9 Januari 2007
Namaku Navia, seorang perempuan yang baru saja genap berusia enam tahun. Tadi malam, aku mengadakan pesta ulang tahun dengan kedua malaikatku di bumi. Sederhana saja. Tiga ubi rebus—satu-satunya emas berharga di rumah, kubagi sama rata untuk kami bertiga.
Menjelang malam, Ayah menjadi pimpinan utama untuk merajut cerita dan doa di antara kami. Acara itu kemudian ditutup dengan aku yang memilih tertidur pulas di pelukan Ayahku, tuk menuju alam mimpi. Indah sekali. Aku bahkan sempat berharap agar malam-malam seperti ini bisa terus aku nikmati.
Tapi, entah kenapa pagi ini aku berada di bawah kolong jembatan. Sepi. Sunyi. Senyap. Rapuh jiwa seakan kembali mengancam. Padanan kata berbalut doa yang tadi malam aku guncangkan ke langit, seakan padam dengan sendirinya. Karena nyatanya, aku tak mampu menjamah keberadaan keduanya.
"Nak, saya yakin kamu tersesat. Mari, saya antar ke kantor polisi. Nanti, kamu kasih tahu aja alamat rumahmu ke petugasnya. Biar mereka yang mengantarmu kembali ke rumah. Bapak yakin, mereka bakalan memperlakukan kamu dengan baik. Gimana? Kamu mau, kan?"
Lelaki berpeci hitam yang sedari tadi duduk di sampingku mulai gelisah. Aku tahu jika dia merasa iba padaku.
Meski demikian, kalimatnya membuat aku yang sepanjang fajar tadi ketakutan, seakan menemukan harapan. Tanpa ragu-ragu, aku berdiri dan menggenggam tangannya. Kami berdua berjalan menyusuri jalanan nan lengang.
Semula, aku pikir, aku bisa berdamai dengan tenang. Namun, gemuruh di kepalaku seakan mengekang. Ayah! Ibu! Ayah! Ibu! Begitulah cara nakhoda dalam diriku menuai rindu sekaligus ketakutan. Yang jelas, aku tidak ingin ditinggalkan oleh mereka. Maka dari itu, aku meneriaki mereka dalam diam.
Lama waktu berjalan, ketakutanku semakin menjadi-jadi ketika kami berdua berada di dalam kantor polisi.
Satu polisi di hadapanku menghembuskan nafas kasar. Gelagatnya hampir membuatku angkat kaki dari ruangan ini. Pasalnya, polisi itu terlalu lancang tuk mempertanyakan kedua orang tuaku.
"Apa kau yakin, kau tidak punya masalah dengan kedua orang tuamu, Nak? Bapak yakin, kamu pasti berbohong."
Satu pertanyaan berhasil dilontarkan oleh petugas itu. Pertanyaan yang dia lontarkan memang bukan menjadi yang pertama kalinya aku dengar. Ini adalah pertanyaan yang sama dan sudah dia lontarkan sebanyak tujuh kali.
Tapi, kenapa pertanyaannya seolah memiliki ambisi untuk membuatku berpikir negatif, terhadap kedua orang tuaku sendiri?
"Aku nggak punya masalah dengan kedua orang tuaku, Pak. Ayah dan Ibu cinta sama aku, mereka selalu ngasih aku makanan dan minuman. Mereka juga berusaha nyekolahin aku. Meski sekarang, aku harus putus sekolah dan jadi pemulung sampah," jawabku dengan ketus.
Sungguh, alih-alih memperhatikannya. Aku lebih memilih untuk membuang muka dan menghindari interaksi dengannya.
Meski demikian, aku masih menggenggam sepintas harapan agar obrolan ini segera berhenti. Sialnya, dia malah sengaja menciptakan percikan api di antara kami.
"Baiklah. Mereka memang memberikan kamu makan dan minum. Tapi, apa kau yakin, jika kedua orang tuamu tulus menyayangimu? Apa kau tidak merasa, jika kau adalah beban untuk mereka?" tanyanya dengan wajah tak berdosa.
Deg!
Tubuhku seketika lumpuh. Meski begitu, aku tetap memaksa lidahku yang kelu ini untuk angkat bicara.
"Maksudnya?" aku menaikkan alis, tak yakin apakah aku sanggup menghadapinya atau tidak.
"Nak, coba kamu pikirkan saja. Semalam, kamu melakukan pesta perayaan ulang tahun di rumahmu. Dan paginya, kamu tiba-tiba berada di bawah kolong jembatan. Bagaimana bisa kamu tidak mengira bahwa mereka jelas-jelas tidak menginginkan kehadiranmu?"
Sadis! Kata-kata yang dia katakan tentu membuatku sakit hati. Tapi, sampai detik itu, aku yakin jika kedua orang tuaku pasti menyayangiku.
Mirisnya, lelaki dewasa ini sama sekali tak mau mengerti. Ia terus saja menghujamiku dengan perkataannya.