Manusia Daur Ulang

Raz Aka Yagit
Chapter #12

Nur yang Sakti

Creation Ex Nihilo

Apakah semesta bermula dari ketiadaan? Sebelum Big Bang, Inflasi Kosmik, hingga model Kosmologi Brane ... Sebelum itu.

Apa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan sebelum ia menciptakan segala sesuatunya? Ada yang menyebut itu adalah singgasana (Arasy), air, hingga pena (al Qalam). Dalam kerangka teologi sufistik yang kupercaya jawaban dari pertanyaan itu adalah Nur Muhammad, sang sumber primordial. Darinyalah semua yang materi dan non-materi berasal. Nur yang memiliki sifat illat fai'liyah dan ghaya'iyah, karena ia menjadi penyebab serta tujuan kenapa segala sesuatu itu akhirnya diadakan. Peran yang pertama kali cahaya ini lakukan adalah mengenali Tuhan serta menciptakan terma 'Tuhan'. Ada masa purba ketika sang azali dan yang qadim itu belum berpredikat sebagai Tuhan sama sekali. Seperti firman-Nya dalam hadis Qudsi, "Aku perbendaharaan tersembunyi, aku rindu untuk dikenali, maka kuciptakan makhluk." 

Harus ada sesuatu selain diri-Nya yang menyebut diri-Nya sebagai Tuhan, barulah ia dapat disebut sebagai Tuhan, itulah peran Nur Muhammad. The first intellect, sumber segala penciptaan, ia yang pertama kali bersaksi di hadapan Tuhan. Seperti sanjungan raja Sulaiman dalam Amsalnya, "Tuhan telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala. Sudah pada zaman purbakala aku dibentuk, pada mula pertama, sebelum bumi ada."

Pada kalimat pembuka Alkitab, pada kata paling pertama dalam kitab kejadian, kesaksian dan perjanjian Nur itu main petak umpet di antara kalimat, tertulis apik di ayat pembuka: pada mulanya, Tuhan menciptakan langit dan bumi. Kata "pada mulanya" dalam bahasa Ibrani dilafalkan sebagai Bereshit, yang menurut Baal Haturim mengandung anagram tak kasat mata di dalamnya. Dua huruf awal dan dua huruf akhir membentuk kalimat "Brit", lalu dua huruf di tengahnya membentuk kalimat "Esh", itulah Brit Esh yang bermakna perjanjian api, syahadah Nur, atau The Covenant of Fire!

Jika Nur Muhammad adalah cahaya pertama yang menjadi alasan segala yang wujud itu ada, maka ia juga menjadi alasan terciptanya satu Nur lagi. Nur yang istimewa, yang berhasil memikat hati, yang merampok pikiran, yang menyita banyak perhatian pekan-pekan ini. Nur yang kumaksud tentulah Nur Fauziyah. Pikiranku akan sosok Nur yang satu ini terus menempel hingga berhari-hari, enggan lepas dari jaringan Amygdala kepala, terus membayangi memenuhi kedalaman hati. Jika orang-orang dihantui oleh beragam rasa seperti rasa takut, rasa cemas, rasa bersalah dan yang serupa, aku dihantui oleh rasa yang berbunga-bunga mengangkasa. Mungkin tak tepat jika dikatakan aku dihantui, karena rasa yang ia hadirkan tak seram, tak mengganggu sama sekali. Jika ada antonim dari kalimat dihantui beritahu aku, akan kugunakan kosakata itu. 

Kelas terasa berbeda semenjak aku menyadari kehadirannya. Sekolah berasa tempat ibadah yang menagih candu, memanggil rindu minta untuk didatangi. Tak sabar rasanya berjumpa dengan senin, rabu dan kamis lagi—jadwal sekolah Paket C. Di kelas mataku mulai mengejar kemanapun sosok Fauziyah bergerak, jeli menandai lokasi ke arah mana saja gadis itu beranjak. Seolah aku adalah seekor elang dari jenis clanga pomarina yang telah menargetkan seekor mangsa buruannya, tinggal menunggu aba untuk siap menerkam.

Berangsur-angsur aku menyadari betapa istimewanya gadis ini. Dia memang bukan yang pertama kali menyapaku di kelas waktu itu, tapi jelas dia yang pertama kali menghanyutkan seisi hatiku. Aku karam dalam rasa penasaran terhadap sosoknya. Aku kerap berada di belakang Fauziyah ketika gadis ini berdiri tegap menghadap papan tulis, sukarela menuliskan materi yang diminta guru pemalas untuk dituliskan di sebentang media serba putih. Perlahan aku mulai menyenangi situasi ini. Aku bersyukur bisa selalu duduk di depan dekat dengan papan tulis. Hanya pada waktu ini aku bisa sedekat itu dengan Fauziyah karena kursi duduknya dan Hasanah jauh berada di sana, di barisan ketiga dari urutan keempat, dekat tempat duduk si anak orang kaya Rizki Maulana.

Kalau kuingat-ingat lagi, aku dan Fauziyah tak banyak melakukan interaksi dan tak pernah intens mewujudkan komunikasi. Tak seperti aku dengan Hasanah, atau dengan Ahmad, Novi, Fadil dan Renaldi. Aku hampir tak ingat kapan pertama kali aku ditegur dan menegur gadis ini. Sekarang ingin kutebus keabsenanku mengenalnya yang berlarut-larut itu. Aku begitu ingin mengenal dan mengakrabkan diri dengannya, tapi entah kenapa sulit sekali membangun keberanian. Aku tak tahu darimana harus memulai. Saat Hasanah bergabung bersama kawanan kami dulu itu tak sesulit ini. Masalahnya kedekatanku dengan Hasanah tak membantuku sama sekali untuk percaya diri mendekati Fauziyah. Gadis itu juga sangat jarang bergabung bersama kami, tak seperti Hasanah yang jauh lebih sering. Fauziyah lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman satu benuanya atau yang sebaris tempat duduk dengannnya seperti Rizki Maulana. Dulu itu tak pernah menggangguku, tapi tak tahu entah sejak kapan pemandangan itu perlahan menyiksa batinku. Aku iri melihat kedekatan Fauziyah dengan Rizki Maulana yang bahkan tak pandai banyak mata pelajaran itu. Apa Rizki Maulana menyukai Fauziyah? Aku pun belum mengetahuinya. Namun jika Rizki Maulana yang kuanggap sakau itu ternyata benar menyukainya, maka sekarang bisa kukatakan jika aku pun sedang ikut sakau bersamanya.

Beragam metode sedang kupikirkan agar bagaimana caranya mendapatkan kontak Fauziyah. Tindakan yang sebenarnya sangat sederhana dilakukan: datangi orangnya, ajak bicara, minta kontaknya. Orangnya juga selalu ada di kelas, selama ini ia hampir selalu ada di dekat kami. Dimana ada Hasanah di situ pasti ada Fauziyah. Tetapi saat ini ketika perasaan sudah mulai bermain-main, aku seketika terkena sindrom takut wanita atau lebih tepat disebut sindrom gerogi bicara dengan gadis yang disuka. Pernah satu kali aku gagap kehilangan perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia di depannya. Waktu itu Fauziyah hanya menanyaiku masalah PR sejarah. Sejak itu aku menyadari sudah tak mudah lagi bagiku mendekatinya atau bicara dengannya. Penyakit canggung stadium akhir telah menggerogotiku. Jangankan untuk meminta kontak nomornya atau menanyakan apa akun Facebooknya, sekedar untuk bicara saja aku seketika menjadi tuna wicara.

Lihat selengkapnya