu, Tiara dan teman-temannya yang berisik, bahkan Liam sosok yang tak pernah dijumpainya di dunia nyata. Padahal kalau saja dia mau mengakui bahwa dirinya sendirilah yang salah: selalu menunda-nunda pekerjaan.
Setelah menghabiskan satu mangkuk mie rebus dan dua batang rokok, Bima segera memacu sepeda motornya secepat mungkin meninggalkan kampus. Sesampainya di rumah nanti hanya satu hal yang musti dilakukannya, yaitu menyelesaikan skripsinya. Persetan dengan buku aneh, teman-teman Tiara, Liam dan apa pun itu.
Di rumah Ibu baru saja selesai belanja untuk makan siang di warung, melihat Bima yang sudah kembali dari kampus dengan wajah lelah sedang membuka sepatu di kursi teras.
"Kok kamu sudah pulang? Sudah selesai bimbingannya?'' tanya Ibu sembari membereskan belanjaan di dapur.
"Sudah,'' jawabnya sambil membuka sepatu dan jaket, lalu pergi cuci muka ke kamar mandi.
"Kalau kamu mau makan nasinya sudah matang, tapi sayurnya masih Ibu masak dulu sebentar,'' ujar Ibu pada Bima yang ada di kamar mandi.
"Aku sudah makan di kampus.'' Bima keluar dari kamar mandi dengan wajah basah kuyup lalu segera masuk ke kamarnya untuk menyelesaikan skripsinya yang tak kunjung selesai.
Tepat pukul dua pagi ketika Bima mematikan layar laptopnya, merapikan buku-buku serta klipingan jurnal ke dalam laci meja belajar. Matanya merah dan badannya serasa rontok dihajar lelah. Meskipun skripsinya belum sepenuhnya selesai, namun ia boleh berbangga hati atas kerja kerasnya. Kini ia bersiap untuk tidur.
Matanya terpejam, tapi pikirannya masih mengembara bebas ke sana kemari. Ia mengatupkan mulutnya rapat-rapat, namun hati kecilnya terus saja berbicara hal-hal yang ingin dibicarakan. Tubuhnya berusaha keras untuk tidur, tapi jiwanya berontak—menolak untuk tidur.
Dengan satu tarikan napas Bima kembali terjaga. Ia mengakui kekalahannya dalam pergulatan melawan batinnya sendiri.
"Baiklah, kau menang. Aku akan membaca kembali buku sialan itu." Bima bangkit dari tempat tidurnya, mengambil buku itu dari atas rak buku, lalu dibacalah lembaran berikutnya di buku itu.
7 Juni 1944
Dua bulan berlalu dan aku masih menunggu surat dari Liam. Tak kunjung kuterima, tak ada kabar dan tanpa kejelasan. Apa mungkin ia lupa pada rencana ini? Atau mereka (kelompok Liam di Bogor) mengurungkan niatnya? Ah mustahil rasanya.
Satu hal yang pasti, aku dan para pekerja paksa yang tiap harinya memerah keringat dan air mata takkan bisa menunggu lebih lama. Lebih cepat lebih baik.
10 Juni 1944
Aku merasa kembali kesepian. Sahabat dan kakakku, Dirman telah pergi. Tak ada tempat untuk berbagi cerita di kala aku lemah akan pengetahuanku. Guruku yang mengajariku tentang kehidupan. Sosok panutan lagi bijaksana yang senantiasa kuandalkan.
Masih banyak yang belum kupelajari dan kuketahui tentang segala hal darimu. Tapi lagi-lagi sang diktator, penguasa semesta merenggut satu persatu yang kumiliki dengan keangkuhan tangannya.
Semoga aku dapat kembali berjumpa denganmu—sahabat, kakak, dan guru (dalam arti sebenarnya), sekaligus panutanku.
12 Juni 1944
Kepergian Dirman malah membuatku bebas di sini. Aku merasa aneh pada diriku sendiri, aku harus bahagia atau malah sebaliknya?
Aku jadi kian merdeka... tidak, belum sepenuhnya merdeka. Kendati begitu aku tak mau mengajak yang lainnya mengikuti tindakanku ini. Biar aku saja yang melakukan perlawan dengan caraku sendiri. Aku tak mau menyeret mereka ke dalam masalah yang kutimbulkan.
Kalaupun aku harus dihukum atau diasingkan sekalipun, aku tidak menyesal. Itu lebih baik daripada menyerah pada kemunafikan!
14 Juni 1944
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang bebas. Segala aturan dan nilai-nilai dibuat untuk membatasi kebebasan manusia itu sendiri.
Apa jadinya bila tidak ada aturan dan nilai-nilai di dunia ini? Mungkin tidak akan tercipta keseimbangan. Lalu, apa jadinya bila Dirman mengetahui keadaanku saat ini? Mungkin aku harus segara menyuratinya dalam waktu dekat.
Aku bosan dengan segala hal semu, termasuk kebebasan yang semu ini. Aku ingin bebas sepenuhnya, merdeka dalam arti sebenarnya.
Akhirnya, Bima dapat memenangkan pergulatan melawan batinnya. Ia dapat tidur lelap setelah membaca lembaran-lembaran buku tersebut. Kini ia bersiap untuk menghadapi mimpi itu kembali.
***
Seminggu berlalu sejak kepergian Dirman yang menurutku terasa mendadak, atau barangkali memang sudah direncanakan, namun ia enggan bercerita padaku. Ia dipindah tugaskan ke Jogjakarta. Penggantinya adalah Shodanco Badjuri, seorang mantan pimpinan peleton yang berdeda dengan kelompokku. Bagiku ini sebuah keuntungan tersendiri karena aku dapat dengan mudah berkordinasi dengan kelompok Liam di Bogor, tanpa ada yang melarang-larang. Dan di sisi lain aku dapat berbuat sesuka hatiku di sini, tanpa ada yang mengawasiku, tanpa perlu tunduk di bawah nila-nilai dan aturan yang berlaku di asrama.
Pagi ini misalnya, aku dapat dengan bebas menyelinap keluar dari pintu belakang lalu memanjat pintu gerbang dengan aman. Berjalan mengendap-endap meninggalkan asrama, tanpa harus mengikuti latihan bodoh itu lagi. Ini adalah caraku memberontak pada Jepang. Aku tidak perlu lagi mengikuti segala aturan yang dibuat oleh mereka. Maka di sinilah aku sekarang, di rumah Bi Imah mengajak Ratih keluar sekadar berjalan-jalan menikmati udara bebas.
Bi Imah tentu mengizinkan kami keluar pagi ini, karena ia sudah mendapat dua karyawan baru yang merupakan kemenakannya sendiri: Ncum dan Mimih. Dua gadis belia baru berusia 13 tahun yang diboyong dari kampung.