Manusia Daur Ulang

Raz Aka Yagit
Chapter #1

Yeshiva

Pundakku yang mungil bak seekor kancil sedang menggotong tas punggung dengan beban puluhan kilo rasanya dalam kerangka narasi yang hiperbola. Sepanjang jalan tubuhku doyong tak berdaya disiksa oleh beratnya, seakan aku adalah Peter Dinklage yang sedang menggendong John Travolta di bahunya.

Isi tas yang sedang kubawa berisi selembar buku tipis, sebilah pulpen, pensil, dan tipe-x penghapus berwarna merah yang ikonik, harusnya itu cukup untuk sekolah di hari pertama. Tapi selain semua barang yang maha ringan itu aku juga turut menjejalkan selembar seragam putih sekaligus sepasang sepatu baru ke dalam sana. Itu biang kerok penambah beratnya! Sepatu berwarna biru tua menyala yang dibelikan Bapak di pasar lima dekat tapekong Cina beberapa hari setelah beliau tahu aku mendaftar sekolah. Sengaja aku tidak langsung memakai sepatu dan seragam itu sejak dari rumah, aku malu, kupakai nanti saja ketika sudah dekat dengan bangunan sekolahnya.

Bagaimana bisa aku tidak malu jika dari rumah sudah lengkap memakai tas, sepatu, dan seragam begitu. Aku tak terbiasa lagi keluar rumah dengan outfit manusia produktif, sementara orang-orang di kampungku kadung tahunya aku seorang pengangguran akut. Aku ingin menghindari perkataan dusta ketika sewaktu-waktu ditanya, "Nat, kamu mau kemana? Sudah kerja sekarang? Kerja dimana?" tanya mereka, lantas aku harus jawab apa? 

"Engga, bukan kerja kok, tapi mau berangkat sekolah." Jawaban itu akan sangat memalukan bagiku. Usiaku bukan lagi usia anak SMA melainkan usia mahasiswa yang kalau pintar sedang giat-giatnya mengejar program pascasarjana. 

Aku sendiri tak pernah mengira pada umur yang ke-26 tahun ini aku malah kembali bersekolah. Usia yang lumayan senja untuk sekedar mengejar selembar ijazah. Aku memutuskan mendaftar program kejar paket C di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) kota Banjarmasin. Seminggu sebelum tahun ajaran baru dimulai, pikiranku tiba-tiba kesurupan semangat transisi dan perubahan. Tak tahu darimana datangnya ide sinting itu. Meninggalkan zona nyaman sebagai pengangguran tahunan untuk kembali menjadi pengeyam pendidikan. Kusadari keputusan ini akan membawa banyak sekali resiko, mungkin sakit hati yang bertubi-tubi. Aku harus siap dengan omongan, ledekan atau selentingan dari para murid dan pendidik di sana. Bukan hanya karena usiaku yang terbilang tua untuk pelajar SMA, namun karena fisikku yang tak sempurna.

Aku sendiri sungguh tak mengerti, diriku ini dulunya kurang asupan gizi, pengidap growth hormone deficiency seperti yang pernah dialami Lionel Messi, atau hanya korban Stunting sebab kelalaian orang tua dan negara? hingga postur tubuhku tidak sejalan dan sebangun dengan rangkak usianya.

Di usia yang ke-26 tahun tinggiku hanya seratus lima puluh tiga dan berat badanku hanya tiga puluh dua. Lingkar lenganku kecil, otot massanya pun hampir tak ada. Aku kurus kering bak batang pohon korma yang tak kunjung menemukan musim. Tak ada nilai tambah dari fisikku. Aku kecil hati dan rendah diri saat melihat teman-teman sebaya. Satu-satunya rasa syukurku dapat muncul adalah ketika melihat orang yang lebih melarat fisiknya daripada aku, Daus Mini misalnya. Pepatah 'jangan lihat ke atas melainkan lihat ke bawah' untuk mencipta rasa syukur itu benar-benar mujarab dan ampuh. Komparasi membantuku memupuk sedikit rasa percaya diri. Karena kendala fisik inilah aku kesulitan mencari pekerjaan, tak seperti kebanyakan orang, ditambah riwayat pendidikanku yang tak semulus wajahku yang tak pernah merasakan sakitnya jerawat seumur hidup.

Enam tahun sekolah dasar kuhabiskan di SDN Belitung Selatan 8 yang bersebelahan dengan Belitung Selatan 7. Dua sekolah yang berdekatan layaknya saudara kembar yang lahir dempet namun punya aura persaingan yang kuat bak Korea Selatan dan Korea Utara, atau antara China daratan dan Taiwan di pulau Formosa, atau India dan Pakistan, mungkin akan sangat berlebihan jika kutambahkan Israel dan Palestina. Dua SD negeri ini dari struktur sosialnya mengesankan banyak sekali perbedaan dan ketimpangan. Belitung Selatan 7 diisi para murid berdisiplin, teratur dan anaknya rapi-rapi. Sementara Belitung Selatan 8 kami muridnya norak, kampungan, lebih mirip kumpulan para preman. Tapi kenangan selama enam tahun di sana sungguh berkesan. Sayang sekali, beberapa tahun lalu ada kebijakan asimilasi dimana kedua SD negeri ini akhirnya digabung menjadi satu nama saja dalam administrasi, sehingga tak ada lagi yang namanya Belitung Selatan 8 kecuali hanya Belitung Selatan 7 sekarang. Miris! Nasib SD negeri kami sudah seperti Uni Sovyet atau Yugoslavia, sejarah eksistensinya hanya tinggal nama.

Masa SMP kuhabiskan di sekolah unggulan dekat rumah. Meski begitu, sekolah bergengsi pun tak dapat membujuk spesifikasi otakku untuk berkembang menjadi murid berprestasi. Aku tidak akan menyebut diriku bodoh namun juga takkan menyebut diri jenius. Kepintaranku di atas rata-rata, hanya nilai akademis saja yang rada celaka. Itu murni kesalahanku yang tak memfokuskan diri dalam belajar masa itu. Hasilnya aku menjadi pesakitan pendidikan dan pengangguran tahunan.

Selesai SMP karena tak punya biaya serta nilai akademik yang biasa-biasa saja aku memutuskan untuk rehat sejenak selama setahun. Di tahun berikutnya aku hanya mendaftar pada satu sekolah saja yakni di Madrasah Aliyah Negeri, mirisnya aku tak lolos seleksi sama sekali, kalah sama anak-anak yang jago ngaji. Padahal kalau kuingat-ingat lagi kemampuan makhraj-ku tak kalah dari mereka, pengenalan diakritik atau harakat bacaku pun terbilang sempurna. Maka dari kegagalan inilah dimulainya bencana selama bertahun-tahun kemudian, aku tak menjadi apa-apa, seorang pecundang sebutan ringkasnya.

Aku menyulap diri sebagai NEET di tahun-tahun berikutnya, tanpa pemasukan tanpa pendidikan. Istilah 'NEET' terdengar keren hanya karena diucapkan dalam bahasa Inggris—akronim dari Not in Education, Employment, or Training. Keadaanku sungguh memilukan sekaligus memalukan, sampai-sampai mendiang Kakek dahulu ketika masih hidup memintakan sebuah air 'keramat' dari seorang alim ulama yang beliau temui di langgar terdekat tempat beliau biasa salat, air berisi gumaman doa yang Kakek harapkan bisa mengubah nasib dan keadaanku. Jalan pikiran sesat macam apa itu!? Kondisi menyedihkanku jelas bukan karena aku pemalas. Sesakti-saktinya air meski itu Zam-zam sekalipun takkan bisa mengubah arah angin hidup seseorang, apalagi dalam kasusku yang murni terjengkal karena kondisi. Mau sekolah tercekik biaya (pada waktu itu), ingin kerja pun sulit diterima—mengingat fisikku yang ringkih di mata orang.

Hidupku adalah manifestasi murni sebuah kegagalan. Aku karam dalam amukan gelombang ketidaksempurnaan yang berkomplot dengan kemiskinan.

Aku sangat menyadari tak ada nasib yang perlu disesali, aku manusia bertuhan yang masih punya seberkas noda iman. Kuanggap semua ini sebagai kehendak-Nya. Sunatullah, ketetapan Allah, seperti nama yang diberikan padaku oleh mendiang Nenek yang wafat tepat di hari Soeharto lengser. Nama yang terbilang unik karena hingga detik ini tak pernah sekali pun kutemukan orang lain dengan nama ini.

Lihat selengkapnya