Manusia Daur Ulang

Raz Aka Yagit
Chapter #15

Kotak Pandora

Aku dan Fauziyah tak henti-henti berdiskusi, kami sudah seperti dua orang laki bini yang memikirkan pekatnya masalah berumah tangga. Kami berdua dipacu waktu seakan sedang menghadapi tenggat sebuah lomba. Hasanah sudah mulai menaruh curiga. Fauziyah menyebut di tempat tinggal mereka atau ketika di tempat kerja, sorot mata Hasanah tak lepas dari mengincar ponsel hp miliknya. Hasanah terasa belum puas, ia ingin mencari-cari clue lagi dari dalam ponsel itu. Fauziyah semakin erat memegang ponselnya. Tak sedetik pun ia biarkan lepas dari pandangan mata, bahkan ponsel itu ia bawa sampai ke kamar mandi.

"Apa menurutmu Hasanah sungguh percaya? Kamu menamai kontakku dengan kalimat Imamku, sementara orang yang kau pilih adalah si gabut Zaki. Orang paling nirakhlak di kelas kita ini."

"Ya gimana dong, aku tak bisa mikir lagi kemarin. Kebetulan wajah dongo Zaki yang kulihat melintas, langsung saja kusebut namanya."

"Semakin lama kau tutupi, semakin berbahaya. Hasanah akan makin benci kepadamu saat semua ini terungkap nanti. Jadi sudahi saja, malam ini bicaralah padanya. Katakan yang sejujurnya." 

Fauziyah setuju dengan usulku. Ia menyiapkan mental dan hati untuk mengatakan yang sebenarnya pada Hasanah. Meski ia tahu resikonya teramat tinggi, konsekuensi dari kejujuran itu akan melukai teman sehati sekaligus kerabat terdekatnya. Orang yang selama ini sudah dianggapnya sebagai saudari sendiri. Namun Fauziyah tak punya pilihan lain selain jujur dan berterus terang.

Di sekolah aku datang pagi-pagi sekali. Kebetulan di depan kantor guru juga sedang duduk manis Pak Dzulfikar Yasin, sang guru ekonomi. Selama ini tiap kali ia mengajar di kelas, ia mengacuhkanku. Aku bukan lagi kesayangannya. Tetapi mati satu tumbuh seribu. Aku malah jadi murid kesayangan Ibu Minah sang wali kelas kami, Ibu Rahmi yang mengajar sejarah pun mengatakan aku murid terbaiknya. Aku memang menyukai serta menguasai semua sendi ilmu geografi maupun sejarah. Aku membabat habis semua materi kelas 10 dari kedua mata pelajaran itu. Di kelas, daripada yang tak suka denganku lebih banyak yang senang dengan kehadiranku. Abaikan tiga orang gadis yang menyimpan rasa untukku ditambah satu gadis beruntung yang bisa menarik hatiku, aku disenangi hampir seisi kelas kecuali Rifani dan komplotan begundalnya. Rupanya aku memang punya pesona yang mudah memikat hati orang.

Sebelum masuk kelas, dari kejauhan Pak Dzulfikar memanggilku, lengannya mengacung mengayuh-ngayuh memintaku datang menghampirinya. Tanpa pikir panjang kuhampiri guru yang sudah lama memusuhiku itu. Di sebuah bangku di selasar depan kantor guru, aku diminta duduk oleh Pak Dzulfikar. Pikiran liarku sudah terpikir yang macam-macam. Apa pak guru ini akan menceramahiku atau menganiayaku mumpung belum banyak orang yang datang? Alangkah bodoh bin tolol kuadratnya pikiran itu. Tak mungkin Pak Dzulfikar melakukan tindakan nista begitu. Ia seorang intelektual, pendidik yang punya etika luar biasa. Di mataku ia tetap seorang guru yang penuh dedikasi, pengajar paling tulus yang pernah aku temui. Kalau aku diceramahi itu masih mungkin. Kupikir juga ini, tapi Pak Dzulfikar malah menodongku dengan banyak pertanyaan. Didudukannnya pantatku di kursi panas, bak seorang Tantowi Yahya ia memanduku masuk ke dalam pertanyaan demi pertanyaan namun tanpa hadiah uang milyaran.

"Apa ibukota negara bagian Lousiana, Anat?"

"New Orleans, Pak."

Jawabanku mengejutkannya. Tanpa memberi jeda ia melanjutkan.

"Apa karnaval khas kota New Orleans yang dirayakan menjelang Paskah?"

"Mardi Gras?" gumamku pelan, bukan tak yakin, namun lebih kepada bingung dalam rangka apa aku tiba-tiba ditanyai pertanyaan trivia yang tak ada nilai akademiknya sama sekali.

"Wah, Bapak saja belum seberapa lama tahu yang ini," balas Pak Dzulfikar. "Siapa presiden Amerika yang ketiga?"

"Thomas Jefferson,"

"Bukan Abraham Lincoln?"

"Terlalu jauh, itu presiden ke-16, Pak."

Lihat selengkapnya