Bima menyibakkan tirai jendela kamarnya hingga sinar matahari pagi masuk memandikan tubuhnya. Lama ia berdiam di sana tanpa melakukan apa-apa. Memandang sekawanan burung yang terbang menjelajah langit dengan bebas. Jiwanya seakan ikut terbang bersama mereka. Termenung lama memandangi langit dengan tatapan kosong, sampai akhirnya ia menangis.
Seminggu sudah ia selalu menangis saat tengah termenung sendiri. Ia terus kembali teringat mimpi terakhirnya itu. Mimpi yang seolah membuka tabir kehidupan masa lalunya. Meski seribu kali ia menampik, mengatakan bahwa semua itu hanyalah mimpi yang tidak berarti apa pun, namun seribu satu kali hati kecilnya meyakinkannya bahwa mimpi itu adalah benar—mimpi itu memang berkisah tentang dirinya di kehidupan sebelumnya.
Bima terbangun dari lamunan panjangnya, dan buru-buru menghapus air mata begitu mendengar suara pintu kamarnya diketuk. Tiara muncul dari balik pintu. Dia masuk begitu saja karena tidak mendapat jawaban dari dalam kamar untuk membawakan makan siang.
Ditaruhnya makan siang tersebut di meja yang terletak di samping kasur, dan segera menghampiri kakaknya yang masih berdiri diam di depan jendela.
"Ibu menyuruhku membawakan makan siang untukmu, makanlah."
Bima bergeming, masih tetap memandang jauh ke luar jendela.
"Mau sampai kapan kamu begini terus? Apa kamu tidak kasihan pada Ayah dan Ibu yang ikut stres karena memikirkanmu? Kalau ada masalah ceritalah padaku, aku berjanji akan merahasiakannya."
Bima menoleh sejenak kepadanya, menghembuskan napas dan berkata, "Percuma. Kamu tidak akan mengerti, ini tak mudah seperti yang kamu kira."
"Meskipun aku tidak mengerti, tapi setidaknya aku bisa memahami keadaanmu saat ini. Ayo ceritalah," desak Tiara.
Bima menarik kursi yang ada di meja belajarnya dan duduk bersandar. "Kamu percaya pada mimpi?"
"Untuk apa aku percaya mimpi. Maksudku, mimpi hanyalah bunga tidur—pengalaman bawah sadar saat kita tidur—tidak berarti apa-apa."
"Itulah masalahnya, kamu tidak mengerti."
"Tentu saja aku mengerti," Tiara berkilah. "Aku pernah belajar sedikit tentang neurologi di kampus."
"Kalau begitu, ceritakan padaku mengapa orang bisa bermimpi."
"Itu sederhana saja, karena sebagian sel saraf kita masih bekerja saat kita tidur. Kita akan mendapat gambaran atau emosi di mimpi kita bedasarkan pengalaman empirik sewaktu kita dalam keadaan sadar, atau bisa juga karena sebuah obsesi yang terpendam sekian lama."
"Aku tidak mempunyai pengalaman empirik maupun obsesi saat aku bermimpi tentang peperangan atau sebuah lakon percintaan dengan seorang perempuan yang bahkan tidak pernah aku temui sebelumnya di kehidupan nyata. Semua itu datang menghampiri tiap tidurku begitu nyata. Coba jelaslan mengenai hal itu."
"Aku tidak bisa menafsirkan mimpi."
"Itulah sebabnya aku bilang kamu tidak mengerti apa-apa."
"Selain dua hal yang kusebut tadi, bisa juga karena faktor ketiga. Mungkin kamu terlalu sering membaca buku atau menonton film, sehingga pengalaman membaca dan menonton itu terpatri dalam ingatan alam bawah sadarmu. Lalu pengalaman tersebut terbawa hingga ke mimpi, itu bisa saja terjadi."
"Mungkin kamu benar.'' Bima duduk tertegak. "Aku memang mendapatkan mimpi tersebut setiap kali aku membaca buku aneh yang kudapat dari rumah Nenek."
Bima mengambil buku itu dari atas rak buku, lalu melemparkannya pada Tiara.
"Ih, jorok sekali!" pekik Tiara menangkap buku itu.
"Itu buku yang dulu aku temukan dari gudang di rumah Nenek. Isinya tak lebih dari buku catatan biasa, namun setiap kali aku selesai membaca beberapa lembar halaman, aku selalu mengantuk dan tak kuasa menguasai diri, lalu tertidur. Di saat aku tertidurlah mimpi itu menghampiriku.
"Dalam tidurku, aku akan bermimpi sesuai dengan kisah yang ditulis di buku itu. Mimpi yang begitu nyata; aku sungguh mengenal tiap tokoh dalam mimpiku; tiap tempat; dan tiap kejadian dalam mimpi itu seperti pernah kualami sebelumnya. Dan ketika aku terbangun, pikiran dan ingatanku akan hilang untuk sesaat. Aku tidak mampu mengingat apa-apa, kecuali mimpi yang kudapat sebelumnya. Butuh waktu untuk mengembalikan ingatanku sebelum semuanya kembali normal.
"Hingga akhirnya, aku selesai membaca halaman terakhir buku itu. Semua menjadi jelas sekarang bahwa akulah orang yang menulis buku itu dulu, jauh sebelum aku yang sekarang terlahir ke dunia. Semua mimpi itu merupakan kisah tentang kehidupanku di masa lalu—di kehidupan sebelumnya. Dan semenjak semua tabir itu terkuak, aku menjadi selalu cemas, bersedih, dan gelisah. Itulah mengapa aku selalu mengurung diri di kamar."
Bima kembali menangis. Entah mengapa setiap kali ia mengingat tentang kisahnya itu, air matanya selalu memaksa keluar.
"Itukah sebabnya kamu dulu pernah bilang: 'aku merasa sedang bermimpi ketika aku terbangun, dan terbangun ketika aku sedang bermimpi?'" tanya Tiara.
"Kurasa benar demikian."
"Aku mengerti sekarang," Tiara berkata sambil menjentikkan ibu jari. "Kamu mungkin mengalami gangguan mental seperti halusinasi atau delusi. Dan seperti yang kamu bilang, kamu tidak dapat membedakan antara alam mimpi dan alam sadarmu, kemungkinan besar kamu mengidap gejala Skizofrenia."
"Tunggu dulu, apa maksudmu aku mengidap gangguan mental?!"
"Ya, itu hanya dugaan sementara aku saja, semua orang bisa mengalami gangguan mental karena berbagai hal. Lebih baik kamu segera pergi ke psikiater."