Hari ini pelajaran pertama adalah ekonomi. Guru yang mengajar mata pelajaran ekonomi namanya Pak Dzulfikar Ali. Wajahnya tampak selalu tegas serta punya sorot tatapan yang keras. Metode mengajarnya pun tak kenal ampun dan belas kasihan. Gaya bicaranya tajam setajam pedang Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sesuai nama yang disandang oleh guru ini. Pak Dzulfikar dianggap guru killer oleh para siswa bodoh yang tak senang maju ke depan. Kebiasaan guru satu ini memang suka menunjuk secara ugal-ugalan para siswa, menyeretnya ke depan kelas untuk mempertontonkan kadar pemahaman, memastikan seberapa banyak murid yang menyimak atau abai pada pelajaran yang ia berikan—yang biasanya berakhir hanya sebagai atraksi-atraksi kebodohan.
Meski begitu, aku sendiri lumayan senang dengan Pak Dzulfikar. Aku tak masalah dengan metodologi mengajarnya. Orangnya agamis, senang mengikuti banyak majelis. Salah satu kajian mingguan yang rutin diikuti Pak Dzulfikar adalah majelis taklimnya Abah Haji atau yang lebih dikenal sebagai Guru Zuhdi. Pak Dzulfikar mempunyai pembawaan yang lucu jika di luar bahasan pelajaran. Sebagai guru ia memiliki dualitas, sisi kejam dan sisi humoris sekaligus, tapi jangan sesekali membuat marah orang ini.
Selama ini aku berpikir kalau aku satu-satunya murid yang Pak Dzulfikar senangi di kelas pasalnya aku selalu bisa menjawab apapun yang ia tanyakan. Aku adalah penyimak yang baik dalam pelajaran. Namun hari ini semua itu akan berubah, aku mengundang amarah dan rasa kesal Pak Dzulfikar Ali. Dalam sehari, aku berhasil membuat marah tiga guru sekaligus. Entah ini suatu sikap kurang ajar atau sebuah prestasi. Aku menorehkan rekor baru sepanjang karirku sebagai murid di SKB Paket C.
Dari yang kudengar secara tak sengaja, di kemudian hari ketiga guru ini kompak menandaiku sebagai murid yang perlu diwaspadai. Kata mereka sepak terjangku membahayakan eksistensi para guru. Murid mana yang berani lantang mempertanyakan intelektualitas dan integritas guru mereka?
Bermula dari obrolan ringan yang disampaikan Pak Dzulfikar kepada kami selepas mata pelajaran ekonomi, kala itu ia membahas terkait model pemerintahan negara Rusia. Katanya Rusia itu negara komunis, sampai disini aku tak masalah dengan fakta itu. Namun sebagaimana stigma keliru yang sudah terlampau sering kudengar, lebih lanjut Pak Dzulfikar Ali mengatakan pada kami jika negara Rusia yang berpaham komunis itu begitu anti dengan agama, membenci kaum agamis. Lho, lho, apa ini!?
"Yah, namanya juga negara komunis. Begitulah keadaan di sana," paparnya dengan sangat meyakinkan. Sementara dahiku sudah mengerucut beberapa senti karena sebuah falasi.
Para murid yang tak tahu menahu menyantap begitu saja informasi keliru itu. Dalam diskusi yang santai tersebut Pak Dzulfikar terus saja mencekoki kami dengan fakta-fakta salah yang tak layak kami konsumsi. Katanya negara Rusia melarang agama, kebanyakan warganya tak beragama, dan komunis adalah paham anti agama. Aku cukup bisa memahami darimana datangnya pandangan yang merancukan arti komunisme dan atheisme dalam satu definisi ini. Komunisme memang paham terlarang di negara kami, tapi terkait Rusia, itu beda cerita, meski ideologi mereka dulunya adalah barang terlarang di negeri ini—bukan berarti agama atau keyakinan juga dilarang di sana. Rusia sebagai negara sangat melindungi hak-hak beragama warganya.
"Pak, boleh saya ralat pendapatnya?" tanyaku sambil mengangkat lengan tinggi-tinggi demi mengundang atensi, "Bapak salah menyebut negara Rusia melarang agama."
"Salah gimana, Nat? Rusia itu komunis loh. Kamu ngerti komunis kan?" ucap Pak Dzulfikar masih santai disertai senyum tipis.
"Rusia memang berideologi komunis Pak, tapi itu dulu ketika mereka masih bernama Uni Sovyet. Sekarang Rusia negara demokratis sekuler. Agama tak dilarang untuk dijalankan di sana. Kebebasan berkeyakinan di Rusia dijamin oleh negara. Rusia bukan lagi sekelas Korea Utara."
Pak Dzulfikar mulai menegang tatkala ajaran salahnya disanggah. "Tahu darimana kamu? Jangan menyesatkan begitu," ucapnya tegas dengan sebelah alis mulai naik.
Tak mengendor, kulawan guru yang sebenarnya salah satu pengajar favoritku itu. Meski aku menyukai kepribadian Pak Dzulfikar, aku sangat menentang jika ada seorang guru yang mengajarkan hal-hal keliru, ditambah jika sang guru kukuh dengan kekeliruannya. Sebagai murid, kami semua yang ada di sini menjadikan guru sebagai dalil serta pintu utama tempat masuknya ilmu. Seorang guru punya tanggung jawab untuk menerangi jalan gelap murid-muridnya. Satu kesalahan sang guru akan membuka seribu pintu kejahilan untuk sang murid. Aku sama sekali tidak bisa mentolerir kekeliruan seorang guru apalagi di era arus globalisasi informasi yang sudah gila-gilaan seperti di zaman ini. Sudah ada Google, internet super cepat 4G, Quora dan Twitter, masa tidak bisa sedikit saja melek data atau fakta yang mengorbit di sekitar kita? Kenapa malas mencari tahu? Fatalnya lagi kemalasan ini dilakukan oleh oknum guru, Babul Ilmi kami para murid.
"Maaf Pak, justru Anda yang keliru dan menyesatkan kami. Rusia tidak melarang agama dan tidak anti agama, bahkan tidak di zaman Uni Sovyet dulu. Lenin pernah mengatakan jika agama adalah hak pribadi yang harus dijauhkan dari urusan negara. Keyakinan adalah privasi yang terpisah dari sekulerisme negeri. Hampir 50% penduduk Rusia sekarang beragama Kristen Ortodoks. Negara-negara otonomi dalam federasi Rusia seperti Chechnya, Dagestan, dan Baskhortostan, mayoritas warganya muslim Pak. Suku Tatar dan Baskhir di sana beragama Islam. Masa Bapak tidak pernah mendengar sama sekali nama Khabib Nurmagomedov?"
"Idolaku itu...!" teriak Zaki sang penggila olahraga UFC.
"Dengar Anat, Bapak akui kamu memang berbeda dengan murid lain, Bapak menyukai kecepatanmu memahami nilai-nilai, konsep dan teori dalam ekonomi. Bapak belum pernah menemui murid yang pandai sepertimu sebelum ini. Tapi sekarang kamu yang keliru, bukan Bapak," ucap Pak Dzulfikar Ali yang sontak membuat semua mata siswa mengarah kepadaku.