Bima mendapat pesan dari pihak sekretariat kampus mengenai dokumen yang harus dilengkapinya sebelum mengikuti ujian sidang. Di antaranya yaitu: fotocopy ijazah SMA, pas foto 4x6 empat lembar, transkrip nilai, akta kelahiran, surat keterangan bebas finansial serta surat pernyataan layak uji yang bertanda tangan Dekan dan Ketua Jurusan. Sesampainya di rumah ia segera menyiapkan dokumen persyaratan tersebut karena waktu ujian kurang dari dua pekan lagi.
Ibu memberi tahu bahwa semua dokumen itu tersimpan di laci lemari ruang tengah. Tanpa membuang waktu Bima segera mencari. Di tangannya kini sudah ada lima dari enam dokumen persyaratan tersebut. Ia tinggal pergi ke studio foto dan mencetak foto sesuai ukuran yang sudah ditentukan. Ketika ia membereskan kembali tumpukan dokumen yang berserakan di lantai, ia menemukan akta kelahiran miliknya. Dia baru menyadari satu hal ketika melihat tanggal lahir di akta kelahirannya. Di situ tertulis 20 November, sementara tanggal lahirnya sendiri adalah 20 Desember. Mana yang benar? Ia tak peduli, mungkin saja tanggal kelahiran di akta kelahiran itu salah cetak. Bima langsung pergi ke kamar setelah memasukkan semua dokumen itu ke dalam sebuah map.
Ditaruhnya map tersebut ke dalam laci meja belajarnya. Lalu ia mengambil buku hitam dari balik bantal, dan mulai membaca.
4 Februari 1945
Sepekan sebelum aku berangkat ke Blitar. Kuluapkan semua kegamangan hatiku selama ini, rahasia yang seakan menjadi bom waktu. Beban yang selama ini terus bergelayut dalam jiwaku. Rantai yang selama ini menjerat langkahku.
Namun ternyata tak seberat yang kubayangkan selama ini. Aku dapat menjelaskan dengan baik rencana kepergianku pada Ratih. Dan dia menerimanya dengan amat tegar, tak kusangka.
Waktu memang dapat mengubah seseorang. Selama ini di dalam benakku, Ratih masih gadis kecil yang lugu; yang tak punya ketegaran hati; yang gampang menangis. Dapat kusadari kini, bahwa kami sudah tumbuh dewasa. Kami bukan lagi anak-anak yang datang dari desa memadu kasih di ibu kota.
Aku bersyukur kini tak ada lagi beban yang mendera jiwaku. Aku harus segera menyelesaikan apa yang telah aku mulai.
11 Februari 1945
Di tengah perjalanan aku sempatkan menulis catatan ini. Roda kereta terus berdecit kencang di atas bantalan besi, menembus kegelapan malam. Kereta terus melaju hingga ke Surabaya.
Meskipun semua beban telah kulepaskan dari dalam diriku, tapi masih ada saja perasaan yang mengganjal dalam hatiku. Diriku yang satunya tak mau berhenti berpikiran buruk dan selalu saja gelisah, sementara diriku yang lainnya berkata sebaliknya. Dapatkah dikatakan perasaan ini wajar?
Saat tiba nanti semoga gejolak batin ini telah usai merundung jiwaku. Aku ingin fokus pada tugasku tanpa ada perasaan takut menyela.
13 Februari 1945
Tepat tengah malam sebelum dini hari ketika catatan ini kutulis, beberapa jam sebelum kami pergi menuju hotel tempat berlangsungnya acara pertemuan besar pimpinan tertinggi Jepang.
Aku mulai mencium aroma busuk dari tindak tunduk Bonar selama berada di sini. Bonar si pembuat onar, tak pernah jera membuat masalah. Aku tahu dari awal rencana busukmu, dan topeng di balik wajah bengismu itu. Kau tak lebih dari sekadar begundal kaki tangan Jepang yang selama ini menjadi musuh dalam selimut. Biar semua orang tak percaya padaku (aku heran kenapa hanya Sjahrir dan Ratih yang tak pernah meragukanku), tapi aku sudah cukup lama mengetahui pemainanmu. Suatu saat nanti akan kubongkar sendiri siapa kau sebenarnya!
Kurasa cukup sekian cacatan kali ini, aku harus segera bergegas berangkat sekarang. Ayah, Ibu, Ratih, Sjahrir dan semua orang yang kucintai doakan semoga aku dapat pulang dengan selamat.
14 Februari 1945
Segalanya berantakan! Kita kalah! Aku tak sanggup berdiri lagi! Aku rasa akan mati! Mati! Mati!
Aku hanya punya waktu lima belas menit sebelum para tentara Jepang itu berhasil menangkapku. Tuhan tolong aku, selamatkan aku. Aku tak punya lagi tempat untuk berlari, aku tak tahu harus ke mana. Keram di lututku tak dapat lagi tertahankan, dan aku masih harus berlari sebelum mereka menangkapku.
Apakah aku harus berlari? Mengejar Shodanco Supriyadi yang telah meninggalkanku mendaki gunung seorang diri? Atau berdiam diri saja di sini? Aku butuh jawabanmu segara wahai sang penguasa alam semesta, yang senantiasa bermain-main dengan takdir manusia!
Ah, aku pasrah bila memang ajal sudah menjemput... Titipkan salamku pada bidadari kecilku yang kini telah menjadi perempuan tegar itu. Pastikan ia tak menangisiku. Maaf aku tak dapat menepati janjiku, aku ini tolol.
Selamat tinggal dunia, akhirnya aku akan bertemu lagi dengan Ibu yang aku cintai. Oh, senangnya ...
Dan mimpi yang belum selesai itupun kembali menjemput dalam tidurnya seusai ia membaca buku tersebut. Jiwanya seolah kembali terisap masuk ke dalam cerita di buku itu. Bima tertidur, melanjutkan mimpi yang begitu nyata seperti pernah ia alami sebelumnya.
***
Seminggu terakhir kabar tentang pemberontakan semakin gencar di kalangan pasukan PETA di tanah air tanpa diketahui oleh Jepang. Segala persiapan sudah diatur sedemikian rupa dengan matang. Kami telah bersepakat akan pergi ke Blitar minggu depan. Kabarnya akan digelar pertemuan besar para pemimpin tertinggi Jepang di kota tersebut. Itu merupakan saat yang tepat bagi kami untuk melancarkan serangan.
Tak dapat dipungkiri hatiku berdebar menunggu saat-saat seperti ini, meskipun masih ada yang mengganjal di pikiranku—tentang Ratih. Belum juga aku menjelaskan tentang rencana ini kepadanya. Aku tak sanggup melihat air matanya kembali jatuh berderai. Aku tak tahan mendengar tangisan tersedak-sedaknya kala kusampaikan hal ini. Itulah mengapa, aku terus menunda-nunda memberi tahu rencana kepergianku ini padanya, padahal waktunya kian dekat.
Maka malam ini juga aku bertekad segera mengakhiri kegundah gulanaan hatiku. Aku menyelinap keluar dengan membawa sebuah bingkisan kecil yang dulu kubeli dari toko Cina, masih terbungkus rapi belum pernah kubuka.
"Masuk, Bim," sambut Bi Imah saat aku menunjukkan wajahku di depan pintu.
"Tak perlulah, Bi. Aku cuma mau mengajak Ratih keluar sebentar."
Bi Imah memanggil Ratih yang sedang merapikan tumpukan pakaian ke keranjang, lalu segera keluar begitu mendengar Bi Imah memanggilnya.
Sesosok perempuan muda berambut panjang yang diikat ke belakang menggunakan kain perca muncul dan segera melompat mencari genggaman tanganku.
"Kerjaan Ratih sudah selesai semua ya, Bi."
Bi Imah mengganguk senang. Entah karena Ratih yang telah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, atau karena melihat kedua anaknya yang semakin lengket. Seperti sepasang merpati yang tidak dapat dipisahkan.
"Kalau begitu kami izin keluar sebentar," kataku pamit pada Bi Imah sambil berjalan menggandeng tangan Ratih.
"Jangan pulang kemalaman ya Nak," pesan Bi Imah dan kami balas dengan lemparan senyum dan lambaian tangan.
Sepanjang jalan aku masih mencoba merangkai-rangkai kata untuk kalimat pembuka dari salam perpisahanku, agar tak terlalu membuatnya kaget dan sesedih dulu. Kumulai dari pujian pada bulan dan bintang, lalu kecantikan wajahnya, lalu tentang pekerjaannya, lalu tentang Bi Imah serta tak lupa tentang Ncum dan Mimih, lalu... semuanya menjadi rumit sekali, menggatung di kepalaku. Aku tak tahu harus memulai dari mana.
Ratih tak tahu apa yang ada di kepalaku saat ini. Ia berjalan sambil melingkarkan lengannya di lenganku, sambil sesekali melompat-lompat kecil dan bersenandung sendiri. Persis seperti anak kecil yang diajak pergi ke toko mainan oleh orangtuanya. Namun tak menyadari bahwa dia sedang dalam perjalanan ke dokter gigi.
Duduklah kami bersila di atas rerumputan, di tepi telaga yang tenang. Tempat yang sama saat Ratih bercerita tentang masa kelamnya sebagai perempuan sundal. Sesekali angin meniupkan daun-daun terbang ke tengah telaga yang airnya berpendar terkena pantulan cahaya bulan. Ratih masih terus bercerita tentang pekerjaannya dan kehidupannya di rumah jahit itu, begitu manisnya. Tak tega rasanya harus memotong pembicaraannya dengan salam perpisahan, jadi kubiarkan ia terus berbicara apa saja yang ingin ia katakan.
"... Pokoknya Bi Imah sama Ncum dan Mimih itu tak pernah akur, ada aja hal kecil yang diributin sama mereka. Kadang aku pusing dengerin mereka ribut," cerita Ratih seru dengan tatapan mengimpi, seolah meminta dukungan moril padaku. Aku hanya terseyum dan mengangguk, mendengarkan ceritanya.
Dan ia telah berhenti berbicara. Memandangku dalam diam. Kini giliranku—aku tak mau terus menerus larut dalam bimbang—bila memang harus berakhir maka berakhirlah. Sejak awal memang sang takdir tidak berpihak padaku.
"Kau kedinginan?" kataku melihat Ratih menggosokkan kedua telapak tangannya.
Ratih mengatupkan tangannya, menguci sela-sela jemarinya. "Kedua telapak tanganku memang selalu basah dan dingin, aku tak tahu mengapa. Kata kedua orangtuaku dulu, sewaktu kecil aku punya masalah dengan kondisi jantungku."
Lalu setelahnya kami sama-sama diam. Ia mengangkat dagunya dan memperhatikanku lekat-lekat sehingga aku dapat melihat bayanganku sendiri dari bola matanya.
"Kenapa kau membawaku ke tempat ini lagi? Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan saat ini?" ia berkata memecah kehingan seolah dapat menelanjangi semua rahasiaku melalui matanya.
Aku berusaha menghindari tatapannya dan memandang jauh ke ujung telaga.
"Aku sedang membayangkan sebuah hari di mana bangsa ini merdeka dan kita berdua hidup di dalamnya. Aku mungkin akan kembali menjadi petani mengikuti garis leluhurku, dan kau akan kembali menjadi penyanyi keroncong. Semua orang hidup dalam damai, tentram dan makmur. Sungguh indah hari-hari itu, Ratih."
"Itu adalah impian semua orang saat ini."
"Kau benar, itulah yang akan aku perjuangkan."
Ratih dapat membaca mataku, ia paham akan sesuatu dibaliknya. "Aku tahu kau akan pergi menunaikan tugasmu seperti dulu lagi."
Aku sedikit gugup saat tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dari mulutnya. "Kau selalu bisa membaca pikiranku hanya dengan menatap mataku. Tidak ada yang bisa aku tutup-tutupi darimu, dan percuma saja aku melakukan hal itu."
"Itu karena kau mudah sekali ditebak," ujarnya seraya tersenyum memandangiku.
Aku mendeham, lalu menarik napas panjang, "Aku ingin berkata jujur padamu, tapi aku mau kau lebih dulu berjanji padaku tidak akan menangis seperti dulu lagi."
"Kenapa aku harus menangis? Apa kau pikir aku masih seperti dulu? Kau selalu memperlakukanku seolah aku ini anak kecil," lirihnya. "Aku sekarang bukan lagi gadis desa yang lugu; yang akan menangis bila ditinggal pergi Abah dan Umi seorang diri di rumah. Aku sekarang adalah perempuan dewasa yang mandiri."
Aku tertegun mendengarnya. Memang benar bahwa kami sekarang bukan lagi anak-anak seperti tiga tahun lalu. Aku menyadari bahwa kami sudah tumbuh menjadi dewasa. Selama ini aku selalu menganggap Ratih masih gadis kecilku yang cengeng; yang akan menangis bila sewaktu-waktu kutinggal pergi, tapi ternyata waktu telah mengubahnya.
"Baiklah, aku akan melepas beban yang selama ini menggelayut dalam pikiranku. Rahasia yang selama ini kututupi darimu," ujarku perlahan. "Sebenarnya, sudah lama kami merencanakan sebuah perlawanan, atau bisa dibilang pemberontakan terhadap Jepang. Aku dan kelompokku akan pergi ke Blitar dalam waktu dekat. Kami akan melancarkan serangan saat mereka mengadakan pertemuan di sana."
Aku enggan melanjutkan dan melirik sekilas ke arahnya, melihat reaksi atas ucapanku.
"Untuk apa kau lakukan itu?" Ratih cepat-cepat memotong. "Bukannya kita telah hidup damai di sini dan hanya tinggal menunggu Jepang memberikan kemerdekaan untuk kita. Aku ingat dulu kau sendiri yang bilang seperti itu padaku."
"Tidak, Sayang. Mereka hanya menganggap kita sebagai bonekanya saja. Aku seorang prajurit, punya kewajiban merebut kemerdekaan untuk semua orang di negeri ini. Bila hanya berdiam diri saja tak akan mengubah apa pun, lagi pula kita tak boleh mengharap kemerdekaan dari bangsa lain."
"Tapi kita sudah hidup cukup aman di sini," gugat Ratih.
"Kau dan aku, serta semua orang yang tinggal di kota besar memang demikian. Tetapi tidak bagi orang yang hidup di perdesaan. Aku sudah membuktikannya sendiri ketika aku pergi ke Bogor beberapa waktu silam, bahkan desa tempat tinggalku dulu sudah tak berpenghuni layaknya desa mati. Dan aku yakin hal itu pasti ada kaitannya dengan Jepang."
"Lalu mengapa harus lewat penyerangan dan pemberontakan seperti itu, apa tidak ada jalan lain tanpa kekerasan?"
"Kaum pelopor sudah melakukan segala upaya tawar menawar kepada Jepang, namun tidak ada hasilnya. Kami tak bisa terus berdiam diri saja, sementara di bawah sana para petani bekerja seperti sapi perah yang memerah keringat dan air mata mereka tanpa henti. Dan bila lidah sudah tak sanggup melawan, maka senjatalah satu-satunya cara."
"Aku tak suka kata-kata terakhirmu itu," Ratih gemetar. "Kapan kau berangkat?"
"Minggu depan rencananya. Kau sama sekali tak sedih? Atau memang rupanya kau sudah tak cinta lagi padaku karna si Rosidi itu telah menunggumu di Bogor."
Ratih mencubit bahuku dan tertawa geli. "Ah, untuk apa bersedih, toh katamu kau adalah alat perang yang sewaktu-waktu akan pergi berperang dan kau tak mungkin bisa lari dari tugasmu. Aku dapat memahami bahwa kau punya sebuah tanggung jawab yang harus kau perjuangkan."
Aku terdiam dan memandangi wajahnya lekat-lekat, memastikan dia masih Ratih yang sama seperti yang kukenal dulu.
"Apa?" selanya memperhatikanku yang hanya diam memandanginya, seakan ada benda aneh yang menempel di wajahnya.
"Kau memang bukan lagi gadis kecilku yang dulu. Kau sudah tidak lucu seperti dulu."
"Memang, aku sekarang bukan lagi gadis kecil seperti dulu. Aku yang sekarang telah berubah menjadi seorang wanita gurun," terangnya disertai pekikan tawa.
"Kau wanita penjahit, bukan wanita gurun."
"Bukan itu maksudku, Sayang. Ada sebuah cerita tentang para wanita yang hidup di gurun pasir ratusan tahun yang lalu. Mereka akan senantiasa menunggu suami mereka kembali dari berperang, dan bila suami mereka ternyata tak kunjung kembali, maka mereka akan tetap setia sampai akhir hidupnya."
"Mirip seperti kisah hidup Bi Imah," kataku tergelak. "Jadi, kau akan setia menungguku pulang?"
"Aku akan menunggu sampai kapanpun," jawabnya dengan pipi memerah.
Aku menyelami sepasang bola matanya yang sedalam samudera hingga jiwa kami menyatu di bawah cahaya sinar purnama yang menjadi saksi atas janji kami berdua. Dan telaga yang juga akan ikut bersaksi akan cinta sehidup semati sepasang anak Adam yang terusir dari Taman Firdaus.
"Aku lupa sesuatu," kataku sambil merogoh saku celana.
Kukeluarkan kotak kecil berwarna merah yang selama ini tersimpan di laci lemariku masih terbungkus rapi. Kuserahkan padanya dan kubiarkan ia membukanya.
"Apa ini? Ulang tahunku sudah lewat sebulan yang lalu."
Ratih membuka bungkus plastik dengan gemetar sambil menaruh tatapan curiga terhadapku.
"Kau!!" Ratih memkik, matanya berkaca-kaca dan bibirnya gemetar. Seperti orang menggigil.
Aku hampir terbahak melihat ekspresi kagetnya yang lucu. Kuhapus air matanya yang jatuh membasahi pipi, kuraih tangannya dan kulekatkan cincin bermata delima itu di jari manisnya sambil berbisik halus tepat di telinganya.
"Berjanjilah bahwa kau tidak akan pernah melepaskan cincin ini dari jemarimu, apapun yang bakal terjadi."
Ratih tak bisa berkata-kata selain memandangiku dengan senyuman tulus penuh arti.
"Saat aku kembali nanti, aku akan melamarmu dan kita akan menikah."
"Berjanjilah kau pasti akan kembali. Aku akan senantiasa menunggumu," ujarnya sambil menyeka air mata yang makin berderai deras.
"Aku berjanji pada bulan dan bintang-bintang serta seisi jagat raya ini bahwa aku pasti kembali padamu. Ini janjiku sebagai seorang prajurit."
Ratih menggapai bibirku dan melayangkan kecupan hangat.Kami mabuk terbuai oleh cinta yang mendekap kami sepanjang malam di tepiantelaga yang berpendar bersama cahaya rembulan. Disaksikan oleh bulan yang menyimpanrapat rahasia malam.
***
Keesokan paginya aku terbangun dengan badan yang terasa lebih ringan karena tak ada lagi perasaan yang membebani langkahku. Dan seperti hari-hari yang lain kami masih berlatih seperti biasa di bawah pengawasan seorang pelatih Jepang dan di bawah intimidasi dari Shodanco Badjuri. Meskipun latihan ini tak ada gunanya sama sekali, tapi kami masih melakukannnya agar tidak ada yang mencurigai pergerakan kami.
Sore harinya ketika langit mulai memerah aku menyempatkan berkunjung ke tempat Sjahrir yang juga baru selesai berlatih.
"Jadi kapan kalian akan berangkat? Aku pokoknya harus ikut."
"Minggu depan," jawabku. "Sudahlah kau di sini saja. Aku punya tugas yang lebih penting untukmu."
"Kau selalu begitu, hanya menganggapku sebagai tentara cadangan," keluh Sjahrir.
"Aku tak bermaksud begitu. Biarpun orang lain mungkin beranggapan demikian, tapi tidak bagiku."
"Terima kasih telah menghiburku, toh intinya kau tetap tak mau aku ikut bersamamu dan yang lain."
Sjahrir tidak pernah berubah, selalu bersikap kenak-kanakan. Sebenarnya niatku menemuinya untuk menyampaikan sesuatu yang menurutku hanya Sjahrir yang dapat melakukannya.
"Rir, aku mau bicara serius."
Sjahrir menangkap ketegangan di wajahku. "Apa saja akan kulakukan, sahabatku."
"Ini hanya antara kita berdua saja," kataku berbisik.
"Apapun itu katakan saja."
Aku agak ragu mengatakannya, tapi aku tak punya lagi banyak waktu.
"Dengarkan baik-baik, bila aku gagal menjalankan tugas ini, kumohon..." bisikku pelan. "Jagalah Ratih untukku."
Wajah Sjahrir memerah dan bulir-bulir keringat membasah kuyupi pipinya, dia tampak salah tingkah dan sontak berkata, "Kau jangan bicara seperti itu, cepat tarik kata-katamu kembali!"
"Tidak Rir, aku serius memohon ini padamu. Ini adalah permintaan terakhirku padamu. Bila aku tak kembali, tolong kau jaga dia sepenuh hatimu, jagalah dia seperti kau menjaga persahabatan kita berdua."
"Tidak Bim, tidak... kau pasti akan kembali dengan selamat, aku yakin itu. Dan kau akan terus bersama Ratih dan aku... a-aku akan ..." Sjahrir tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Aku mencoba bersikap lebih tegar. "Terima kasih Rir, kau bukan lagi kuanggap sebagai sahabat, melainkan seperti saudaraku sendiri. Jadi kumohon kau berjanji padaku untuk menjaga Ratih bila aku tak kembali."
"Aku tidak bisa..."
Sorot matanya tertunduk mentap kedua telapak kaki yang saling menggosok.
"Kau pasti bisa Rir, hanya kau orang yang dapat aku percaya. Bukankah kau juga suka pada Ratih? Maka dari itulah aku meminta padamu."
"A-aku dulu memang suka pada Ratih, tapi aku lebih menghargai persahabatan kita berdua dan Ratih adalah perempuan yang ditakdirkan untuk bersamamu."
"Sudahlah, aku sungguh ikhlas memercayakan Ratih padamu. Hanya itu yang bisa aku sampaikan padamu sebelum aku berangkat."