Manusia Daur Ulang

Raz Aka Yagit
Chapter #2

Jabar dan Qadar

Pak Hidayat yang bernama lengkap Hidayat Ariffin itu beranjak meninggalkan kelas saat jam pelajarannya berakhir. Khusus untuk hari ini tugasnya sebagai pengajar bahasa Indonesia berganti sementara menjadi pembuka pesta dan acara, menghantarkan kami para siswa siswi baru memasuki masa orientasi, mengenalkan bagaimana sekolah Paket C yang selama tiga tahun akan kami huni. Selesai pengajar muda itu muncullah seorang bapak-bapak paruh baya berperut buncit, terlihat dari pakaian ASN yang dikenakannya ia bukan orang biasa. Jika sekolah ini adalah desa Konoha maka orang ini adalah Hokage-nya, jika Hogwart maka orang ini pasti Dumbledore-nya tanpa jenggot putih dan topi runcing namun dengan perut tambun yang akurat, atau jika memakai analogi suku-suku Polinesia di Selandia Baru bapak ini seorang Ariki.

Dengan gagah lagi berwibawa sang kepala suku memasuki kelas. Ia mulai memperkenalkan diri sebagai kepala sekolah kami, orang yang berada di tampuk tertinggi piramida kekuasaan struktural sekolah ini. Silih berganti yang datang ke kelas, salah satunya orang ini. Sejauh ini aku bahkan belum lagi berjumpa dengan Ibu Aminah yang konon merupakan wali kelas kami.

Si kepala sekolah bernama Pak Muhammad Amir. Kedatangan beliau memang dalam rangka menyapa anak murid baru di sekolah yang ia pimpin, tak ada urgensi lain. Selama satu jam berikutnya kami kembali dipaksa mendengarkan pidato sambutan. Alih-alih orasi penghantar orientasi apa yang orang ini bicarakan lebih tepat disebut ceramah bergaya Islami. Sekitar tujuh puluh persen materi obrolan Pak Amir bertema relijius.

Pak Amir juga menyelipkan kisi-kisi kesehatan yang sedikit bermuatan rasa kebanggaan. Pria gendut makmur ini begitu pongah mengatakan bahwa seumur hidupnya ia tak pernah satu kali pun jatuh sakit. Aku meragukan itu. Andaipun tak pernah demam, apa tak pernah sesekali ia sakit gigi? Ketahanan tubuhnya yang anti meriang itu didapat karena menerapkan pola hidup sehat, namun yang paling utama Pak Amir sampaikan adalah kebiasaannya yang senang berdonor darah.

"Berdonor darahlah. Maka kalian akan sehat, jarang sakit-sakitan."

Kami semua disadarkan betapa mulia dan bagusnya tradisi sedekah darah serta dampaknya bagi kesehatan dalam kacamata medis. Aku jadi ingin melakukan itu, tapi melihat dari fisikku tampaknya mustahil. Semakin kerontang saja pasti badanku. Toh sebelum donor darah pendonor harus memenuhi syarat kelayakan lebih dulu ... Aku pasti gagal di situ.

Pak Amir lumayan guyon, kocak dan informatif. Tapi satu yang aku tak suka dari Pak Amir ketika bicara—dan kuyakin para murid yang lain pun menyadarinya. Selalu terselip sedikit air liur di bagian bawah bibirnya tiap kali Pak Amir membuka mulut. Secara visual sangat tak sedap dipandang mata, meski aku pribadi dapat memakluminya. Apa hakku yang punya kekurangan seribu satu untuk menghakimi kekurangan orang lain? Solusinya aku tak sering menatap langsung ke wajahnya. Aku patut memuji para murid yang tahan melihat pemandangan mengerikan itu. Aku lebih senang melempar tatapan jauh ke arah luar pintu, dimana sebuah pohon ketapang berdiri kokoh tak jauh dari halaman depan kelas kami. 

Pikiranku melalang buana memikirkan sudah tepatkah keputusanku dengan bersekolah lagi. Tak terbayang sama sekali di usiaku yang tak lagi muda aku kembali menjadi pelajar SMA. Sebenarnya beberapa tahun sebelumnya aku pernah menjajal seragam putih abu-abu itu. Dua tahun genap aku tak bersekolah sejak lulus SMP aku berpikir ingin meneruskan SMA di tempat Bibi saja, adik paling bungsu dari Bapak. Bibi tinggal di Kalimantan Tengah, Kabupaten Barito Selatan tepatnya di desa Babai. Kampungnya tak begitu buruk, memang tidak semewah kota Dubai namun juga tak sekumuh metropolitan Mumbai. Kualitas hidup di sana serta etos kerja masyarakatnya yang kebanyakan petani rotan itu penuh dengan energi dan sinergi. Warganya rakat rukun senang bergotong-royong tiap ada acara. Tak ada polusi, tak ada kebisingan khas kota. Aliran sungai Barito menjadi sentris kehidupan paling vital masyarakat di sana, kompak harmoni dengan kemarukan perusahaan-perusahaan raksasa pengeruk habis batu bara. Jika dihitung tidak kurang dalam sehari ada puluhan tongkang pengangkut lalu lalang di atas punggung sungainya, membawa lari emas hitam berharga itu menuju Jepang, India dan China.

Lihat selengkapnya