Laboratorium kemanusiaan.
Pengabdian tanpa akhiran. Melebur bersama masyarakat sehabis pendidikan. Ilmu tak dianggurkan bukan pula disombongkan. Kesempatan belajar dibagikan, itu merupakan bentuk kebersyukuran. Sangat manusiawi, bukan?
Tiap lini terbentuk supaya tak terbatuk-batuk ketika menjawab soal yang banyak sampai muluk. Strategi disusun untuk meminimalkan mengamuk. Yuk, mengabdi bersama kami karena persoalan yang terjawab benar akan berlipat kebahagiaan saat dibagi!
Seperti realitas manusia mencari makan. Serabutan, ada pula yang sembarangan, dan dicukup-cukupkan. Walaupun ada ahli gizi yang banyak ikut pelatihan. Para dokter berpengetahuan juga berlimpahan. Rumah makan didirikan bukan untuk menyelamatkan perut keroncongan tapi target penjualan. Dari lingkup terkecil di kelurahan, tak terdeteksi manusia kelaparan, kan? Keluhan seakan ocehan yang sia-sia dan melelahkan. Sabar, jika benar demikian, kami punya program yang diunggulkan.
Ketika waktu menggerutu, kepala menjadi batu. Penerimaan nasihat begitu berat. Kata didengar untuk temu jalan keluar bukan malah menjadi liar. Itu menyadarkan bahwa kamu sedang keresahan. Kadang panca indera itu egois, meminta kualitas sekelas borjuis. Bila akhirnya mau yang manis, plis tahan diri sedikit agar tak berakhir ironis.. Semua hal perlu presisi saat diatur agar tak saling bentur, jadi ayolah jujur!
Dibutuhkan nyali untuk jadi ahli pada profesi. Bukan kepopuleran profesi yang dicari tapi sebesar apa manfaat yang dirasa kini. Beberapa contohnya, pedagang sayur profesional, tengkulaknya karuan adil, petani sejahtera, sehat, dan selalu membela rakyat kecil. Ada lagi, juru parkir menciptakan alat anti maling, yang parkir merasa kudu berbuat inspiring, lalu manusia lain tergerak untuk berkontribusi penting. Masih ada, asisten rumah tangga memanajemen waktu dan kualitas mutu, yang punya rumah terkagum melihat ada standarisasi itu, kemudian penghuninya menghargai dan sadar bahwa semua adalah manusia nomor satu.