Masing-masing siswa masih sibuk dengan urusan mereka, bising memusing mengalahkan keriuhan pasar. Guru pengajar mata pelajaran pertama hari ini tak kunjung masuk, membiarkan riak kerusuhan berlarut-larut. Aku yang tak membawa ponsel, tak ada kenalan, tak punya pembunuh waktu, hanya duduk manis menikmati pemandangan kelas yang serba berbau kekacauan. Asap vaping (rokok listrik) dimana-mana. Teriakan melengking siswi wanita yang bercanda sesama mereka hampir sekuat bom atom penghancur kota Nagasaki dan Hiroshima. Sepuluh menit pertama aku sudah berkawan bosan, padahal aku sudah tak sabar untuk memulai satu mata pelajaran. Aku ingin tahu apakah aku masih cocok menjadi seorang pelajar atau tidak. Dan tiba-tiba saja, di tengah serangan bosan itu seorang gadis manis berkerudung duduk menghampiriku. Dengan paras wajah bak bunga rosa centifolia siswi itu duduk di kursi kosong tepat di sebelah kiriku. Aku ingat nama gadis ini, Nur Hasanah. Dia anggota duo Nur—bukan grup penyanyi dangdut tetapi grup karyawan nasi padang bundo di jalan simpang empat Handil Bhakti. Rekan satu grup duonya kuingat namanya adalah Nur Fauziyah. Aku tak terlalu memperhatikan paras keduanya, namun Nur Hasanah sedikit lebih elok daripada Nur Fauziyah. Tapi keduanya sama-sama menarik kok.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya si Hasanah rada sungkan.
"Silahkan. Tapi kamu tak duduk dekat si Nur? Eh maksudku Fauziyah," tanyaku balik. "Kemarin hari pertama kulihat kalian duduk sebelahan. Kemana-mana selalu berdua."
"Nggak, aku izin duduk sebentar aja," balasnya. "Aku memang duduk di sebelah Ziyah, itu sudah kutaroh tasku di situ. Di sini aku cuma sebentar, tak lama kok, boleh kan?"
"Sekali lagi, silahkan, tak ada yang melarang," jawabku ringan.
Nur Hasanah menjadi orang pertama di kelas ini yang menyapa dan mengajakku bicara terhitung sejak hari pertama. Gadis ini layak diberi penghargaan sebagai orang istimewa meski penghargaan ini tak sebergengsi Nobel atau Pulitzer Prize tapi itikadnya untuk menyapaku lebih dulu sangat layak diapresiasi. Entah apa motifnya datang menghampiri dan mendekatiku, tapi apapun itu aku lumayan senang. Pria mana yang tak suka disapa oleh gadis cantik seperti Hasanah. Sekali lihat saja, siapapun akan langsung tahu bahwa dia kembang desanya. Di kelas ini dia mungkin akan cepat mendapatkan kepopuleran di kalangan para siswa.
Aku yang sejak tadi begitu santai tiba-tiba merasa gerogi. Di sebelah kiriku ada gadis cantik berkerudung merah jambu terus menodong dengan tatapan misterius. Lirikan mata indah Hasanah yang sesekali namun sering mencuri pandang ke arahku itu membuatku bertanya-tanya, apa maunya? Gadis itu hanya duduk di sebelahku sembari membolak-balik lembaran-lembaran buku miliknya sendiri. Entah apa yang tertulis di buku itu. Seingatku kami belum belajar apa-apa.
"Buku apa itu?" tanyaku penasaran.
"Oh, ini?" Hasanah tergelak kecil. "Ini hanya catatan kecil saja yang kubuat bersama Ziyah di hari pertama sekolah. Kami mencatat nama orang-orang di kelas, biar bisa dihapal dan dikenal."
"Kenapa nama kami harus dicatat? Kami semua bukan utang yang harus selalu diingat."
Spontanitas ucapanku sontak membuat Hasanah tertawa terbahak-bahak. Baginya ucapan itu tadi sangat lucu. Saking lucunya aku bisa melihat sedikit air mata tertumpah dari sela-sela mata indah Nur Hasanah—yang kemudian ia seka. Apa memang selucu itu perkataanku? Seberbakat itukah aku jadi pelawak? Tapi itu benar kan? Sia-sia saja kedua gadis ini mencatat nama-nama kami. Otak manusia memiliki kapasitas penyimpanan mutakhir yang bisa menyimpan segala macam memori. Jangankan nama, kesalahan orang lain di masa lalu saja manusia sulit lupa.
"Kenapa tertawa begitu?" tanyaku. "Masalah nama kami, itu tak perlu dicatat, nanti juga kalian bisa hapal sendiri. Kalian bukan ikan yang memorinya hanya bertahan 11 detik."
"Soalnya kamu terlalu lucu," jawab Hasanah. "Jadi memori yang dimiliki ikan sesingkat itu? Wah, aku baru tahu loh. Mirip ingatannya Lucy Whitmore di film 50 first dates ya,"
Sontak aku dibuat terkejut, gadis muda ini lumayan tahu referensi film komedi romantis yang terbilang jadul itu. Kebetulan itu salah satu film Adam Sandler kesukaanku. Dengan cepat—bukan hanya parasnya saja—Hasanah sudah bisa memikatku dengan karakternya. Gadis ini mudah sekali diajak membangun chemistry. Usiaku dan Hasanah pastinya terpaut lumayan jauh, tetapi pesonanya terasa seperti ia cukup dewasa. Aku mulai bertanya-tanya, daya tarik yang dimilikinya sebenarnya ada berapa?
"Kamu tahu film itu juga? Itu film komedi yang aku suka."
"Tahu dong Nat. Aku pernah nonton sekali, aku juga suka," jawabnya sambil melepas senyum.
"Jadi kamu sudah hapal namaku? Tolong ingat itu, jangan sesekali lupa," candaku menggodanya.
"Ngga mungkin bisa lupa lah. Nama nomor ke-44 ini paling mudah diingat, juga yang paling menarik perhatianku," ucap Hasanah yang entah keceplosan atau memang sengaja berkata sejelas itu.