Manusia Daur Ulang

Raz Aka Yagit
Chapter #18

Botanica No.23

Sebelum berangkat sekolah biasanya sekitar setengah jam sebelumnya aku selalu mengerjakan salat Dhuha terlebih dahulu. Ini amaliah rutin yang aku lazimkan tiap pagi dan semakin sering kukerjakan ketika sudah menjadi pelajar Paket C. Aku membutuhkan pertolongan dan penyertaan Allah di setiap aktivitas belajarku. Ibadah ini semakin kubutuhkan tatkala ketenangan masa-masa SMA-ku sudah mulai terganggu dengan hadirnya sosok Rifani yang kerap membully, atau masalah percintaan yang saat ini sedang kuhadapi. Masalahku dengan perundungan kuanggap telah selesai dengan resminya pengunduran diri Rifani dari sekolah karena masalah kesehatan. Aku cukup menyayangkan ia harus berhenti sekolah di tengah jalan. Meski seburuk apapun orang itu, setidaknya ia punya kesempatan besar memperbaiki hidup jika merampungkan pendidikan. Namun apa mau dikata, aku hanya bisa mendoakan kesembuhan dan hal-hal baik lain untuk kehidupannya. Kubenamkan dendam dan ketidakridaanku yang dahulu.

Masalah yang tersisa sekarang hanyalah percintaan. Kisah asmaraku dengan Fauziyah telah mencapai puncak klimaksnya. Kami sudah melalui batu sandungan terbesar untuk saat ini yakni publisitas hubungan kami. Hasanah terpaksa harus menjadi korban dari kisah asmara ini, walau ia bukan satu-satunya yang tersakiti. Aku terhubung dengan kisah cinta segi enam, heksagonal, menyerupai Magen David atau bintang Daud yang bersudut-sudut. Selain Hasanah ada Rizki Maulana, Rabiatul dan Asmiah yang terdampak oleh hubungan kami, tetapi Hasanah jauh lebih menjadi pesakitan dalam kisah ini. Gadis malang itu kehilangan pegangan dan tujuan. Semenjak hubungannya dengan Rifani berakhir dan tak bisa lagi menjadi tameng, Hasanah semakin terpuruk di kelas. Bagaimana tidak, jika tiga kali dalam seminggu ia harus menerima kenyataan jika aku dan Fauziyah berpacaran. Kami berdua harus pandai menjaga banyak hati di kelas. Sudah diketahui pun bukan berarti aku dan Fauziyah bisa semakin leluasa. 

Hasanah tampak kehilangan fokusnya di kelas. Ia tak menaruh banyak perhatian lagi pada proses pembelajaran. Nilainya kerap anjlok tak seperti biasa. Setelah kenaikan kelas tiga, Hasanah mulai senang bolos sekolah. Kadang Fauziyah hanya datang seorang diri. Ketika kutanya kenapa Hasanah tak bersamanya alasannya selalu sama, malas datang dan lebih memilih bekerja. Bos majikan mereka pun tak begitu memedulikan rajin atau tidaknya mereka sekolah. Karena hal tersebut Fauziyah sempat goyah, ia pernah cukup gila mengatakan jika sebaiknya kami putus saja. Fauziyah tak bahagia melihat saudarinya mengalami kehancuran mental. Aku tentu saja menolak. Begitu mudahnya Fauziyah ingin memutus apa yang sudah kami usahakan. Kukatakan jika aku serius dengannya. Aku juga sudah memberitahunya tentang lomba yang dulu pernah ditawarkan oleh Pak Dzulfikar. Kukatakan jika menang lomba cerdas tangkas itu aku akan memiliki cukup uang untuk melamarnya segera setelah kami lulus, dan sisanya bisa kami gunakan untuk modal membuka usaha. Hadiah uangnya pun tak hanya 20 juta, Pak Dzulfikar memberitahuku jika lomba menulis essai menyediakan segmen hadiah lain yakni uang sebesar 15 juta rupiah. Jadi jika aku memenangkan keduanya atau hanya salah satunya, aku masih punya cukup modal untuk membangun mimpi kami berdua.

"Kapan lagi aku akan menemukan kesempatan yang sebesar ini dalam hidup? Ini satu-satunya shortcut tercepat yang Tuhan berikan untuk kehidupanku, untuk kita. Bisa atau tidaknya akan aku usahakan, Insha Allah. Tapi aku butuh dukunganmu, Ziyah. Jangan menyerah hanya karena Hasanah."

Mendengar semua itu Fauziyah terlihat senang. Jika kami mau realistis, ini memang jalan instan dan satu-satunya dimana kami bisa bersama. Sulitnya hidup dan membangun mimpi di tengah arus masyarakat yang mengutamakan gengsi, materialistik dan berbiaya tinggi. Tanpa uang, jabatan atau pekerjaan, seseorang takkan mudah mendapatkan cinta atau pengakuan.

"Terlepas dari ini jalan yang memudahkan kita bisa bersama, ini adalah kesempatan besar yang wajib kamu ambil," ucap tulus Fauziyah. "Kamu pemuda cerdas Anat, bahkan Kakakku yang seusia denganmu saja tidak sepertimu. Banyak potensi dalam dirimu, banyak hal yang aku sendiri tak bisa melihat seberapa besar itu, terkurung dalam dirimu, butuh untuk dilepaskan. Aku gadis biasa yang bahkan tak secerdas Hasanah, tapi aku bersyukur kamu yang sedemikian istimewa malah menyukaiku. Jangan pedulikan dunia berkata apa tentang dirimu, Anat. Aku tak bisa melihat kekuranganmu kecuali hanya kelebihan yang Allah berikan untukmu. Gunakan kesempatan ini untuk membuktikan dirimu sendiri, melangkah jauh dari tempat dimana sekarang kamu berdiri. Karena aku begitu yakin kalau kamu bisa melakukannya."

Perkataan Fauziyah mengalun indah, memotivasi dan masuk ke relung pikiran. Ini mungkin salah satu alasan kenapa aku bisa jatuh hati padanya yang biasa-biasa saja. Karena aku juga pemuda biasa, akan tetapi ia tak pernah melihatku dengan cara seperti itu. Aku tak pernah menyesal mengenal Fauziyah. Tak peduli kelak kami bisa bersama atau tidak, pertemuan ini takkan pernah bisa aku sesali. Ini pemberian Tuhan yang teramat berharga dan layak kusyukuri.

Fauziyah sudah sangat memenuhi syarat sebagai pendamping hidup yang ideal bagiku. Pernah suatu waktu aku menanding telapak tanganku dengan miliknya. Kukatakan, "lihatlah, tanganku masih kalah besar dari tanganmu. Sebagai pria, aku tak cukup kuat untuk melindungimu. Mana ada tangan laki-laki yang tak lebih besar dari tangan wanitanya. Ini anomali yang harusnya kamu sadari, Ziyah. Apa kamu tak masalah dengan fisikku?" tanyaku.

Dengan yakinnya gadis ini hanya menjawab, "aku tak peduli semua itu. Tak usah risaukan keselamatanku, aku bisa menjaga diriku sendiri. Tapi satu yang aku tahu pasti, meski lebih kecil dari tanganku, tangan ini aku yakini cukup kuat untuk membawaku hingga ke surganya Allah. Tangan ini lebih dari mampu untuk melindungiku dari dahsyatnya api neraka."

Lihat selengkapnya