Sekolah menjadi tempat yang semakin memiliki arti sejak Fauziyah masuk ke dalam kehidupanku. Bangunan tempat kami menimba ilmu ini tidak lagi dipandang sebagai tempatku bermeditasi mengumpulkan kepingan puzzle mimpi atau prestasi, melainkan telah menjelma menjadi suatu alam, dimensi tempat terwujudnya satu impian baru yang sudah selazimnya diimpikan oleh setiap lelaki, yakni menikah. Fauziyah memberikan aku beban mimpi itu.
Pertanyaan selanjutnya, bisakah kuwujudkan? Apa aku dan Fauziyah akan bisa bersama hingga ikrar pernikahan menyatukan dua insan dalam satu ikatan suci nan abadi? Hanya Tuhan yang mengetahui jawaban ini, bukan aku, bukan pula Fauziyah, hanya Tuhan.
Kehidupan memang berteman akrab dengan misteri. Kita takkan benar-benar tahu sampai pangkal takdir itu akhirnya kita lalui dan jalani sendiri. Aku mengajarkan Fauziyah tentang hal itu, keikhlasan menerima apapun kejutan dalam hidup. Jangan mudah jadi manusia kagetan. Di saat manusia itu sudah siap atau ada harap untuk memiliki sesuatu, ia juga harus menyiapkan satu tempat bagi kehilangan. Tak ada yang sungguh bisa digenggam dalam kehidupan. Setiap waktu akan habis, setiap rasa akan terkikis, setiap yang bernyawa akan mengalami serangkaian efek mortis (mati). Tema-tema seperti ini yang kerap aku sisipkan dalam obrolan kami sehari-hari. Aku memang sengaja menempa gadis itu, menyiapkan mentalnya agar bisa sekuat diriku. Ketimbang pacaran, kadang komunikasi yang kuberikan pada Fauziyah lebih tepat dikatakan sebagai konseling kejiwaan.
Aku menjanjikan pada Ziyah kalau aku serius dengannya, aku sungguh ingin meminangnya sebagai istri. Akan kucari segala macam cara agar dapat mewujudkan mimpi besar kami berdua. Namun kuminta pada gadis ini supaya ia juga sadar akan adanya ruang realitas, tempat dimana semua hal pasti memiliki batas. Aku tidak ingin optimismeku yang tinggi menghantarkannya pada belenggu mimpi-mimpi semu. Kukatakan bahwa kami juga harus realistis. Aku sudah melihatnya sendiri, sekitar sepuluh tahunan sejak aku beranjak dari usia kematangan aku masih belum bisa meraih apa-apa. Pertemuan kami di sini di SKB Paket C adalah buktinya. Jika sepanjang satu dasawarsa saja aku tak mampu merubah jalan hidupku sendiri, bagaimana aku bisa menjanjikannya dunia utopia berumah tangga dalam waktu sekejap mata?
Kuminta agar ia terus menjaga kesadarannya, tetap menaruh tinggi logika terhadap permainan dunia, "jika setelah lulus nanti kita tetap tak bisa bersama, karena mungkin terhalang restu orang tuamu atau kesulitan ekonomiku, maka jangan bersedih. Jalani hidup sebagaimana mestinya."
Fauziyah hanya mengangguk pilu. Kusampaikan ia carilah pria lain yang melebihiku dalam segala hal. Jangan sampai salah pilih pasangan nantinya. Namun sebelum itu, kupastikan aku akan berjuang terlebih dahulu. Usaha dan doa akan kuikat di tiap persendian tubuh kecilku. Kan kuremukan dunia kalau perlu, demi bisa menggapai mimpi kami berdua. Kukatakan masih banyak waktu kami bisa bersama—meski harus sembunyi-sembunyi, tak ingin diketahui. Nikmati saja dulu hari-hari kami sebelum datangnya masa perpisahan yang pasti.
Fauziyah berderai airmata, bulir-bulir lacrima membasahi wajah dan pipinya—yang ingin sekali kusapu lembut dengan tanganku namun tak bisa, aku bukan Lupus, Boy anak jalanan atau Dilan yang tak mengenal batasan. Gaya pacaranku bukan sembarang pegang-pegang anak orang. Belum ada restu ibu bapaknya, tak ada wali yang mengikat kami, tak ada saksi yang melegitimasi, bagaimana bisa aku menyentuh sembarangan anak gadis ini? Bukan, ini bukan sekedar doktrin wala taqrobu zina. Ini tentang memanusiakan manusia, memuliakan seorang wanita yang sejak lahir telah merdeka dengan membawa hak dan kewajibannya. Hak Fauziyah beserta semua gadis yang baligh akalnya adalah wajib diperlakukan mulia. Barang dagangan saja haram disentuh oleh pembeli yang tak ada niat untuk membeli. Aku hanya tak ingin menormalisasi sikap destruktif tak bertanggung jawab itu.
Perintah "Lo Tinaf" atau jangan berzina sebagai salah satu hukum dari Aseret Ha-Dibrot yakni sepuluh perintah Tuhan itu bermakna sederhana, bertanggung jawablah.
Kupikir dengan memacari Fauziyah bukan berarti aku punya hak atau sudah resmi memikul tanggung jawab ke atasnya. Aku perlu penegasan komitmen itu dari pelimpahan orang tuanya, mahar sebagai buktinya, seorang wali sebagai penjaminnya dan para tamu undangan sebagai saksi mata. Sebelum itu, gadis manapun statusnya secara hukmi bagaikan hukum makanan terlarang semacam babi, haram untuk dikonsumsi. Pacaran rasa taaruf atau taaruf rasa pacaran? Jangan merancukan dua hal itu. Meski teknis keduanya jelas berbeda, namun dalam implementasi keduanya bisa saja diterapkan secara sama dan setara. Aku pacaran dalam rangka mengenali pasangan, upaya mengenali seseorang. Bukankah makna taaruf dalam surah al Hujurat itu teramat sederhana yakni mengenali? Baik itu pacaran atau berteman, selalu ada batasan. "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah mereka yang paling bertakwa."
Kini kami pun resmi memasuki kelas dua SMA atau kelas 11 sekarang sebutannya. Setahun genap aku menjadi murid di Paket C. Di sekolah non formal begini tak ada sistem ranking-rankingan. Kami menjalani ulangan, kemudian ujian, lalu naik kelas, hanya begitu saja. Hubunganku bersama Fauziyah juga berjalan tanpa hambatan. Memang, daripada samanya kami lebih banyak bedanya. Terkait isi kepala, aku meredam esensi kedewaanku di hadapannya. Satu-satunya hal yang didapati kami saling mengerti atau bisa satu frekuensi hanyalah kesamaan menyukai film-film lawas India terutama yang dimainkan oleh raja Bollywood Shahrukh Khan.
Fauziyah menghadirkan suasana tak terlukiskan di setiap kali aku masuk sekolah. Semuanya selalu terasa indah. Jika kisah cintaku bersama Fauziyah di kelas ini ditulis dalam bait-bait kisah bergaya prosa berbahasa Sansekerta, maka judul yang tepat adalah Pranaya Purana. Makna kalimat cinta ini mengekspresikan wujud kasih sayang yang intens dan maha lengkap, cinta yang membawa kekasih dan kekasihnya dalam perjalanan super progresif. Itulah sifat hubungan yang sama-sama sedang kami bangun. Progresifitas!
Aku sebenarnya memikirkan kalimat lain untuk judulnya seperti Prema, Sneha atau Anuraga, tapi Pranaya rasanya jauh lebih tepat. Asalkan bukan kalimat Kama saja, karena maknanya adalah cinta murni yang bermuara pada nafsu-nafsu duniawi atau manifestasi birahi.
Meski sudah kelas dua, hubunganku dengan Fauziyah tak pernah terendus sama sekali. Aku begitu lihai menutupi sedangkan Fauziyah terlalu mahir bersandiwara. Mungkin seisi kelas akan terkejut tatkala mendapati kami menjalin hubungan. Biarlah hubungan ini kami nikmati dengan sembunyi-sembunyi. Semakin rahasia semakin tenang, tak ada gelombang. Selama Hasanah atau Rizki Maulana tak mengetahuinya, rahasia ini takkan pernah menyakiti keduanya.