Manusia dan Semestanya

Apriyogi
Chapter #12

#11 Hari Eksekusi

Hari ke hari pusing di kepala Bima tak kunjung mereda. Dokter menyarankannya agar beristirahat yang cukup dan jangan terlalu sering tidur hingga larut malam. Ingin ia menyanggah saran dokter tersebut dengan mengatakan, "Tapi, saya selalu tidur sebelum jam sepuluh malam. Saya juga jarang keluar rumah, hanya membaca buku di kamar seharian." Namun, mengingat pekerjaan seorang dokter merupakan pekerjaan yang mulia dan tak patut dibantah demi kebaikannya, maka Bima tak bisa berbuat apa-apa kecuali patuh pada sang ahli ramal kesehatan itu.

Rasa pusing belum juga sudi minggat setelah meminum ramuan dari sang ahli ramal kesehatan, Bima memutuskan untuk tidur lebih awal. Padahal hari itu masih sore; matahari belum juga pudar; bulan belum juga menyembul keluar.

Ibu masuk membawa secangkir teh hangat tawar tanpa mengetuk pintu kamar, dan duduk di sampingnya. Dibelainya halus rambut serta ditempelkannya punggung tangan ke kening Bima penuh kasih. Panas tubuhnya masih tinggi, tidak ada tanda-tanda bahwa kesehatannya akan segara membaik.

"Badanmu panas sekali. Apa tidak sebaiknya kita pergi ke rumah sakit saja begitu Ayah pulang nanti?"

"Tak perlulah, Bu. Besok pagi juga aku sudah merasa lebih baik."

Bima melihat sorot kedua mata ibunya yang penuh kasih, masih sama seperti dulu kala ia selalu bermanja-manja di pangkuan sang ibu. Memang begitulah semua ibu di seluruh belahan dunia mana pun. Tidak peduli sudah sebesar apa pun kita, setinggi apa pun jabatan kita—di hadapan ibu, kita tetaplah bayi kecilnya yang selalu didekapnya ke mana saja ia pergi, yang tidak berdaya tanpa baluran doa-doa tiap malamnya.

"Bu, tolong tarikkan selimutnya," pinta Bima manja.

Ibu menarik selimut untuk bayi kecilnya yang sudah beranjak dewasa itu. "Ada lagi yang bisa ibumu lakukan, Nak?"

"Tolong ambilkan buku hitam yang di atas meja."

Ibu bangkit dan mengambilkan buku itu untuk Bima. Melihat sekilas sampul depan dan membolak-balikan tiap sisinya.

"Buku apa sih ini, Bim. Kok kamu tak mau pinjamkan pada adikmu."

"Bukan apa-apa kok, Bu. Aku hanya tak mau bukuku hilang kalau kupinjamkan pada Tiara," sahut Bima. "Dia itu selalu ceroboh."

Dengan suara lembut penuh mengasihi, Ibu berujar, "Kamu harus selalu akur sama adikmu, jangan ribut terus. Kalau nanti Ayah dan Ibu sudah tiada, tinggal kalian berdua saja di rumah ini. Sebagai seorang kakak laki-laki, kamu punya kewajiban menjaga dia."

Bima tidak mengiyakan, tidak juga menyela.

Ibu menasihatinya sambil berlalu pergi keluar kamar dan tak lupa mencium kening Bima hangat. Setelah pintu tertutup rapat, dengan mata setengah terkancing dan kepala berputar-putar, Bima kembali membaca bagian terakhir buku tersebut.

16 Februari 1945

Catatan ini kutulis dari dalam jeruji nestapa, tembok bisu penderitaan.

Tak terhitung sudah tendangan demi tendangan si sipir berengsek itu menghantam wajahku, membuat tulang hidungku bengkok ke kanan. Kepalaku dibuatnya menjadi bola sepak. Badanku bagai samsak hidup.

Tidak pernah aku menyesal atas takdir yang kupilih. Atas apa yang menimpaku. Atas kandasnya mimpi-mimpi besar yang kuperjuangkan. Meskipun harus meregang nyawa karenanya. Awalnya aku merasa sang sutradara telah berlaku tak adil padaku, memberikan sebuah peran tanpa memberitahu terlebih dulu tujuan dan akhir dari cerita ini.

Kini sudah terlambat, dan percuma saja menyanggah keputusan sang sutradara. Sekeras apapun kita menolak memainkan peran yang diberikan olehnya, ia masih memiliki banyak naskah lain, yang pada akhirnya akan kembali menghukum kita dalam permainan yang dibuatnya. Sudah selayaknyalah kita sebagai pemeran dalam pentas panggung semesta ini senantiasa patuh akan segala kehendaknya. Itulah aturan main yang ia buat. Kita tak lebih dari dua mata dadu yang dilemparkan ke dalam arena permainan semesta ini.

Aku akan segera bertemu dengan Ibu... Bersama-sama kembali menatap hamparan bintang di langit dan bulan yang sendu sedan. Oh, aku sungguh tak sabar menantikan hari itu. Selamat tinggal dunia.

Tertanda,

—SATRIA BIMA BAKTI NUSANTARA.

Seketika air mata Bima mengucur dengan sendirinya sehabis membaca halaman terakhir buku itu. Dia merenung panjang di tepian ranjang, meingat-ingat sesuatu yang selama ini terus menghantuinya. Ingatannya terbang pada suatu masa di mana ia merasa pernah menulis buku itu sebelumnya. Ia meyakini, bahwa semua isi buku tersebut adalah hasil tulisannya dahulu. Meski berusaha menampik dan berpikir rasional, tetapi batinnya berontak dan mengatakan bahwa: 'Semua mimpi-mimpi yang dialaminya beberapa minggu belakangan ini adalah kisah tentang dirinya—dirinya di masa lalu. Di kehidupan sebelumnya.'

Bima menangis hingga tak tersisa lagi air mata yang keluar dari matanya. Saking lelahnya ia menangis, sampai jatuh tertidur. Dan mimpi itu kembali membuka tabir kehidupan masa lalunya.

***

Dua orang sipir secara bergantian memukuli dan menendangiku meski kubilang aku tak tahu di mana Shodanco Supriyadi berada. Aku tidak sedang berusaha menyembunyikan apa pun, yang kukatakan adalah kebenaran. Tidak puas hanya melayangkan tendangan dengan ujung sepatu yang berbahan keras seperti batu ke arah wajahku, seorang lainnya memukuliku dengan tongkat besi hingga aku jatuh pingsan.

Sesaat pasca siuman kurasakan ada perubahan pada bentuk hidungku yang bengkok ke kanan. Membuatku sulit bernapas. Lalu mereka menyeretku ke hadapan seorang jaksa yang membacakan tuntutan hukuman mati padaku di ruang persidangan yang terhormat. Hakim memvonis mati diriku atas dakwaan: merencanakan dan merancang persekongkolan jahat, membunuh temanku sendiri dan berkhianat pada negara. Aku sudah tak peduli lagi, meski harus ditembak atau kepalaku dipenggal. Mati tetaplah mati, sama saja.

Bedasarkan tuntutan tersebut, aku akan dieksekusi pada pukul tiga sore. Regu tembak terlatih telah bersiap mengantarkanku ke gerbang kematian. Sebelum waktu eksekusiku yang kurang dari lima jam itu, aku diperkenankan bertemu dengan tamu yang diperbolehkan datang menjengukku. Tamu itu antara lain: Bung Karno dan Dirman, Sjahrir, serta Ratih dan Bi Imah yang menunggu cemas untuk diperbolehkan masuk.

Tamu pertama yang diperbolehkan masuk adalah Bung Karno dan Dirman. Engsel jeruji besi berbunyi berderit, dan masuklah kedua orang itu ditemani seorang sipir yang berjaga di pintu depan.

Dirman berlari tergesa-gesa menghampiriku lalu memeluk tubuhku erat.

"Maafkan aku, harusnya aku bisa menahanmu dan yang lain untuk tidak pergi hari itu," seru Dirman sambil terbatuk-batuk.

"Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik, Mas."

Dirman melepas pelukannya, kurasakan tarikan napasnya berat dan batuknya semakin keras.

"Aku menyesal, Bim... Sungguh menyesal," desah Dirman dengan suara parau. "Harusnya dulu aku membawamu ikut ke Jogjakarta bersamaku, semua ini takkan terjadi."

"Jangan khawatirkan aku, Mas," kataku. "Jaga kesehatanmu, kelihatannya batukmu tambah parah, kau masih harus melanjutkan perjuangan ini."

"Apa kau tahu di mana Shodanco Supriyadi berada? Kudengar ia selamat dari penyergapan hari itu," Bung Karno menyela pembicaraan sambil menarik bangku yang disediakan di hadapanku. "Setelah bangsa ini merdeka, aku berencana mengangkatnya sebagai Menteri Keamanan Rakyat bila suatu hari dia kembali dari persembunyiannya kelak." Ia menutup sambil menawarkan sekotak rokok padaku.

Kuambil dua batang lalu kunyalakan. Kuisap rokok itu, menikmati asap yang keluar-masuk memenuhi mulut serta kerongkongan tanpa menyadari Dirman yang terbatuk-batuk karenanya.

"Aku memang bersamanya sampai akhir, kita lari hingga masuk ke hutan. Tetapi setelah itu ia memutuskan berlari terus hingga ke puncak Gunung Kelud. Setelah itu kami berpisah, itulah terakhir kali aku melihatnya."

"Aku amat menghargai perjuanganmu. Kau anak muda sekaligus prajurit pemberani. Kalau boleh, aku juga mau menawarkan sebuah hadiah sebagai bentuk penghargaan padamu."

Aku berpikir agak lama. Kutimbang-timbang apa hal yang paling diinginkan oleh seorang tahanan hukuman mati selain hidup lebih lama? Lalu aku terpikir akan sesuatu. "Aku hanya punya satu permintaan," terangku. "Aku mau sebuah rumah atas namaku sendiri, tidak luas juga tidak apa-apa. Lalu berikan rumah tersebut pada kekasihku agar ia selalu mengingat bahwa aku ada bersamanya. Hatiku akan bersemayam di sana dalam wujud sebuah rumah yang melindunginya dari terik matahari dan kesunyian malam. Ke manapun ia pergi, pada akhirnya ia akan selalu pulang ke rumah itu."

"Aku berjanji akan melaksanakannya, kau bisa pegang kata-kataku." ujar pria berkarisma yang selalu mengenakan setelan jas putih dan kopiah hitam tersebut menyanggupi permintaanku.

Dirman berdiri menjabat tanganku, dan tangan yang satu memeggangi dadanya. "Aku tak bisa menolong atau memberimu apa-apa, tapi aku berjanji akan melanjutkan perjuanganmu, negeri ini akan segera merdeka. Perjuanganmu tidak akan sia-sia."

"Aku percayakan padamu, Mas. Kami yang gugur dalamperjuangan dan para petani yang mati menderita memeras keringat dan airmata—kami ingin mati dengan penuh rasa kebangaan tanpa penyesalan. Kelak kamiakan melihat seberkas cahaya dari lubang gelap tempat kami tertidur danmenyaksikan bangsa ini merdeka. Lalu akan lahir anak cucu generasi selanjutnyadengan penuh rasa kepercayaan diri serta harapan di pundak mereka yang selalumengenang kami sepanjang zaman, bangga atas apa yang telah kami berikan padamereka. Berjanjilah, Mas."

***

Aku berdiri tegak dan memberi salam hormat padanya. Untuk yang terakhir kali. Setelah itu Bung Karno dan Dirman keluar, diantar oleh sipir yang berjaga di pintu depan sampai mereka menghilang dari pandanganku. Kini giliran Sjahrir, dan Bi Imah masuk dengan tergesa-gesa. Pintu sel kembali dibuka, Sjahrir dan Bi Imah lalu muncul di hadapanku. Tanpa Ratih. Kukira ia pasti marah padaku, karena aku kembali mengikari janjiku. Aku memang selalu ingkar janji; aku selalu mengecewakannya; selalu membuatnya menangis.

Bi Imah menghampiriku lebih dulu, memeluk penuh kasih seperti ibuku sendiri.

"Duh Bim, kenapa jadi seperti ini? Kenapa ini semua harus terjadi padamu, Nak."

"Sudah menjadi risiko dari tugasku," aku menjawab tegar. "Bi, Ratih tak ikut kemari?"

"Dia masih di luar tak mau masuk meski sudah Bibi paksa, tunggu sini nanti Bibi panggilkan kemari. Oh ya, ini Bibi bawakan singkong goreng kesukaanmu. Ayo makanlah mumpung masih panas."

Bi Imah menaruh rantang yang berisi singkong goreng di atas meja, setelahnya ia pergi keluar mengajak Ratih masuk menemuiku.

"Terangkan padaku kenapa semuanya jadi seperti ini?" tanya Sjahrir.

"Apanya yang mesti aku terangkan?"

"Semuanya. Kenapa kau bisa gagal menjalankan tugas itu, kau bilang semuanya telah sesuai rencana yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Kenapa sekarang malah jadi seperti ini?"

Lihat selengkapnya