Mengutip keterangan para penjual laknat bakso boraks di acara-acara investigasi kriminal televisi, "awalnya hanya coba-coba." Dari awalnya yang coba-coba mengirim permintaan pertemanan di media sosialnya, hingga coba-coba mengirim pesan melalui kolom inbox, Fauziyah atau Ziyah mulai menjadi teman daringku. Dimulai dari saling berkirim pesan di Facebook sampai bertukar nomor hingga beralih ke chattingan WA, aku dan Fauziyah mulai membangun jembatan keakraban. Anehnya sejak hari pertama aku menyapanya di media sosial, ia yang terus mengirimiku pesan lebih dulu di hari-hari berikutnya. Ia yang lebih dulu membuka lajur chattingan di antara kami setiap hari. Bukan aku, orang yang lebih dulu jatuh cinta kepada gadis ini.
Fauziyah seakan ikan Nila yang terus menyambar umpan sejak lemparan kail di hari pertama. Perilakunya itu membuatku bertanya-tanya, apa Fauziyah juga menyukaiku seperti aku menyukainya? Aku tak terlalu gila dan besar pedenya kan dengan berpikir begitu? Padahal andai Ziyah tidak memulai mengirimiku pesan setiap hari pun pasti aku yang lebih dulu mengiriminya, sebab akulah pihak yang sedang jatuh cinta. Apa semesta sedang mendukungku? Apa cintaku tidak semengenaskan perasaan Novi untuk Ahmad yang bertepuk sebelah tangan? Atau seperti harapan musim semi Purdael yang kandas di tengah jalan?
Daripada terus berspekulasi tak jelas, ingin sekali kutanyakan langsung pada Fauziyah. Apa motifnya terus mengirimiku pesan lebih dulu setiap hari. Kadang ia menanyakan kabar, kadang hanya sekedar sapaan halo, kadang juga melempar pertanyaan receh sudah makan apa belum. Jika kubalas aku belum makan apa gadis ini akan membelikanku makanan? Berlarian dari Handil Bhakti membawakan nasi padang yang ia jajakan di rumah makan untuk diberikan? Jika iya, sudah pasti gadis ini teramat menyukaiku. Tapi apa sungguh kisah cintaku memang berjalan semulus itu? Kenapa tidak! Meski fisikku kekurangan, aku kan dikenal tampan dan mudah menarik perhatian. Ini salah satu kompensasi dari Tuhan yang sudah membebaniku dengan banyak kecacatan. Tuhan itu adil, jika ia memberikanmu kesukaran pasti ia akan berikan pula jalan kemudahan. Dalam surah Al Insyirah ayat itu diulang sampai dua kali oleh Tuhan. Kata sukarnya pun dalam bentuk tunggal sementara kata mudahnya dalam bentuk jamak atau banyak. Pesannya jelas, dalam satu kesulitan akan selalu Tuhan berikan dua tiga atau empat kemudahan. Sama seperti fisikku yang serba kekurangan, Allah juga hadiahkan aku wajah dan paras tampan yang mudah memikat hati orang-orang. Tapi daripada aku berspekulasi macam-macam, langsung kutanyai saja ke orangnya. "Yah, apa kamu menyukaiku?"
Andai aku punya keberanian menanyakan kalimat sederhana itu. Tapi untuk saat ini, bisa setiap hari chattingan dengannya saja sudah membuatku senang. Aku dan Ziyah mulai seakrab aku dan Hasanah. Ziyah berkisah banyak tentang dirinya saat kami chattingan. Aku pun membuka semuanya, kuceritakan saja apa yang enggan kuceritakan ke orang-orang. Ini bukti aku serius dengan gadis ini. Tanda keseriusan seorang lelaki adalah di saat dirinya berani jujur. Aku ingin di awal Ziyah mengenaliku apa adanya. Aku ingin dari awal kami sudah saling terbuka, tak ada rahasia atau dusta di antara kita. Aku ingin buka-bukaan dengan Fauziyah. Jangan kejauhan mikir buka-bukaan yang seperti apa. Buka-bukaan yang kumaksud tentang kejujuran jati diri, identitas, serta seluk beluk riwayat hidup. Sekarang selain Ahmad, Ziyah adalah orang yang memegang semua rahasiaku. Gadis ini sudah tahu berapa usiaku, kenapa aku bisa ada di Paket C, dan sebagainya dan sebagainya. Aku menantang diriku untuk terbuka dengannya. Reaksi awal Fauziyah sungguh tak terduga. Ia tak mempermasalahkan semua hal itu. Baik kelebihan atau kekuranganku, Fauziyah dapat menerimanya. Tak salah kutambatkan hati pada gadis seperti ini.
Aku ternyata seusia kakak laki-laki Fauziyah, Zainuddin. Fakta ini membuatku lega dan sedikit tak merinding. Pasalnya aku takut disebut pedofilia ketika menjalin hubungan dengan gadis ini. Sebenarnya itu tak mengapa, masih wajar-wajar saja, faktanya di lapangan memang tak sedikit pasangan menikah yang jaraknya sampai belasan tahun, sedangkan aku dan Fauziyah hanya terpaut sejauh tujuh tahun. Jadi jangan menyebutku berondong tua yang hobinya tebar pesona dan memangsa daun muda.
Aku dan Fauziyah menjalin hubungan tak terkatakan. Teman tapi mesra istilah kerennya. Di sekolah dari jauh kami saling lirik-lirikan. Pulang sekolah kami chattingan bahkan hingga larut malam. Seisi kelas tak ada yang tahu aku dan Fauziyah menjalin keakraban, bahkan Hasanah sendiri pun tidak tahu. Di awal-awal kami chattingan, Fauziyah langsung memperingatiku agar tidak memberitahukan pada Hasanah kalau aku mengiriminya pesan. Aku juga dilarang memberitahu Hasanah kalau Fauziyah kerap mengirimiku pesan lebih dulu. Aku tak tahu apa alasan dibalik larangan itu. Hasanah kan sama-sama teman kami, ia juga rekan kerja sekaligus teman satu kamar Fauziyah, bahkan keduanya kerabat dekat. Apa salahnya jika Hasanah mengetahui aku dan Fauziyah sering chattingan? Hasanah dan aku tak pacaran, aku dan Fauziyah pun belum resmi berhubungan. Jadi dimana masalahnya? Kutanyakan apa alasan dari larangan itu, Fauziyah hanya menjawab ia tak ingin diledek oleh Hasanah. Aku memaklumi alasan itu.
Hari berganti hari, minggu berlanjut minggu, bulan bersambung bulan, aku dan Fauziyah semakin akrab dan intens dalam suatu hubungan yang sulit didefinisikan. Pacaran bukan, teman biasa juga bukan. Suatu hari Fauziyah pernah diserbu cemburu ketika si dungu Zaki pernah mengerjaiku, mengunciku berdua di kelas lantai atas bersama Fitri si pecinta K-pop. Di hari itu Ziyah bermasam muka. Saat pulang ke rumah pun tak kudapati kiriman pesan darinya. Itu hari pertama aku yang lebih dulu mengirimi pesan ke Fauziyah. Kutanyakan dia kenapa.
Di hari itulah Ziyah mulai terbuka. Katanya ia cemburu, dan mengatakan kalau ia menyukaiku. Sambil nyengir di depan layar ponsel, kutanyakan sejak kapan ia mulai menyukaiku? Jawaban Fauziyah sungguh membuatku memuji-muji Tuhan tanda rasa syukur. Rupanya ia yang lebih dulu menyukaiku. Katanya semenjak hari pertama kami bersekolah, sejak itu pula Fauziyah sudah menyimpan rasa kepadaku. Hari ketika aku belum menyadari kalau gadis itu ada, ia sudah lebih dulu menyimpan rasa. Allahu akbar! Jelas saja tanpa sungkan langsung kudeklarasikan kalau aku juga menyukainya. Maka dimulai dari hari penuh cemburu itu, hubungan kami mulai menemukan nama.
Aku tak jadi mengutuk si dungu Zaki yang usil itu. Aku harus memeluknya dan berterima kasih padanya. Berkat kemahatololan jiwa usilnya aku dan Fauziyah resmi bersatu.