Manusia Daur Ulang

Raz Aka Yagit
Chapter #20

Wiswarupa

"Lihatlah, wahai Partha, banyak wujud-Ku, beratus-ratus dan beribu-ribu, beraneka jenis, beraneka warna, dan beraneka rupa."

—Bhagavad Gita Shloka 11:5—

Hari perlombaan pun tiba. Di rumah aku memberitahu Bapak kalau hari ini aku ikut lomba. Sangat penting hingga aku berkata ingin mengemis berkat dan doa darinya. Sebenarnya aku ingin mengundang Bapak untuk datang, hanya saja aku ragu apa boleh mengundang orang luar untuk berhadir di acara itu. Setahuku yang akan hadir di situ hanya para murid dan para guru sekolah yang berkompetisi, bukan para wali murid. Biar aku minta Ahmad, Fadil atau Purdael saja yang merekam acara itu dengan ponselku, agar Bapak bisa melihat betapa fungsionalnya putranya. Lomba ini harus kumenangkan, namun kalau tidak pun aku masih punya bukti untuk diperlihatkan, supaya Bapak melihat apa yang bisa dilakukan anak satu-satunya.

Selama hampir tiga tahun ini aku sudah melalui banyak proses pendaur ulangan. Ini bisa dikatakan puncak bagi pembuktian. Kan kuperlihatkan wujud wiswarupaku di sini. Selain segera akan mendapat ijazah, kapan lagi aku bisa mengukir sebuah prestasi di alam sekolah?

Di SKB teman-teman sudah menunggu. Mereka semua diwajibkan berhadir oleh Bu Minah. Kebanyakan dari mereka tampak tak peduli dengan lomba ini, kecuali pada fakta bahwa hari ini mereka tak perlu dipusingkan dengan proses belajar atau persiapan ujian. Hari ini mereka bebas lepas tanpa tekanan, menonton lomba hanya bagaikan bonus serta hiburan. Ahmad, Fadil, Novi, Renaldi, Heldi, Maulana, Rizki Maulana, Purdael, Hasanah dan banyak lagi yang tak mungkin kusebutkan, mereka semua sudah siap tempur sebagai suporter. Dan yang paling penting adalah kehadiran Nur Fauziyah. Lomba ini menjadi penting karena dirinya. Ia memberi alasan kenapa aku harus berada di lomba yang bergengsi ini. Selain para murid, para guru juga akan hadir mendampingi. Bu Minah, Pak Dzulfikar, Bu Hikmah, Bu Wulan dan Bu Maulida.

Kami semua serempak menuju tempat perlombaan yang diadakan tak jauh dari bangunan sekolah kami. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari SKB Paket C. Lomba diadakan di aula olahraga SMA Negeri 2 Banjarmasin. Lomba diikuti oleh setidaknya 12 sekolah kenamaan di kotamadya. Lawan berat kami yang perlu kami waspadai adalah tiga sekolah negeri unggulan yakni SMA 2 sebagai tuan rumah, SMA 1 dan SMA 7. Kami? Siapa yang menyangka sekolah non-formal Paket C akan ikut ambil bagian dalam kompetisi tahun ini. Sekolah kami jelas tak diperhitungkan sebagai pemenang. Kami hanya tim underdog yang menyalak saja tak bisa. Tetapi kadangkala underdog yang diremehkan pun bisa keluar sebagai juara yang mengejutkan. Sebut saja timnas Yunani di piala eropa 2004 yang terseok-seok diawal namun tampil sebagai juara di final. Jangan lupakan pula James "Buster" Douglas yang mampu menumbangkan nama besar Mike Tyson dalam perebutan juara dunia tinju kelas berat.

Aku dan Novi telah bersiap. Semoga saja kami berdua selaras dan serasi, bagai pasangan Alan Budi Kusuma dengan Susi Susanti. Jika pasutri ini bisa meraih emas di Barcelona, semoga kami berdua bisa menaklukan cerdas tangkas hingga menjadi juara. Lomba akan diadakan beberapa waktu lagi. Banyak yang berhadir, terutama para murid dan guru dari sekolah masing-masing. Kami kalah jumlah dan meriah dari segi suporter. Di tengah negeri-negeri raksasa nan adidaya, sekolah kami lebih mirip pulau kecil oceanic di lautan pasifik. Kecil tak terlihat di peta. Pak Dzulfikar dan Bu Minah menyemangati kami. Katanya kalah menang tak jadi masalah, bertandinglah dengan terhormat demi nama sekolah. Aku dengan piciknya hanya memikirkan uang hadiah. Ambisi itu semakin besar menggelegar tatkala kutatap wajah teduh Nur Fauziyah.

Lomba pertama adalah lomba menulis essai, ini perlombaan perorang. Hasil tulisan essai dikumpulkan dua hari sebelum perlombaan yang kemudian akan dinilai. Aku sudah menyerahkan essaiku ke Pak Dzulfikar. Ia terpukau dengan hasil tulisanku. Katanya ia yakin aku pasti menang. Essai yang menjadi juara akan dimuat pada harian Radar Banua.

Format lomba kedua yakni cerdas tangkas adalah cerdas cermat. Ini kompetisi adu kepintaran sekaligus dulu-duluan menjawab. Tak ada tombol yang harus dipencet, cukup acungkan tinggi-tinggi sebelah lengan. Satu soal bernilai lima poin jika yang duluan mengangkat tangan dapat menjawab, jika salah maka poin akan berkurang lima dan soal dilempar ke lawan untuk dijawab, jika benar poinnya adalah tiga, jika salah menjawab tak ada resiko pengurangan poin. Siapa yang paling banyak mengumpulkan poin ia yang menang. Ke-12 sekolah atau pasangan tim diadu satu lawan satu. Sistem yang dipakai sistem gugur. Jadi dari 12 sekolah akan menjadi 6 besar kemudian menjadi 3 besar yang merupakan babak final. Lawan pertama kami sudah sulit, yakni SMA 7. Baru diawal-awal lawan kami sudah salah satu dari Trimurti.

Kompetisi pun dimulai. Tak lupa kusodorkan ponselku ke Ahmad untuk merekam jalannya pertandingan. Riuh rendah gegap gempita tepuk tangan dan sorakan mengguncang aula. Yel-yel serta amukan dukungan tiap murid dari sekolah peserta saling bersahutan, mengguncang kuat gelanggang olahraga SMADA dengan magnitudo tinggi. Terasa sekali intensitas persaingan di sini. Oh jadi begini yang namanya perlombaan cerdas cermat itu? Pikirku. Aku dan Novi menghadap meja kayu biasa dengan taplak kain merah seadanya berbentuk segitiga. Kami menarik dan membuang napas untuk memompa pasokan kesiapan. Mental kami mulai dikuliti, lawan tanding kami berpenampilan layaknya William James Sidis campur Jusuf Habibie. Bu Minah mengepalkan tangan sebelah tanda dukungan. Para murid SKB Paket C yang menonton berteriak kencang bak kumpulan pemain kuda lumping yang kesetanan. Semoga di pertandingan pertama kami tak langsung gugur, dibantai habis tanpa ampun.

Aku jelas tak secerdas Lintang anggota laskar pelangi. Aku tak sejenius itu. Ia tokoh fiksi yang dibungkus kecerdasan akut sang penulisnya. Sementara aku makhluk nyata yang sama sekali bukan tokoh utama dalam sastra. Sekali lagi, aku masih menginjak bumi. Perlombaan ini bagiku lebih mirip ajang perjudian, lahan untung-untungan. Aula ini jalan pintas menuju Las Vegas, tempat orang-orang sepertiku mengadu nasib. Menang kaya kalah nelangsa. 

Dewan juri mediator mulai menanyakan kesiapan kedua tim. Aku dan Novi mengangguk, begitu pula kedua pemuda berambut jabrik di depan kami. SMA 7 tak main-main mencari cupang aduan, wajah kedua pesertanya saja mirip kokoh-kokoh cina di jalan veteran. Wajah manusia-manusia pintar ya seperti ini. Lihat saja olimpiade matematika sedunia, mau yang menang China, Amerika atau Singapura, cetak biru wajah pemenangnya selalu sama: oriental!

Aku memejamkan mata, menyebut dan memanggil salah satu Asmaul Husna: Al Alim. Wahai yang menciptakan ilmu-ilmu, yang menguasai segala macam ilmu, yang tak dikuasai oleh ilmu, yang berada di luar daripada ilmu, yang lebih agung dan hakiki dari ilmu. Hari ini tolong bantu aku. Setelah selesai berdoa aku siap menerjang lawan. Mana? Ayo keluarkan pertanyaannya.

"Oke, siap? Pertanyaan pertama," dehem sang mediator mulai membaca. "Silahkan angkat tangan lebih dulu untuk yang mau menjawab, poinnya lima: Pembukaan undang-undang dasar tahun 1945 tercantum dalam Piagam Jakarta yang disahkan pada tanggal...?"

Tangan musuh sudah mengacung lebih dulu. Sangat cepat hingga tak disadari olehku.

"Tanggal 22 Juni,"

"Ya benar! Lima poin untuk Smaven." Tepuk tangan keras para penonton mengiringi jawaban pertama yang disambar cepat melampaui kecepatan suara.

Sial, aku bukannya menyesal telat angkat tangan atau kalah adu kecepatan angkat lengan, aku hanya tahu jika aku angkat tangan sekalipun aku tak tahu sama sekali jawaban pertanyaan itu. Ini tak salah lagi, pembantaian mengenaskan reputasi sekolah kami akan terjadi di tempat ini.

"Berikutnya. Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B dalam perubahan UUD 1945 berisi tentang...?"

"Kewenangan pemerintah daerah?"

"Ya, benar lagi! Smaven kembali mendapat poin."

Kami sudah tertinggal 10 poin. Kami berdua mematung tak berdaya dihantam pertanyaan berbau kecerdasan. Aku mulai meragukan diriku apa aku bisa. Ingin kuteriaki Ahmad di tengah penonton untuk menyampaikan: "matikan saja ponselnya, berhenti merekam!" Aku mulai ketakutan, terbakar panik bukan kepalang. Satu hal yang sangat ingin kulakukan, berhenti dari lomba ini lalu pulang. Masa daur ulangku sepertinya tak begitu membantu. Kutatap wajah teman-temanku yang sejak awal memang meremehkan. Ekspresi mereka seakan kompak meneriakan: kami bilang juga apa. Anat mana bisa! Siapa ia hingga ditunjuk mengikuti lomba?

Wajah para guru SKB mulai pucat pasi. Mereka menyadari jika kualitas sekolah kami memang belum bisa untuk diajak berkompetisi. Masih begitu jauh di bawah standart.

Aku mencoba untuk tenang. Wajah Fauziyah yang terus tersenyum ke arahku membangkitkan semangat juang. Hei, SKB Paket C. Aku bagaikan inkarnasi dewa di tengah-tengah kalian. Jangan meremehkan ia yang kognisinya sedikit lebih tinggi dari kalian semua. Dalam sikap aku bisa merendah, namun dalam kecakapan aku akan meninggi setinggi langit. Akan segera kubuktikan. Lihatlah wujud asliku hingga mata kalian terpukau dibuatnya sampai-sampai bertanya, "Anatkah itu? Lihat wujud segala rupaku. Kilau-kilau mejikuhibiniu. Di sini, di tempat ini.

Lihat selengkapnya