Tiga bulan lamanya Bima berkutat dengan tumpukan buku dan lusinan lembar kliping jurnal sebagai bahan skripsinya. Selama itu pula tidurnya terganggu. Tetapi kini tiada lagi hari-hari melelahkan itu lagi, dosen pembacanya sudah meninjau seluruh isi skripsinya dan telah memberi persetujuan layak uji.
Pagi ini dia pergi ke kampus hanya untuk meminta tanda tangan Dekan dan Kepala Jurusan. Dia langsung pulang ke rumah begitu segala uruan telah selesai. Dan kini saatnya melanjutkan cerita yang belum selesai. Buku hitam itu tinggal menyisakan empat-lima lembar halaman terakhir. Banyak halaman yang hilang atau sudah rusak, sehingga tidak dapat terbaca lagi. Maka dibacalah buku tersebut sambil berbaring santai di atas ranjang.
19 Desember 1944
Abah dan Umi datang ke Jakarta, meminta Ratih pulang ke Bogor.
Apa kelebihan si Rosidi selain merupakan anak seorang ulama dan pandai mengaji dibanding aku? Aku ini seorang tentara PETA. Semua orang yang kujumpai di jalan, bila aku sedang memakai seragam tunduk dan hormat padaku. Tentu tidak level bila hanya dibandingkan dengan seorang tengkulak beras biasa.
Ada perasaan lega sekaligus bangga dalam diriku saat akhirnya aku mampu mengeluarkan kata-kata itu: "Aku akan menikahi Ratih." Meski baru sebatas kata-kata, tapi tak pernah kusangka aku bisa mengucapkannya di hadapan Ratih langsung dan kedua orangtuanya.
Memang benar aku ingin sekali menikah dengannya suatu hari kelak, tapi nanti setelah bangsa ini merdeka lebih dulu.
20 Desember 1944
Sepucuk surat dari Liam akhirnya tiba, tepat pada hari ulang tahunku ke 20!
Aku senang, tapi juga cemas serta takut bercampur. Itu berarti aku harus kembali meninggalkan bidadari kecilku Ratih, yang selama ini masih kesembunyikan darinya rencana pemberontakan ini. Kusimpan rapat-rapat dalam kepalaku.
Tapi ... apalah arti mencintai bila tak merdeka... apalah arti memiliki kekasih yang setia bila tak merdeka... apalah arti semua itu dibanding dengan kemerdekaan. Harus ada harga yang dibayar untuk semua itu. Aku ingin merdeka dalam mencintai.
25 Desember 1944
Sekalipun mereka menyiksaku secara perlahan, aku takkan pernah gentar. Semangatku takkan tergoyahkan.
Pagi ini aku kembali mendapat perlakuan tak menyenangkan dari Shodanco Badjuri dan kawan-kawannya. Kurasakan masih ada sedikit pasir tersisa yang bersarang di mataku saat menulis catatan ini. Perih sekali tiap kali aku mengedipkan mata.
Namun belum seberapa bila dibandingkan tiga hari lalu. Aku sampai tak bisa merasakan kakiku menyentuh tanah setelah ia menghukumku jalan jongkok mengelilingi lapangan dua ratus putaran.
Biar saja mereka terus melakukan ini padaku dan juga yang lain. Tujuanku ini jelas untuk kebaikan bangsa ini. Dan yang perlu diingat, aku prajurit yang setia pada negara, bukan pada atasan. Bila memang harus melawan, aku akan melawan.
Bima menguap lebar dan seketika rasa kantuk menyergapnya saat membaca kalimat terakhir di lembaran buku tersebut. Buku itu jatuh ke lantai, sementara Bima jatuh tertidur pulas di kasur empuknya.
***
Dua pasang sepatu berjejer di depan pintu masuk rumah Bi Imah—sedang ada tamu, pikirku. Aku mengetuk pintu dan memberi salam seperti biasa, Ncum keluar membukakan pintu dan memintaku masuk. Baru selangkah kakiku melewati garis ambang pintu, Ratih berlari dan melompat ke pelukanku. Mengalungkan kedua belah tangannya di pinggangku. Tidak biasanya dia bertingkah seperti ini, seperti sudah sepuluh tahun tidak bertemu, padahal baru kemarin aku menemaninya cukur rambut.
"Syukurlah kau datang tepat waktu," ujarnya sambil menarik tanganku masuk ke dalam. "Abah dan Umi datang kemari dari Bogor."
Di ruang tengah, Abah, Umi dan Bi Imah sedang terlibat percakapan seru. Ratih duduk kembali di tengah-tengah kedua orangtuanya itu. Aku dengan segala hormat, layaknya calon menantu yang baik memberikan salam kepada sang calon mertua. Lalu ikut duduk di samping Bi Imah.
"Abah, Umi, ini Bima," terang Ratih. "Dulu pernah menginap di rumah sehabis mengantarku pulang tengah malam itu, ingatkan?"
Kedua pasang mata orangtua itu silih berganti menatapku, aku hanya tersenyum kaku.
"Abah ingat, salah satu mantan pimpinan regu Laskar Pemuda itu kan."
"Kamu kerja apa sekarang?" Umi menyambar sebelum aku sempat menjawab.
"Saya masih jadi anggota pasukan PETA," terangku tanpa ada kesan menyombongkan diri.
Kedua orangtua itu kemudian saling menatap dan mengernyitkan wajah. "Kalau dibandingkan sama Rosidi, masih jauh lebih baik si Rosidi," Umi berbisik pada Abah nada ketus dan penuh ketidak sukaan padaku.
Abah menganggukkan kepala dan membalas, "Benar, Umi. Memang lebih baik kalau kita jodohkan Ratih sama Rosidi saja."
Setelah perkataan itu terlontar ke udara suasana menjadi hening. Sampai-sampai suara Ncum dan Mimih yang sedang menggulung benang di ruang sebelah dan suara jarum jatuh ke lantai pun terdengar.
"Ih, si Abah," sela Ratih. "Pokokna mah abdi teu sudi dijodohkeun sami manehna."
Di antara semua orang yang ada di ruangan itu, cuma aku satu-satunya yang hanya bisa garuk-garuk kepala lantaran tidak mengerti maksud perkataan Ratih dan inti dari pertemuan ini.
"Jangan bilang begitu Ratih," sergah Umi dengan nada tinggi. "Rosidi itu anak baik-baik—anak seorang ulama terpandang di kota Bogor. Ilmu agamanya tinggi; mengajinya juga bagus; sering juara lomba MTQ pula."
Abah mengangguk dan ikut menimpali, "Kalau kamu nikah dengan Rosidi, kamu tidak perlu jauh meninggalkan rumah dan hidup di Jakarta seperti sekarang. Rosidi itu selain pandai mengaji, juga seorang tengkulak beras, penghasilannya jelas. Kamu bisa hidup enak, Abah dan Umi pun bisa lega kalau kamu nikah dengan anak ulama—insya Allah selamat dunia dan akherat."
"Hidup Ratih di sini juga enak," sanggah Ratih. "Aku punya penghasilan dari pekerjaanku menjahit dan punya tabungan sendiri. Lagi pula seperti yang Abah dan Umi lihat, aku juga sudah punya pacar."
"Beginilah anak zaman sekarang, tak pernah nurut perkataan orangtua," lirih Umi. "Emang pacarmu sudah bisa kasih apa?" Umi melemparkan sekilas tatapannya ke arahku.
"Embung, abdi angger henteu resep sami eta si Rosidi!"
"Resep teu resep mah teu janten masalah atuh," Umi membalas tak kalah tinggi. "Yang penting sekarang kamu pulang dulu ke Bogor nikah sama dia, nanti lama kelamaan juga pasti suka. Daripada kamu di sini hidup tidak jelas, jauh dari orangtua dan jauh dari keluarga. Mau jadi apa kamu?"
"Hapunten, Euceu," Bi Imah ikut menyela di perdebatan sengit tersebut. "Jangan bilang Ratih hidupnya tak jelas di sini, dia sudah saya anggap seperti anak saya sendiri, saya rawat dan saya sayangi layaknya anak kandung. Dan masalah jodoh juga jangan dipaksa kalau anaknya tak mau, ini bukan lagi zamannya Siti Nurbaya. Biar Ratih memilih jodohnya sendiri.
"Saya kenal betul siapa Bima ini—sudah saya anggap anak saya sendiri juga. Biar sekarang belum punya pekerjaan tetap, tapi saya yakin dia serius sama anak Euceu. Dia juga sudah janji sama saya kalau dia akan segera menikahi Ratih sehabis selesai tugas."
Suasana menjadi sedikit mencair setelah Bi Imah menerangkan hal tersebut. Ratih tidak lagi merungut. Dari dalam dapur Ncum dan Mimih membawakan teh hangat.
"Jadi kamu benar serius sama anak Abah?" ujar Abah sambil menyeruput teh yang baru tersaji di meja.
Sampai detik ini sejujurnya aku belum memiliki sikap untuk serius melangkah ke jenjang selanjutnya seperti pernikahan. Aku masih belum bercerita padanya tentang rencana pemberontakan yang bisa saja menjadi tugas terakhirku. Dan aku juga tidak tahu apa yang akan kulakukan sehabis menikah nanti. Di kepalaku yang terpikir saat ini hanyalah kemerdekaan bangsa ini, itu saja.
Bi Imah menyubit pinggangku dan berbisik, "Ayo jawab itu, jangan melamun."
Aku tersentak dan dengan refkek berkata, "Iya saya serius ingin menikahi Ratih."
Semua orang menghela napas lega, kecuali Umi. Ratih terlihat tersipu malu dan tersenyum memandangiku. Seperti itulah perempuan, selalu meminta kejelasan dari lelaki: kapan dan kapan. Sementara lelaki, sebagai makhluk rasional selalu berkata: bagaimana dan mengapa.
"Tuh dengar sendiri dari pacarnya Ratih langsung," Bi Imah menepuk pundakku bangga.
"Kalau cuma punya cinta saja, tak punya pekerjaan buat apa," desis Umi melipat kedua tangannya di dada.