Jauh di lubuk hatinya Hasanah tak pernah percaya jika Zaki adalah 'Imamku' dalam kontak Fauziyah itu. Hasanah gadis cerdas, intuitif, dan mudah berskeptis ria. Sebenarnya semua hal itu adalah ciri manusia pandai. Apa yang dibutuhkan Hasanah hanya tinggal memperkaya lagi pustaka pengetahuannya. Jujur saja, Nur Hasanah lebih banyak unggulnya daripada Nur Fauziyah jika kedua gadis ini serius dipetakan dalam bagan dan variabel kecerdasan. Namun cinta tak bisa dikalkulasi, cinta bukan kompromi, ia tak meninjau kognisi, dimana hati akan memilih pilihan paling terbaik. Perasaan tak mengenal logaritma, hingga tidak jarang di dunia akan ditemukan yang pandai malah menyukai yang bodoh, polos yang menyukai sesama lugu atau malah menyukai si picik, penyabar yang menyukai orang pemarah dan orang saleh yang menyukai begundal. Cinta tak bisa didikte harus menuruti idealisme atau normatif standart.
Aku berduka untuk perasaan tak berdosa Nur Hasanah. Tapi ini cinta, bukan badan amal.
Semenjak Hasanah menaruh kecurigaan besar pada Fauziyah, di dalam kepalanya hanya mengawang prasangkaan buruk yang sayangnya akan menjadi kenyataan. Hasanah coba menepis berkali-kali pikiran itu, ia sengaja menipu dirinya sendiri jika sosok itu mungkin bukan aku. Ada alasan kenapa Hasanah tak pernah lagi bertanya pada Zaki apa dia sungguh pacar dari Ziyah atau bukan. Hasanah takut akan jawaban 'tidak' dan 'bukan' dari Zaki. Hasanah pun tak berani secara langsung menanyakan itu ke Fauziyah dengan alasan yang sama namun dengan ketakutan akan kalimat yang berbeda. Bukan kata 'tidak' yang ia takutkan melainkan kata 'iya'.
Fauziyah dan Hasanah terseret perang dingin. Baik di sekolah maupun di rumah atau di tempat mereka bekerja, keduanya tak lagi kerap menyapa. Sekedar untuk bicara tatap muka saja keduanya sudah jarang. Fauziyah merasa serba salah sementara Hasanah sibuk menepis kecurigaan yang menggelayut seisi kepala. Perang dingin keduanya berimbas pada keheningan warung padang yang tak biasa-biasanya hingga membuat sang bos majikan keheranan.
"Kalian berdua kenapa?" tanya sang bunda, bos majikan mereka.
Keduanya kompak menggeleng. Hasanah tak ingin ketakutannya menjadi kenyataan, sementara Fauziyah tak ingin persaudaraanya berakhir. Keduanya menolak menyelesaikan masalah mereka dengan bicara, sampai datangnya baku hantam konyol yang aku mulai di kelas hari itu. Menyaksikan sendiri bagaimana reaksi Fauziyah saat melihatku terluka telah membukakan kedua mata Hasanah. Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah ke tempat kerja mereka Hasanah diam seribu bahasa. Fauziyah mencoba menjelaskan semuanya.
"Maafkan aku Nur, aku tak ingin menutupi ini darimu," ucap getir Fauziyah yang sudah tertangkap basah. "Kami merahasiakan ini darimu karena tak ingin kamu sakit hati."
"Diam! Aku tak ingin bicara denganmu," balas Hasanah.
Hasanah menyadari jika perasaan memang tak bisa disetir. Bukan salah Fauziyah jika aku menyukainya, dan bukan salahku jika aku tak menyukainya. Gadis itu hanya tak senang dengan realita yang sekarang sedang terpampang di hidupnya. Menyebut ini sebagai kasus 'ditikung teman sendiri' baginya juga terdengar tidak adil, sebab Hasanah tahu aku dan dirinya tak pernah memiliki hubungan. Semua itu juga ia salahkan pada dirinya sendiri yang tak pernah mau tegas mengutarakan perasaan.
Setelah mereka menutup warung padang di malam hari keduanya baru bicara empat mata. Di kamar keduanya menghabiskan puncak perang dingin yang sudah bergulir selama beberapa hari ke belakang. Hasanah menumpahkan airmata kesedihan dan kekesalan yang sekuat tenaga berusaha ia tahan semenjak dari sekolah dan tempat kerja.
"Kenapa kamu tega, Ziyah!?"
Fauziyah tertunduk bersalah.
"Sudah tahu kamu kalau dari awal, dari hari pertama, aku bilang ke kamu kalau aku menyukainya. Kenapa tiba-tiba malah kamu yang sekarang bersamanya?"
Fauziyah terus menunduk tak berani mengangkat kepala. Dalam sidang ini ia adalah seorang terdakwa.
"Sejak kapan? Sejak kapan kau menusukku? Jawab aku Ziyah, sejak kapan kalian pacaran? Seberapa lama kamu menipuku di belakang sambil haha hihi di depan?"