Manusia Laron

Oleh: Dewanto Amin Sadono

Blurb

Mengira sosok hantu gosong segera keluar dari dalam kuburan terus menyergap lantas menggigit lehernya, bocah pencari rumput itu tunggang langgang. Sabit terlempar dari tangan; keranjang terguling kena tendang, lato-lato kesayangan warna merah jingga jatuh ke rerumputan berupa hijau muda.

"Surti pulang! Surti sudah pulang!"

Si bocah berlari tanpa henti dan tiada menoleh dan terus histeris. Mukanya pucat pasi layaknya warna kertas usai terjerembab ke air comberan. Jantungnya berdetak secepat laju kereta api, bahkan lebih kilat lagi. Keberaniannya baru saja tumpas hingga tinggal ampas. Jalan beton yang peresmiannya dilakukan oleh seorang pejabat partai berlambang binatang buas itu ditapakinya seakan-akan ia sedang terbang. Tujuannya hanya satu: menjauh dari kuburan angker itu secepatnya demi menyelamatkan bokong semok dan gigi ompongnya.

Lima belas menit kemudian si bocah terkapar di halaman rumah seorang warga di ujung desa. Mulutnya megap-megap seolah-olah sedang dicekik lehernya, keringat membanjiri seluruh tubuhnya, air kencing membasahi celana kolornya.

Buru-buru si pemilik rumah berwajah sedih dan letih memberi si bocah segelas air putih dan menyuruhnya tenang. Tak lama kemudian dari dalam mulut si bocah berhamburan berbagai macam racauan seperti orang gila. Ocehannya tidak keruan, diksi maupun strukturnya. Meskipun demikian, orang-orang yang sedang berkerumun di rumah reyot itu memahami maksud si bocah: Surti pulang setelah 25 tahun hilang, sejak Mei 1998.

Lihat selengkapnya