Manusia Daur Ulang

Raz Aka Yagit
Chapter #3

Inkarnasi Dewa

Selesainya Pak Amir dari memberi kata perkata sambutan khas kepala suku yang membosankan, waktu istirahat pun tiba. Sedikit yang bisa kami lakukan pada jam istirahat. Sekolah ini tak punya kantin, tak banyak pula pilihan tempat bermain. Sekedar untuk cari jajan atau pengganjal perut saja sih ada, kang pentol di depan gerbang sana. Namun para siswa tampaknya kompak ingin menghabiskan waktu istirahat mereka di dalam kelas. Hanya ada beberapa yang keluar untuk merokok, tipikal orang yang masih punya adab. Sementara sisanya tak segan jadi petugas fogging dadakan—memaparkan kami asap-asap laknat pengundang penyakit paru.

Masalah yang selalu kuhadapi pada hari pertama di kelas baru sejak dulu selalu sama, kesulitan bergaul. Aku kerap dibuat heran namun juga terkesan dengan kemampuan berbaur orang-orang, padahal mereka semua berstatus orang baru, tak saling kenal, tapi kelas ributnya sudah melebihi pasar. Tak butuh waktu lama bagi orang-orang asing ini untuk saling mengakrabkan diri satu sama lain. Sementara aku yang tipikal penyendiri, tak punya kemampuan bersosialisasi sama sekali, hampir selalu menjadi pajangan pelengkap kelas di hari pertama. Bisu seperti film epik Cabiria.

Jeda istirahat hanya kupakai untuk melamun di kelas, lanjut meratapi nasib yang tak menarik. Belum ada yang menyapaku lebih dulu untuk sekedar menawarkan basa-basi. Ah, ini kan baru hari pertama, nanti juga terbiasa dan perlahan akan menggila jika sudah kenal satu satu dari mereka. Sebelum waktu istirahat berakhir kusempatkan keluar kelas untuk melihat-lihat bangunan sekolah lebih dekat, sekalian mencari dimana letak toiletnya. Toilet bagiku sangat vital, di rumah kalau gugup aku bisa dua tiga kali berak. Aku harus berjaga-jaga hal serupa juga terjadi di sini. Biasanya guru killer dengan setumpuk tugas yang melumasi otak mampu membuatku gugup hingga terkencing-kencing.

Di sekolah ini tak banyak yang bisa dijelajahi. Sekolah Paket C kami teramat mini untuk dapat disebut sebuah sekolah. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan dimana toiletnya, letaknya persis berada di bawah tangga yang menuju ke lantai dua.

Selepas istirahat sosok berikutnya yang masuk ke kelas kami adalah sang wali kelas. Akhirnya! Kami sudah diberi tahu kalau wali kelas kami adalah Ibu guru Aminah yang kerap dipanggil Bu Min atau Bu Minah. Wanita paruh baya, berhijab, berkacamata, bergelar Doktorandus. Dari gelar sarjananya saja sudah diketahui ia manusia produksi tahun berapa. Seumuran dengan kepala suku Amir tadi. Bu Minah berdarah asli Jawa, salah satu peserta program transmigrasi pemerintah dulu ketika Pak Harto masih berkuasa. Aura jawanya terlihat dari raut muka, pembawaan yang penuh ketenangan, namun terselip rasa tegas dan wibawa pada setiap gurat keriput di wajahnya. Pancaran guru yang satu ini sangat keibuan meski kuyakin cucunya sudah lebih dari selusin. Aku senang kelas kami mendapat wali kelas seperti Bu Min, sama sekali tak ada ciri mengintimidasi. Satu persatu kami dihadiahi senyuman dan sapaan.

Sejak pertama menginjakkan kaki di kelas, Bu Minah menatapku agak lain walau masih dalam bingkai senyuman yang tipis-tipis. Tatapannya itu menyimpan rasa penasaran akan keseluruhan riwayat hidup yang kumiliki. Bu Min tentu tahu berapa usiaku sekarang. Mungkin aku adalah murid tertua yang pernah ia ajar dan walikan, sekaligus murid terkecil dan terpendek di kelasnya. Aku bahkan tak ragu jika di ruang kantor hari ini aku adalah sosok yang menjadi buah bibir para staff guru. Kok ada pria usia dua puluh enam tahun yang terlihat seperti anak lima belas tahunan dan baru sekolah di sekolah mereka tahun ini? Aku membawakan tanda tanya besar untuk mereka dengan bersekolah di sini. Tak apa, aku sudah terbiasa dianggap sebagai anomali.

Bu Minah menyampaikan pesan-pesan sebagai wali kelas, mengesankan betapa pentingnya pendidikan dan betapa berharganya kami para murid. Dengan intonasi penuh penekanan ia menjelaskan jika bersekolah di Paket C bukanlah sebuah aib, bukan pula suatu kemunduran. Katanya jangan meremehkan sekolah paket non-formal, bahwa tak ada bedanya antara sekolah formal biasa dengan sekolah non-formal seperti Paket C. Apa yang nantinya membedakan hanyalah kualitas pikiran atau entitas kecerdasan. Lebih lanjut Bu Minah menimang kami dalam pelukan mimpi-mimpi besar yang dapat kami raih di masa depan.

"Tak ada bedanya ijazah Paket C kalian dengan yang bukan, kekuatannya terletak pada integritas dan nilai akademik sang murid, bukan pada stempelnya," ucap Bu Minah berapi-api walau masih dalam aksen Jawa kromo yang halus. 

Semangat kami terkobar oleh buaian heroik wali kelas kami sendiri. Serentak kami serasa pasukan Gengkhis Khan yang siap melahap setengah dari benua Asia dan Eropa. Dada-dada kami dipenuhi optimisme. Angan kami serasa dipupuk, terbang tinggi menuju langit kedelapan bukan lagi ketujuh. Bu Minah mengatakan jika lulusan Paket C bisa menjadi apa saja. Menjadi PNS bisa, guru bisa, dokter pun bisa, bahkan kalau ada yang cukup gila ingin menjadi Presiden atau Astronot pun bisa, asalkan ada niat dan kemauan, begitu katanya.

Bu Minah ternyata juga termasuk orang istimewa. Sebagai perempuan berdarah kental Jawa, Bu Min berweton "Tulang Wangi" atau Balung Kuning. Beliau lahir pada kamis wage. Orang dengan weton lahir jenis ini dipercaya memiliki kekuatan supernatural, peka terhadap energi spiritual, dan untuk Bu Minah levelnya sudah mencapai indera keenam atau bisa membuka mata ketiga. Ia punya kemampuan kacamata transparansi atau Kasyaf istilahnya menurut kalangan kaum Sufi. Bu Min mengaku bisa melakukan screening corak warna aura manusia beserta weton asli mereka. Setelah pengakuan itu Bu Minah menatapku dalam dalam, tatapan tajam dan senyuman ramahnya mengarah tunggal kepadaku seorang. Memang sejak tadi ia seakan senang memandangiku. Ternyata ini alasannya, ada yang ganjil dengan wetonku.

"Kamu Sunatullah itu kan? Kemarin yang daftar sama Bu Sari? Dipanggilnya siapa?" tanya Bu Minah.

Lihat selengkapnya