Manusia Daur Ulang

Raz Aka Yagit
Chapter #4

Insan Kamil

Aku menikmati hari-hari libur dan bersantai yang sekarang semakin sedikit saja jatahnya. Dulu selama dua puluh empat jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu, tiga puluh hari dalam sebulan, keseharianku hanya diisi dengan goleran dan rebahan, berkubang dalam kolam kemalasan yang memalukan. Itu rutinitasku selama hampir sembilan tahun sejak lulus SMP. Sungguh manusia tak berguna. Tapi apa mau dikata, aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Mau kerja pun tak diterima dimana-mana. Tubuhku yang ringkih nan lemah memang sebuah kendala untuk mendapat pekerjaan di dunia yang memandang tenaga dan kekuatan fisik adalah segalanya.

Mau berwirausaha modalnya pun tak punya. Di sini sewa tempat untuk berdagang sangat mahal, itu baru tempat belum lagi modal untuk bahan baku. Bingung juga mau memulai usaha apa. Aku sendiri tak malu sama sekali andai menjadi pedagang, Nabi Muhammad saja pernah berdagang. Wirausaha termasuk satu dari sepuluh pintu pembuka rezeki. Berdagang itu pekerjaan mulia. Dan jangan ditanya darimana kami makan. Selama ini aku hidup sebagai lintah darat yang menghisap darah keringat orang tua. Bapak dulunya pengayuh becak handal yang sering mangkal di depan pasar Teluk Dalam. Sekarang ia banting setir pindah profesi menjadi juru bicara ilmu-ilmu kaum Sufi. Bapak lambat laun bertransformasi, berubah menjadi seorang praktisi dibidang tasawuf. Mistisisme Islam yang menghidupi kami berdua selama ini—dulu bertiga ketika mendiang Kakek masih hidup. Bapak memiliki belasan murid aktif yang saban malam atau siang—tak kenal jadwal—datang ke rumah untuk sekedar mudzakarah.

Aku pernah mendengar jika ulama itu ada tiga jenisnya: pertama ulama air hujan, yang airnya menghampiri bukan dihampiri. Kedua ulama air kolam, yang airnya dihampiri tidak menghampiri. Ketiga dan yang paling buruk yakni ulama air PAM, yang mematok harga dan harus bayar dulu baru airnya bisa didapatkan. Kupikir Bapak bukanlah seorang ulama dan memang belum pantas disebut ulama, aku lebih nyaman menganggap Ayahku hanya seorang praktisi sufi, tetapi jika ditanya Bapak masuk kategori yang mana maka itu adalah yang kedua. Bapak dihampiri bukan menghampiri. Orang-oranglah yang datang ke Bapak, bukan sebaliknya. Bapak juga tidak mematok harga. Ketika mereka yang bertandang akhirnya pulang lalu memberi, tak ada salahnya untuk diterima, itu kata Bapak. Setiap rezeki yang halal datangnya juga dari Allah.

Kepakaran Bapak dalam bidang Tasawuf dan keberaniannya untuk mengajarkan ke banyak orang tidak ujuk-ujuk turun dari langit, ada asal usulnya, tak serta merta simsalabim jadi ulama prok prok prok atau hasil dari menggosok lampu ajaib yang di dalamnya keluar jin sakti. Nama Bapak itu Nurdin bukan Aladdin. Bapak juga bukan seorang Musa yang menapaki tingginya bukit Sinai di Thursina. Bukan pula Nabi Muhammad yang berkhalwat merenungi betapa rusak bangsanya dari kegelapan dan kesunyian gua Hira. Bapak hanyalah murid sekaligus pewaris satu-satunya dari Syekh Anang Sani Sungai Batang Martapura. Konon kedatangan Bapak yang hendak berguru kepada Syekh itu telah dinubuatkan jauh-jauh hari sebelumnya. Syekh Anang Sani mengatakan kepada Bapak bahwa beliau sudah melihat wajah Bapak dua tahun sebelum mereka bertemu. Oleh karena itu, Syekh Anang Sani melimpahkan semua ilmu dan mewariskan ijazah baiat kepada Bapak sebagai penerus tunggalnya sebelum ia meninggal dunia. Syekh Anang Sani wafat pada tahun 2001. Makamnya menggunung beberapa senti, ini tanda makam seorang waliyullah jika di daerah kami, Kalimantan Selatan.

Di daerah ini meski itu kotamadya dan ibukota provinsi, sangat lumrah ditemukan orang yang tiba-tiba dalam sekejap mata menjadi tukang tetamba (tukang obati orang macam Ponari), atau dalam waktu sehari semalam menjadi guru ilmu-ilmu Laduni. Sehingga ketika Bapak menyulap diri menjadi seorang praktisi, itu bukanlah hal yang mengejutkan. Bapak memang punya mandatnya, ia sungguh didaulat menjadi penerus jalur transmisi dari sanad Syekh Anang Sani.

Dari bisyaroh atau 'amplop' para murid Bapak itulah kami hidup. Itu yang menafkahi kami selama ini. Tak banyak dan tak bikin kaya tapi cukup untuk makan sehari-hari. Makanya untuk modal berwirausaha saja uang itu masih belum cukup. Bisa makan minum saja sudah syukur.

Ini malam minggu, artinya tinggal sehari besok waktu liburku sebelum masuk sekolah lagi di hari senin. Jika orang-orang lelah bekerja atau lelah memikirkan sekolah, aku malah sebaliknya. Aku lelah menganggur, lelah tak berpendidikan, lelah tak berpenghasilan dan lelah hanya menjadi seonggok lintah di rumah. Setidaknya dengan mengambil Paket C aku punya rutinitas lain. Sedikit demi sedikit mulai menapaki gilang gemilang jalan pendidikan. Di mulai dari langkah kecil ini, siapa tahu nanti aku bisa kuliah seperti orang-orang. Jangan ditanya seberapa sering aku memimpikan menjadi seorang mahasiswa kemudian lulus terhormat dengan toga di atas kepala.

Malam ini Bapak menanyaiku, bagaimana hari pertamaku di sekolah kemarin. Kujawab saja apa adanya. Bapak hanya berpesan kalau aku harus sungguh-sungguh bersekolah di sana. Jangan sia-siakan kesempatan seperti yang sudah-sudah. "Ya musti sungguh-sungguh, Bah. Masa main-main. Kan ulun sendiri yang mau kejar Paket C," jawabku ke Bapak yang kupanggil Abah.

Lihat selengkapnya