Sesampainya di rumah, Bima masih memasang wajah sumringah penuh kemenangan. Dipeluknya ibunya ketika ia menyampaikan berita bahwa skirpsinya sudah bisa mengikuti ujian sidang bulan depan. Ibu merasa bangga pada anak sulungnya itu. Akhirnya di ruang tamu akan segara terpampang foto wisuda yang dibingkai oleh pigura indah. Menyambut para tamu yang berkunjung dengan sebuah bukti pencapaian untuk disombongkan. Lalu sang tamu akan melemparkan pujian dan sanjungan pada si tuan rumah.
Masih dalam suasana penuh kemenangan, Bima keluar dari dapur menghampiri Tiara yang tengah larut bersama drama Korea di ruang tamu. "Jangan menangis hanya karena aku akan segara lulus. Tahun depan bila kamu giat belajar sepertiku, kamu pasti juga akan lulus," Bima mulai menggoda adiknya yang sedang menahan air matanya agar tak jatuh kala menyaksikan adegan di film. Seketika persaan sedih Tiara sirna, berubah menjadi sebal.
"Kamu datang ke sini bukan hanya untuk membuat aku kesal, kan? Kalau tidak ada keperluan lebih baik balik sana ke sarangmu," ketus Tiara.
"Galak sekali adik kecilku ini sekarang," Bima makin semangat menggoda. "Sudah berani bersikap kurang ajar sama kakaknya sendiri."
"Lebih kurang ajar seorang kakak yang tega mengusir teman adiknya sendiri dengan suara musik keras. Dan sekarang teman-temanku tak mau lagi main ke rumah."
"Eh, jadi kemarin teman-temanmu itu pergi karena aku? Bagus deh," Bima cekikikan tertawa geli.
"Puas kamu sekarang?"
"Belum sepenuhnya puas. Aku masih harus menunggu surat dari Liam, dan juga menunggu pergerakan dari kaum pelopor." Kata-kata itu terlontar keluar begitu saja dari mulutnya dan tidak dapat ditarik kembali.
Sesuai perintah sang adik, Bima kembali ke kamar. Dia kini bebas melanjutkan mimpi itu lagi tanpa ada perasaan bersalah karena menunda skripsinya. Bima meletakkan tas ranselnya di bawah meja belajar, dan menutup tirai jendela hingga terik sinar matahari tidak dapat menembus kesuraman di ruangan itu. Diambilnya buku itu dari dalam laci, dan pada lembaran selanjutnya buku itu bercerita:
17 Agustus 1944
Kalau bukan Bi Imah yang memberi undangan itu, mana mungkin aku sudi datang. Dan sudah kepalang tanggung pula aku berjanji pada Ratih. Pesta makan malam itu manis sekali awalnya, di bawah aram temaram sinar rembulan. Lalu pahit di akhir, di bawah hinaan tak berdasar si tuan rumah—si gadis berambut jagung itu.
Amelia, tidak maksudku Wati sebenarnya adalah gadis manis. Hanya sayang dia salah pergaulan. Dia begitu keranjingan pada semua hal berbau Eropa, membuatnya jadi lupa daratan, lupa pada asal muasal leluhurnya, bahkan malu untuk mengakuinya. Sungguh ironis.
Ada dua sifat manusia yang aku tak suka dalam hidup ini. Pertama, orang yang berbuat semena-mena dan tidak adil. Kedua, adalah orang yang suka meremehkan orang lain. Terlebih sampai merendahkan dan melemahkan mimpi seseorang.
Aku jadi teringat salah seorang kawanku dulu yang bercita-cita menjadi juru tulis atau juru hitung di pabrik kayu milik Belanda. Orang-orang di sekelilingnya, bahkan termasuk keluarganya sendiri tak henti-hentinya menertawakan cita-citanya itu, hanya karena ia buta huruf. Tidak pernah makan bangku sekolah. Maka ia urungkan mimpinya menjadi juru tulis atau juru hitung. Kembali mengikuti garis keturunan keluarganya sebagai pemerah susu sapi.
Atas dasar apa pun perbutan itu tak dapat aku terima. Bagaimanapun seseorang berhak bermimpi. Tidak peduli apakah mimpinya itu terlalu tinggi atau rendah, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk meraihnya.
Perlahan rasa kantuk menggelayuti kedua matanya, dan napasnya mulai berat. Pandangannya menjadi kabur. Sekelilingnya mulai gelap dan tidak ada suara apapun yang didengarnya kecuali tarikan napasnya yang semakin berat. Dia tahu bahwa itulah saatnya mimpi itu kembali datang menjemputnya.
***
Aku jadi tak enak hati pada Ncum dan Mimih. Lantaran aku sering mengajak Ratih keluar, mereka jadi iri pada kami. Bi Imah tidak pernah sekalipun mengizinkan sepasang gadis kampung itu keluar rumah. Menurutnya mereka masih terlalu polos dan tak tahu seluk beluk kehidupan di Jakarta. Tanpa mengindahkan rengekan dua gadis itu, Bi Imah menyampaikan sebuah undangan makan malam di sebuah restoran mahal, restoran kelas satu. Undangan tersebut datang dari langganannya, seorang Bupati Wonokromo.
"Saban sore beliau datang kemari minta dibuatkan jas sama Bibi. Terus begitu melihat Ratih, dia bilang ingin mengundang Ratih ke acara makan malam. Katanya Ratih masih seumuran sama anak perempuannya."
"Pesta makan malam dalam rangka apa, Bi?" tanyaku penasaran.
"Merayakan kelulusan anaknya dari sekolah Belanda."
"Mewah sekali. Lulus sekolah saja pakai acara pesta makan malam, di restoran mahal pula."
"Maklum saja Bim, masih keturunan ningrat," jelas Bi Imah. Lalu dia menambahkan, "Ada yang lucu dari anaknya itu. Karena sudah kerasan di Belanda sana, dia mengganti namanya yang semula: Raden Ayu Sri Puji Astuti Purnawati, menjadi Amelia Winterburn. Katanya supaya lebih kebarat-baratan."
Kami semua tak dapat menahan tawa geli begitu Bi Imah selesai menjelaskan. Konyol bagiku seorang yang keturunan ningrat malu pada adat dan leluhurnya sendiri. Sementara aku yang hanya anak seorang petani jagung sangat bangga pada adat dan leluhurku. Dan kenapa musti malu? Atau mungkin karena aku tidak pernah makan bangku sekolah, sampai ke Belanda pula.
Bi Imah menyodorkan kertas undangan pada kami berdua, dia meminta kami pergi nanti malam. Aku belum memutuskan akan pergi atau tidak, tapi tak ada salahnya menikmati kebebasanku ini dengan pergi ke pesta mewah. Jadi kuiyakan saja keinginan Bi Imah.
Ketika aku hendak pamit pulang, Ratih menahanku dan menyuruh aku menunggu. Ia pergi masuk ke dalam, lalu kembali dengan membawa sepotong jas lengkap dengan celana bahan berwarna hitam. Tidak salah lagi ini jas yang dibuatkan Ratih untukku.
"Cobalah, barangkali ukurannya kurang cocok," perintahnya.
Kuraih jas itu dan memasukkan kedua tanganku ke lubang lengan sambil bercermin di kaca jendela. "Ukurannya cocok dengan badanku, aku suka."
"Kau suka?"
"Sudah tentu. Simpanlah jas ini sampai nanti malam, tak mungkin aku pulang ke asrama membawa jas ini. Bisa dicuragi banyak orang nanti."
Sesudah itu aku lekas kembali ke asrama melalui pintu belakang karena hari masih siang. Anehnya, lagi-lagi tidak ada yang mengetahui saat aku menyelinap masuk ke kamar. Mungkin aku memiliki semacam ilmu tak terlihat.
Di dalam kamar yang kukunci dari dalam, aku menimbang-nimbang untuk pergi atau tidak ke pesta itu. Kubaca kertas undangan tersebut, kulihat nama si pengundang yang punya hajat: Amelia Winterburn.
Gadis macam apa yang mengubah namanya demi pengakuan orang bahwa dirinya pernah bersekolah di Eropa. Terlebih dia merupakan keturunan ningrat, bukan orang sembarangan. Kalau bukan karena darah ningrat yang mengalir dalam dirinya mana mungkin dia bisa sekolah di Eropa, sungguh ironis. Di kertas undangan juga tertulis tempat perayaan: Kunstring Paleis Restaurant. Nama tempat yang asing di telingaku dan sudah pasti dari namanya saja sudah kedengaran restoran mahal.
Kutepis keraguan itu dalam pikiranku. Bagaimanapun aku sudah janji pada Ratih, tak enak bila membatalkannya secara sepihak, apalagi mendadak. Kuambil sepatu pantofelku dari kolong tempat tidur yang sudah mulai berdebu. Kusemir sampai hitam mengilap seperti baru. Kemeja putih dan dasi bermotif garis-garis juga telah kupersiapkan, tergantung rapi di pintu lemari. Aku masih punya waktu tidur siang sebentar hingga matahari terbenam.
***
Tidak ada orang yang menegur atau sekadar bertanya akan penampilanku yang sangat formal malam ini. Aku pergi dengan leluasa tanpa ada hadangan sedikit pun, mungkin benar aku sudah menjadi manusia tak kasatmata sekarang ini.
"Gagah Bim. Kau jadi seperti aktor film barat," puji Bi Imah saat aku mengenakan jas tersebut lengkap dengan celana bahan hitam dan kemeja putih. "Ratih memang pandai membuatkannya untukmu."
"Ah, Bibi terlalu berlebihan. Tentu buatan Bibi jauh lebih bagus daripada sekadar ini, buktinya seorang Bupati dari Wonokromo saja sampai jauh-jauh memasan ke sini," ujar Ratih tersipu malu.
Menurut penilaianku sendiri jas ini memang bagus. Jahitan benang berwarna putih yang terjahit rapi mengikuti setiap lekuk garis kerahnya yang besar. Perpaduan warna dasar hitam dan garis putih yang mencolok, dan aksen putih yang terdapat pada katup kantong di bagian dada sebelah kiri memberi kesan kontras yang indah. Aku tidak mengira Ratih bisa membuatkan jas sebagus ini untukku.