Kamis, 13 Januari 2011.
Pintu taksi terbuka tepat di depan rumah tanpa pagar yang berada di ujung gang. Bima melangkah keluar, mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dompetnya dan diberikan kepada sang supir. Dari dalam Mbak Surti berlari menghampiri, membantu Bima mengangkut barang bawaannya ke dalam. Padahal yang dibawanya hari itu hanya sebuah tas ransel berisi beberapa lembar pakaian, dan keranjang buah yang dibelinya saat di tengah perjalanan tadi.
"Datangnya sore-sore sekali, Mas," ujarnya tegopoh-gopoh. "Sini biar Mbak bantu bawakan ke dalam."
Bima hanya mengangguk dan tersenyum simpul.
Setelah menaruh barang bawaan di ruang tengah, Mbak Surti berjalan terus sampai ke dapur, membuatkan secangkir kopi. Sesaat kemudian ia keluar dengan secangkir kopi panas dan diberikannya pada Bima yang duduk santai di kursi goyang menikmati udara sejuk pegunungan.
"Sudah dua hari ini Nenek demam, panas badannya tinggi sekali," jelas Mbak Surti.
"Apa sudah dibawa ke dokter?"
"Sudah, sudah." Mbak Surti mengangguk cepat. "Setiap malam ada dokter yang datang memeriksa keadaan Nenek dan memberi obat. Sekitaran jam sembilan malam biasanya dokter datang. Apa perlu Mbak bangunkan? Dia belum tahu Mas datang ke sini."
"Tidak perlu, Mbak. Biar Nenek istirahat jangan diganggu."
Mbak Surti kembali ke dapur. Karena hari ini ada tamu yang berkunjung, Mbak Surti memasak lebih banyak dari biasanya untuk makan malam. Sementara Bima berjalan keluar ke pekarangan rumah yang luas, melihat kembali gudang tempat ia menemukan buku hitam itu, tempat di mana semuanya bermula. Gagang pintu terkunci rapat saat ia mencoba masuk ke dalam. Dari luar ia mengintip ke dalam melalui lubang jendela, tampak gelap di sana, lampu yang mengantung di ruangan tersebut tidak menyala.
Lalu ia kembali masuk ke dalam rumah. Memandangi tiap barang layaknya sedang berkunjung ke museum untuk kedua kalinya. Ia melihat foto perempuan muda cantik jelita dalam balutan kain sutra di dalam lemari kaca. Perempuan dalam foto tersebut adalah perempuan yang sama seperti di mimpinya—Ratih.
Ia beralih ke foto pria yang terpampang gagah di dinding ruang tamu. Pria yang memakai seragam militer dengan berbagai atribut dan lencana di bahu serta dadanya. Ia tersenyum sekilas sambil berbisik sendiri dan tertawa kecil.
"Sjahrir sahabatku, lagaknya seperti orang hebat saja."
Terakhir matanya tertuju pada selembar foto tak berbingkai yang terselip di antara pajangan meja akuarium. Foto hitam putih seorang pemuda yang sedang tersenyum kaku. Mirip sekali dengannya. Ia meraba foto itu dan merasakan kenangan masa lalunya kembali masuk dan berputar seperti potongan film di kepalanya.
"Foto ini diambil oleh Ratih menggunakan kamera Kodak milik Bi Imah yang diberikan oleh langganannya seorang pimpinan redaksi media cetak. Aku ingat saat Ratih menunjukkan kamera itu tanpa sepengetahuan Bi Imah dan ia memfotoku di teras depan sore hari menjelang malam. 'Ayo cepat, berdiri di sana sebelum ketahuan Bi Imah, senyumlah yang lebar.'"
Sampailah saat makan malam tiba. Mbak Surti menghidangkan sayur sup dan telur dadar di meja makan untuk Bima dan dirinya sendiri. Sementara Nenek baru akan makan setelah Mbak Surti makan. Kemudian setelah selesai makan, Mbak Surti dengan lincah membawakan makan malam dan menyuapi Nenek yang terbaring lemah di kasurnya.
"Bu, Mas Bima sudah datang," ujar Mbak Surti di sela-sela menyuapi sesendok nasi pada Nenek.
"B-bima... " katanya lemas sambil membuka perlahan matanya.
"Iya, Bu. Dia ada ruang tamu sekarang, mau saya panggilkan?"
Nenek mengangguk lemah, memandangi langit-langit dengan enggan.