Hari kelulusan dan hari perlombaan main kejar-kejaran di pikiran. Aku harus membagi fokusku pada persiapan ujian nasional dan persiapan lomba cerdas tangkas. Aku masih ragu apakah kami bisa menang atau tidak. Aku tak pernah ikut perlombaan sekolah apapun sebelumnya. Nothing to lose saja lah apapun hasilnya. Namun yang aku yakin aku dapat menang adalah pada sub lomba lain yakni submisi essai. Kurasa kans diriku bisa menang sangat besar. Sub lomba ini hanya menuntut adu gagasan dalam keheningan lembar-lembar putih kertas halaman. Siapa yang menarik, atraktif, informatif, dan brilian, dia yang pasti akan menang. Di sini kami tidak cepat-cepatan menjawab, tidak adu pintar sembari diburu waktu, tak ada mata-mata penonton yang mengintimidasi, hanya rangkaian kata penarik hati para juri dan pembaca.
Jika tak menang pada lomba cerdas tangkas, setidaknya aku harus optimis bisa menang pada sub lomba ini. Uang hadiahnya pun untukku sendiri, tak perlu dibagi dengan Novi.
15 juta, aku datang!
Akan tetapi optimisme kemenanganku terganjal macetnya keran ide. Aku belum tahu apa yang ingin kutulis. Tulisan seperti apa yang akan menarik hati para juri? Seharian di rumah aku hanya memikirkan tentang itu, akal begitu buntu. Aku harus lebih menonjol dari kompetitor lain. Aku harus tampil beda, gagasanku pasti tak sama dengan punya mereka, itu yang membuatku lebih percaya diri. Memangnya essai menarik seperti apa yang bisa dilahirkan dari buah pikiran seorang anak SMA? Paling-paling tentang lingkungan, dunia pendidikan, dan mentok-mentok tentang harapan masa depan atau mungkin politik—jika sang penulis berani mengambil tema ini.
Subuh ketemu Zuhur, Ashar ketemu Maghrib, tak kunjung kutemukan ide brilian itu. Barangkali ia sembunyi, betah sekali bertumpuk dalam kumpulan gagasan di ruang berkas gudang pikiran. Sembari mencari ide ingin menulis apa, aku tiba-tiba teringat nasib nahas Rifani si pembully. Sayang sekali dia harus menyudahi pendidikannya. Bagaimana nasibnya nanti? Kemudian sepintas kuberpikir, apa penyakitnya itu karena aku? Ah, mana mungkin. Tapi ... Jangan-jangan tak sengaja secara spontan aku pernah mengutuknya!? Bisa saja namun aku lupa. Pasalnya Bu Minah kan pernah bilang kalau aku memiliki Idu Geni, kemampuan ludah api. Bisa jadi sumpah serapahku yang tak ingat pernah kulemparkan padanya adalah alasannya.
Tapi ... Selain Idu Geni dalam weton jawa, penyakit Ain juga bisa menjadi penyebabnya bukan? Rasanya aku sendiri tak pernah ingat pernah mengutuk seseorang melalui lisan terutama Rifani meski seberapa jahatnya pun orang ini. Kalau dari tatapan mata ketidaksukaan yang berubah menjadi energi buruk, itu mungkin saja. Tapi bukan hanya aku di kelas itu yang tak suka dengan Rifani. Ahmad dan Renaldi jelas-jelas mengatakan membenci sosoknya. Maulana bahkan pernah dihajar sampai dua kali. Jadi jika mata jahat, evil eyes, Ain—atau apapun sebutannya itu adalah penyebab dari apa yang dialami Rifani, sepertinya itu adalah Ain gabungan dari kami-kami yang menjadi korban yang sama sekali tak menyukai perangai Rifani di kelas.
Penyakit Ain disebut sebagai Ain Hara oleh kaum Yahudi, disebut Nazar di Asia Selatan seperti di India, Pakistan, Bangladesh. Mal Yeaux di Perancis, El Mal de Ojo di Meksiko. Keyakinan ini cukup tersebar di belahan bumi dengan kebudayaan yang berbeda.
Kitab Moreh Nevukim bagian 3 bab 8 menjabarkan bahwa Ain Hara atau evil eyes itu tergantung orangnya. Ketika seseorang percaya, maka bakal kena. Sebaliknya, kalau seseorang memilih tak mempercayainya, ya tidak akan kena. Semua hanya tentang sugesti. Sebagaimana Mishnah Torah bagian Hilhot De'ot bab 5 menjelaskan bahwa evil eyes hanyalah pengkondisian masyarakat. Mereka yang kritis akan kebal terhadap evil eyes dan takkan terpengaruh. Pada bab dua kitab tersebut Rav Maimonides bahkan menyarankan pentingnya menjaga kesehatan mental. Secara umum pandangan logis ini dimiliki kaum Yahudi yang bermazhab Sephardi.
Dulu sekali aku pernah menanyakan tentang santet, parangmaya, voodo dan sejenisnya kepada Bapak, yang kata Bapak takkan berfungsi bagi orang yang tidak mempercayainya. Bapak juga mengatakan apapun yang diyakini oleh suatu komunitas secara kolektif dan sugestif, maka itulah yang akan terjadi bagi mereka, produk kuat pikiran. Aku berpikir daripada Sufi, tampaknya Bapak lebih cocok menjadi Yahudi bermazhab Sephardi. Bercanda. Hanya bercanda!
Pada intinya cara terampuh melawan Ain adalah memang dengan mengabaikannya.
Mata adalah jendela pikiran, sebagaimana ucapan Yesus Kristus dalam Matius pasal 6 ayat 22. Mata adalah pusat tubuh yang mampu mempengaruhi alam materi. Metode Ajna Chakra misalnya yang coba dibuka oleh orang-orang Hindu di India melalui titik bindi yang selalu terpasang di kening mereka. Bahaya kesadaran manusia ini memang nyata. Sekresi pikiran manusia itu bekerja dengan cara ajaib semisal placebo effect. Akal mampu mempengaruhi materi di sekitarnya. Jadi ini soal pikiran positif yang mengalahkan pikiran negatif. Kembali ke ucapan Nikolai Tesla jika rahasia semesta ada pada Energi, Frekuensi dan Vibrasi.
Selain Idu Geni dan Ain, aku memikirkan kemungkinan atau penyebab lain. Bapak pernah mengajarkan pesan rahasia Qur'ani terkait Pribadi Sakinah. Kata Bapak, pribadi sakinah adalah vessel bagi Sakinah Tuhan. Siapapun yang berani macam-macam dengan pribadi sakinah alamat celaka. Dalam kepercayaan kuna yahudi, Aron Ha-Brit atau tabut perjanjian dipercaya mengandung Shekinah Tuhan. Shekinah bermakna presence of god, berasal dari kata shekin yakni tinggal atau dwelling. Mengejutkan memang tatkala bentuk tabut atau Ark of Covenant bangsa Israel yang dipercaya menyimpan sakinah ini, seolah merupakan modeling miniatur dari apa yang tertulis di surah Al Fath ayat 4, At Taubah ayat 26 dan 40. Sosok dengan penjagaan atau pengawasan junuud—bala tentara malaikat yang tak terlihat. Itulah pribadi sakinah!