Di rumah aku sibuk membaca ulang novel terbaru Dan Brown berjudul Origin. Buku ini baru sekali kubaca, aku ingin menamatkannya lagi untuk kedua kali. Dulu untuk membeli novel ini saja aku sengaja menabung berbulan-bulan, hingga ketika rilis versi bahasa Indonesianya aku langsung membelinya. Hanya butuh waktu empat hari bagiku untuk menghabiskan seluruh bacaan di novel itu. Mungkin akan lebih cepat jika aku full nganggur seperti dulu, tapi tahun ini aku sudah menjalani part-time sebagai pelajar, tak begitu banyak lagi punya waktu luang.
Impresi pertamaku ketika pertama kali membaca buku ini bahwa ide atau gagasan yang diangkat hampir-hampir sama dan serupa dengan buku Homo Deus-nya Yuval Noah Harari. Aku sudah curiga dengan jawaban 'kemana manusia akan pergi?' Pada novel ini berkonklusi mirip dengan Homo Deus. Dugaanku tidak salah. Jika Harari menyebut sinergi antara makhluk hidup dan teknologi akan melahirkan spesimen manusia super jenis baru bernama Homo Deus, maka Sir Dan Brown mengklasifikasikannya sebagai kumpulan kingdom animale ketujuh, Technium.
Technium dalam pemahamanku merupakan jenis spesies tak hidup–dalam ruang digital–yang membangun ekosistemnya sendiri. Hidup berdampingan dengan manusia bahkan dimanfaatkan oleh manusia sama seperti organisme atau hewan lainnya. Jika mesin faks, antar muka Facebook, search engine, atau software komputer termasuk dan terhitung sebagai entitas spesies dalam kacamata Sir Dan Brown, maka hoax atau kabar burung adalah sebuah virus. Organisme hidup terbangun dari simbiosis dengan organisme kecil lain semisal manusia yang tubuhnya terdiri dari kumpulan sel-sel dan bakteri. Bagi organisme digital dalam kerajaan Technium, sel-sel dan bakteri kecil yang membangun struktur kompleks yang lebih besar di tubuh mereka pastinya adalah kumpulan informasi atau kode-kode data. Maka data atau informasi yang buruk, jahat, menyebar dengan sangat cepat, berpotensi membunuh spesies lain baik organisme hidup maupun organisme digital.
Virus berbahaya itu bernama Gosipus Hoaxus.
Di masa depan, bayangkan jika sistem pertahanan Iron Dome Israel yang telah dibekali analisis logaritma canggih dari Artifisial Inteligence dengan penerimaan informasi super cepat—menerima berita hoax adanya penyerangan dari negara musuh bebuyutan mereka, Iran. Upaya preventif dini kemudian dijalankan yakni menyerang duluan dengan otomatisasi serangan rudal jelajah antar benua. Berjuta-juta manusia tak berdosa akan mati hanya karena jaringan virus si hoaxus ini. Perang yang tak dibutuhkan malah terjadi disebabkan sebuah peretasan atau kesalahpahaman satu baris informasi. Ini hanya bayangan suram ketika hoax tidak lagi merambat melalui jalur oral namun menyusup masuk ke dalam susunan kompleks pembangun arus-arus digital. Bayangkan, bayangkan saja dulu gambaran mengerikan itu. Betapa berbahayanya virus dalam kingdom spesies Technium.
Sebelum ekosistem Technium terbentuk sempurna, mapan seperti sekarang, virus Gosipus Hoaxus ini sebenarnya sudah hidup di tengah-tengah manusia, biasa tersebar walau belum wujud dalam bentuk data atau rangkaian kode-kode angka, mereka awalnya hanya eksis dari mulut ke mulut, telinga ke telinga, menginfeksi dengan cepat hingga memutus jaringan nalar para pengidapnya, menciptakan komplikasi akut di antara syaraf-syaraf asumi dan persepsi.
Sebut saja hoax yang membuatku sempat terkena masalah kemarin di sekolah. Hoax yang menyebut bahwa Neil Armstrong mendengar suara azan di bulan. Tak tanggung-tanggung, orang yang mempercayai hoax ini berlatar belakang macam-macam usia, asal negara, generasi dan profesi. Tak peduli anda Millenial atau Gen Z, ojek online atau guru pendidik, dari Malaysia atau Indonesia. Jika tak pandai menyaring akses informasi yang diterima, anda sudah menjadi inang dari virus yang sangat berbahaya. Ibu Wulandari dan Pak Dzufikar Ali dua contoh nyata.
Masih ada saja yang beranggapan Neil Armstrong mendengar azan di bulan kemudian masuk Islam itu sebagai sebuah fakta. Dan masih ada saja yang beranggapan negara komunis Rusia sangat anti dengan orang-orang beragama. Bagaimana bisa virus hoaxus ini bertahan begitu lama dalam tubuh para inangnya? Apa gelar sarjana tak bisa memberi antibodi sama sekali kepada orang-orang pintar ini? Padahal Pak Dzulfikar Ali itu dosen ekonomi yang aktif mengajar di STIE, sementara Ibu Wulandari pernah dapat beasiswa hingga ke Jogja. Dari rekam jejak akademis keduanya saja sudah jauh di atasku, antara langit dengan bumi. Bedanya aku punya vaksin untuk virus konyol ini.
Vaksin untuk membendung virus Hoaxus adalah check and re-check, tabayyun dalam istilah Islam. Allah menuntut kita untuk tabayyun pada informasi apapun itu sebelum menelan dan memuntahkannya ke orang-orang. Bunyi ayatnya jelas, "Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah dahulu kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kecerobohan, yang akhirnya kamu sendiri menyesalinya."