Manusia Daur Ulang

Raz Aka Yagit
Chapter #16

Entitas Kutub

Tak ubahnya peserta akademi fantasi yang satu persatu mengalami eliminasi, atau seperti pembantaian antara Indian Tuscarora dan koloni federal Amerika yang menghabisi masing-masing setengah dari jumlah populasi, begitu pula seleksi alam dan denyut kepunahan menimpa kami. Semakin tahun kebisingan kelas kami semakin berkurang. Tak hanya polusi suara, tetapi juga overpopulasi seiring berjalannya waktu kian teratasi. Satu persatu teman-teman seperjuangan kami di Paket C mulai tumbang, entah itu karena rasa malas mereka, atau karena nihilnya kesadaran betapa pentingnya pendidikan, atau karena adanya bentrok antara jadwal sekolah dan tuntutan pekerjaan.

Pada intinya banyak yang menyerah. Dari 60 orang siswa-siswi yang tak bisa kusebutkan satu-satu, hanya tersisa sekitar 22 orang saja yang mampu bertahan, yang masih rajin datang ke sekolah dengan niat tulus menuntut ilmu atau sekedar menanti ijazah. Padahal kami sudah beranjak menuju kelas dua. Tinggal satu tahun lagi kami semua akan lulus dari sini. Satu setengah tahun terakhir ini sudah begitu banyak yang terjadi. Aku bahkan menjadi saksi berakhirnya rumah tangga sang pasutri (Rizwan dan Risa).

Paket C memberiku pengalaman cinta anak SMA bersama Fauziyah hingga aku tak berkecil hati lagi saat mendengar tembang Chrisye berjudul kisah kasih di sekolah. Paket C memberiku kesempatan menjadi pelajar, menghadirkan banyak teman sekawan, hingga tak luput menghadiahiku dilema persahabatan dan perundungan. Dilema yang kumaksud adalah Hasanah. Orang yang pertama kali kuberikan penghargaan, namun tak lama lagi hatinya akan segera kusakiti. Kebenaran yang akan segera diungkap Fauziyah pasti akan melukai Hasanah. Aku sama sekali tak menyukai situasi ini. Disatu sisi ada cinta yang kubutuhkan, disisi lain ada persahabatan yang kuhormati bahkan telah kuanggap ia seperti adik kandungku sendiri. Bukan salahku jika Tuhan menjatuhkan perasaan ini bukan untuknya. Dan bukan salahnya pula melabuhkan cintanya pada orang yang tak memiliki rasa yang sama. Ini ujian hidup namanya, yang terselip diantara ujian tengah semester dan ujian kenaikan kelas.

Meski tak ada perasaan untuknya aku tetap memedulikan Hasanah. Setiap hari gadis ini dalam bahaya. Ia selalu saja digoda oleh Rifani Antareza, sang perundung di kelas kami. Rifani menyukai Hasanah dan konon beberapa kali sudah menembak gadis itu. Aku dikasih tahu oleh Fauziyah. Hasanah jelas menolak, ia masih mengharapkanku yang ia harap akan menyadari perasaannya lalu menembaknya. Hasanah mungkin tipe wanita Gen Z yang gengsi mati untuk mengutarakan lebih dulu perasaan. Semenjak Fauziyah memberitahuku tentang perasaan Hasanah, semenjak itu aku menyadari betapa banyak dan derasnya sinyal kode yang diluncurkan Hasanah setiap hari di kelas. Aku berharap setidaknya jika bukan denganku, gadis cantik ini akan dibersamai oleh pria lain yang bahkan lebih baik, bukan malah yang lebih buruk!

Rifani yang gencar mendekati Hasanah adalah preman kelas yang selalu merundungku setiap waktu terhitung sejak kelas satu. Ia bagaikan Namrud, Firaun, dan Abu Lahab. Atau jika aku memakai tradisi keyakinan yang berbeda maka orang ini adalah Kamsa, Rahwana dan Duryodhana. Jangan sampai epos Ramayana juga mengejawentah di kelas ini dimana Hasanah adalah sang Sita dan aku adalah sang Rama. Jika seperti itu, lalu Fauziyah siapa? Hanuman?!

Tapi sungguh, babak perundungan Rifani adalah yang paling penting untuk diceritakan di sini.

Dilihat dari postur tubuhnya Rifani memiliki kuantitas teratas seorang pembully. Ditinjau dari tutur kata dan tingkahnya ia punya kualitas sebagai penjahat dan antagonis sastrawi. Sosoknya sudah paling bandit di kelas kami. Gayanya songong bercampur tengil. Orang ini bisa disetarakan Flash Thompson jika aku adalah Peter Parker tanpa kemampuan laba-laba, atau Giant jika aku adalah Nobitanya—minus Doraemon. Di antara para siswa Paket C yang timbul tenggelam kehadirannya bagai sebuah entitas gaib, Rifani selalu hadir tak pernah absen. Sial, padahal diantara mereka yang jarang berhadir, aku berharap Rifani didaftar teratasnya. Itu karena Rifani seperti tak bosan untuk merundungku setiap hari, seolah mengusiliku adalah makanan kesukaannya. Zaki yang raja usil saja tak pernah begitu keterlaluan denganku. 

Bentuk perundungan Rifani beraneka jenisnya. Kepalaku yang lagi tiduran santai di atas meja pernah ditoyornya, kakiku yang menjuntai di kursi milik sendiri pernah ditendangnya. Selebihnya hanyalah makian dan celaan verbal semisal ucapan "apa elu lihat-lihat!?" Ketika kami tak sengaja berpapasan. Atau sapaan yang sengaja mencela fisikku seperti hei pendek, hei kurus, hei ceking, hei yang kurang gizi. Memang itu semua tidak menciderai fisik, tapi melukai hati.

Lihat selengkapnya