Sebelum kiamat level kubra manusia harus merasakan dulu banyak kiamat taraf sugra, kiamat kecil yang meski skalanya minimalis namun mampu mematikan segala daya dan gerak peradaban umat manusia bahkan menghilangkan beratus-ratus ribu nyawa. Awal tahun 2020 di bulan kedua, beberapa hari setelah perlombaan dunia diguncang sebuah virus mematikan. Coronavirus nama bekennya. Ia melakukan genosida. Sang mikro organisme kecil itu brutal menginfeksi, mempengaruhi denyut nadi bumi, membatukan bangsa-bangsa serempak menjadi masyarakat gua. Dimulai dari salah satu daerah di China, dunia tertular pandemi untuk yang kesekian kalinya. Corona bukan yang pertama, sebelumnya sudah ada flu Spanyol, H5N1 hingga H1N1. Silih berganti menjadi wasilah bagi bumi untuk membentuk antibodi, menyelamatkannya dari kerusakan jaringan parah akibat overpopulasi dan eksploitasi, menyingkirkan sel-sel penyakit yang kian lama kian menggerogoti dunia: manusia beserta tetek bengek globalisasinya.
Jalan-jalan tampak mati, sepi sunyi, berhantu bahkan di siang bolong. Mereka semua takut mati, berselimut ketakutan, kompak menyepi dalam rumah dan kediaman. Pasar tak lagi ramai, tempat usaha dan kantor ditutup total, rumah ibadah dilarang untuk dikunjungi, tempat yang konon setan dan iblis pun tak berani memasuki—tak berlaku bagi Coronavirus yang sakti. Covid memakan habis kami selama dua setengah tahun lamanya. Memaksa manusia merubah gaya hidup dan pola tingkah mereka. Jaga jarak! Jargon ini bak titah raja yang wajib dituruti dan ditaati. Aku dan Fauziyah memang menjaga jarak kami hingga saking jauhnya kami tak pernah berjumpa dan bertemu lagi.
Fauziyah sempat menguatkanku yang pupus harapan akibat membuka kotak Pandora itu. Gagal dalam perlombaan kala itu mematikan segala mimpi yang sama-sama kami upayakan. Aku sebenarnya juga memenangkan perlombaan menulis essai, tetapi meski karya tulisku dimuat, kemenangan serta kelayakanku yang kadung dipertanyakan membuat dewan panitia berpikir mereka harus konsisten di semua sub lomba. Jika aku gagal pada cerdas cermat maka aku juga dinyatakan gagal di lomba essai. Pak Dzulfikar Ali dengan berat hati memberitahukanku kabar menyakitkan ini. Bu Minah turut menabahkan hatiku, ia menyampaikan jika aku telah mengukir sejarah, membuat terobosan. Aku ia nyatakan sebagai murid terbaik sepanjang sejarah SKB Paket C berdiri.
Dunia memang belum berakhir, hanya impianku yang runtuh menjadi puing-puing. Kutahu pasti sudah tak ada lagi jalan bagiku dan Fauziyah untuk bisa bersama setelah kami lulus nanti. Sejak awal dulu sudah kuminta Fauziyah untuk realistis, jika setelah lulus kami sebaiknya berpisah saja. Apalah artinya kiamat yang menghentikan rotasi dunia saat ini, kiamat hatiku jelas-jelas sedang terjadi. Semenjak lomba cerdas cermat itu berakhir aku tak lagi menemukan tujuan yang lebih besar. Mendapatkan ijazah SMA lalu melamar kerja kemudian kuliah untuk mengejar gelar sarjana? Itu terlalu jauh untuk dipikirkan. Fauziyah dan aku tak bisa menunggu selama itu. Maka dengan berat hati kami berdua memutuskan berpisah sebelum kelulusan. Aku yang memutuskan lebih dulu rantai kasih itu, bukan Fauziyah. Gadis ini awalnya menolak diikuti deraian airmata, pastinya hal ini berat baginya, namun Fauziyah sendiri tak punya pilihan lain selain menuruti. Aku sendiri tidak menginginkan skenario semacam ini. Tak ada lagi yang tersisa bagi kami berdua. Aku tidak menghendaki Fauziyah terus bersamaku yang belum pasti nasib dan masa depannya. Ia layak mendapatkan kepastian dan kesempatan, sesuatu yang belum bisa kuberikan. Kuharap setelah lulus dari SKB Paket C kami berdua bisa menemukan jalan terbaik kami masing-masing. Keep moving forward. Kuminta padanya untuk tegar, busungkan dada, tetap maju, jangan pernah menoleh ke belakang. Aku dan ia baik-baik saja. Tuhan akan selalu bersama kami, menyertai langkah-langkah kami selanjutnya.
Beberapa hari sebelum pengumuman kelulusan Nur Fauziyah menghubungiku untuk yang terakhir kali, ia membawakan kabar mengejutkan. Katanya ia akan menikah segera, dijodohkan oleh ibu dan kakak lelakinya. Dengan berat hati kusertakan doa tulus untuk Fauziyah. Pepatah yang pernah kukutuk dulu ternyata benar sekali, sakit hati memang lumayan menyiksa melebihi sakit gigi. Tetapi aku masih bisa tahan rasa sakit ini. Sakit semacam ini hanya melengkapi puluhan sakit dalam hidup yang sudah pernah kukoleksi. Ini namanya seni hidup. Adakalanya senang dirasa, adakalanya susah menerima. Tak ada yang baru di bawah langit yang biru.
Jujur aku tak pernah mau mengkonfirmasi apa sungguh kabar Fauziyah sudah dipinang dan akan menikah itu benar adanya. Aku sengaja tidak menanyakannya ke Hasanah yang pasti mengetahui jawabannya sebab mereka keluarga. Sengaja kubiarkan asumsi bergulir, mengambang dalam pikiranku. Bisa jadi Fauziyah benar sudah dinikahkan atau bisa jadi pula itu hanya akal-akalannya saja agar aku tak begitu memikirkan, kuat untuk terus merelakan. Yang manapun itu tak ada bedanya, aku hanya tahu jika aku memang tak bisa bersama dengan gadis yang kusuka.
Covid-19 memaksa kami melakukan ujian nasional secara daring. Perpisahanku dengan teman-temanku begitu anti klimaks, senyap, dan begitu hambar sehambar kondisi dunia dalam dua setengah tahun berikutnya. Tak ada tangisan haru perpisahan, tak ada coret-coretan baju, tak ada basa-basi. Terakhir kali aku berjumpa dengan teman-teman Paket C-ku adalah di awal bulan maret. Setelahnya kami semua dinyatakan lulus ujian, mendapatkan ijazah, lalu tak pernah kembali lagi ke sekolah.
Masa daur ulangku resmi berakhir.
Sudah kulalui tiap proses daur ulangnya, dimulai dari Rethink: ketika aku memikirkan kembali sebuah langkah berani untuk mendaftar sekolah lagi. Refuse: di saat aku menolak keadaan stagnan serta bayangan kebodohan. Reduce: bagaimana aku membuang rasa malas dan gaya hidup yang tak produktif. Reuse: kugunakan kembali semua pengetahuan yang kumiliki selama di akademi. Repair: kuperbaiki keadaan sedikit demi sedikit. Recycle: hingga lahirlah versi diriku yang jauh lebih baru dan berijazah SMA. Masa-masa ini tak berlalu dengan sia-sia. Meski ada yang hilang dariku namun ada pula yang kudapatkan selain daripada ijazah dan pengalaman. Sekali lagi, waktu ini tak pernah berjalan sia-sia.