Manusia Daur Ulang

Raz Aka Yagit
Chapter #21

Corona

Sebelum kiamat level kubra manusia harus merasakan banyak kiamat taraf sugra, kiamat kecil yang meski skalanya minimalis namun mampu mematikan segala daya dan gerak peradaban umat manusia bahkan menghilangkan beratus-ratus ribu nyawa. Awal tahun 2020, dibulan kedua, beberapa hari setelah perlombaan, dunia diguncang sebuah virus mematikan. Coronavirus nama bekennya. Ia melakukan genosida. Sang mikro organisme kecil itu brutal menginfeksi, mempengaruhi denyut nadi, membatukan bangsa-bangsa serempak menjadi masyarakat gua. Dimulai dari salah satu daerah di China, Bumi tertular pandemi untuk yang kesekian kali. Corona bukan yang pertama, sebelumnya sudah ada flu Spanyol, H5N1 hingga H1N1. Silih berganti menjadi wasilah bagi bumi untuk membentuk antibodi, menyelamatkannya dari kerusakan jaringan parah akibat overpopulasi dan eksploitasi, menyingkirkan sel-sel penyakit yang kian lama kian menggerogoti dunia: manusia beserta tetek bengek globalisasinya.

Jalan-jalan tampak mati, sepi, berhantu bahkan di siang bolong. Mereka semua takut mati, berselimut ketakutan, menyepi dalam rumah dan kediaman. Pasar tak lagi ramai, tempat usaha dan kantor ditutup total, rumah ibadah dilarang untuk dikunjungi, tempat yang konon setan dan iblis saja tak berani memasuki—tak berlaku bagi Coronavirus yang sakti. Covid memakan habis kami selama dua setengah tahun berikutnya. Memaksa manusia merubah gaya hidup dan pola tingkahnya. Jaga jarak! Jargon ini bak titah raja yang wajib dituruti. Aku dan Fauziyah memang menjaga jarak kami hingga saking jauhnya kami tak pernah berjumpa dan bertemu lagi.

Fauziyah menguatkanku yang pupus harapan akibat membuka kotak Pandora itu. Gagal dalam perlombaan kala itu mematikan segala mimpi yang sama-sama kami upayakan. Aku sebenarnya juga memenangkan perlombaan menulis essai, tetapi meski karya tulisku dimuat, kemenangan serta kelayakanku yang kadung dipertanyakan membuat dewan panitia berpikir mereka harus konsisten. Jika aku gagal pada cerdas cermat, maka aku juga dinyatakan gagal dilomba essai. Pak Dzulfikar dengan berat hati memberitahukanku kabar menyakitkan ini. Bu Minah menabahkan hatiku, ia menyampaikan jika aku telah mengukir sejarah, membuat terobosan. Aku ia nyatakan sebagai murid terbaik sepanjang sejarah SKB Paket C berdiri.

Dunia memang belum berakhir, tetapi kutahu pasti sudah tak ada lagi jalan bagiku dan Fauziyah untuk bisa bersama setelah kami lulus nanti. Sejak awal dulu sudah kuminta padanya untuk realistis, jika setelah lulus kami sebaiknya berpisah. Apalah artinya kiamat yang menghentikan rotasi dunia saat ini, kiamat hatiku jelas-jelas sedang terjadi. Semenjak lomba cerdas cermat itu berakhir, aku tak lagi menemukan tujuan yang lebih besar. Mendapatkan ijazah SMA lalu melamar kerja kemudian kuliah mengejar gelar sarjana? Itu terlalu jauh untuk dipikirkan. Fauziyah dan aku tak bisa menunggu selama itu. Maka dengan berat hati kami memutuskan berpisah sebelum kelulusan. Aku yang memutuskan lebih dulu rantai kasih itu, bukan Fauziyah. Gadis ini pastinya menolak dilengkapi deraian airmata, tapi ia sendiri tak ada pilihan lain selain menuruti. Tak ada yang tersisa bagi kami berdua. Aku tak menghendaki Fauziyah terus bersamaku yang belum pasti nasib dan masa depannya. Kuharap setelah lulus dari Paket C, kami berdua bisa menemukan jalan terbaik kami masing-masing. Keep moving forward. Kuminta padanya untuk tegar, busungkan dada, jangan menoleh ke belakang. Aku dan ia baik-baik saja. Tuhan akan selalu bersama kami, menyertai langkah-langkah kami selanjutnya.

Beberapa hari sebelum pengumuman kelulusan Nur Fauziyah menghubungiku untuk yang terakhir kali. Ia membawakan kabar mengejutkan. Katanya ia akan menikah segera, dijodohkan oleh ibu dan kakak lelakinya. Dengan berat hati kusertakan doa tulus untuk Fauziyah. Pepatah yang pernah kukutuk dulu ternyata benar sekali, sakit hati memang lumayan menyiksa daripada sakit gigi. Tetapi aku masih bisa tahan rasa sakit ini. Sakit semacam ini hanya melengkapi puluhan sakit dalam hidup yang sudah pernah kukoleksi. Ini namanya seni hidup. Adakalanya senang dirasa, adakalanya susah menerima. Tak ada yang baru di bawah langit yang biru.

Jujur aku tak pernah mau mengkonfirmasi apa sungguh kabar Fauziyah dipinang dan akan menikah itu. Aku sengaja tak menanyakannya ke Hasanah yang pasti tahu jawabannya. Sengaja kubiarkan asumsi bergulir, mengambang dalam pikiranku. Bisa jadi Fauziyah benar sudah dinikahkan atau bisa jadi pula itu hanya akal-akalannya agar aku tak begitu memikirkan, kuat untuk terus merelakan. Yang manapun itu, aku hanya tahu jika aku memang tak bisa bersama dengan Fauziyah.

Lihat selengkapnya