Matanya biru, metafora dari samudera. Kerutan di wajahnya adalah bukti bahwa waktu tak pernah diam, ia terus bergerak, mengendap-endap tanpa suara dalam bayangan hingga tanpa sadar kita sudah sampai di akhir sebuah cerita kehidupan.
Seratus delapan belas tahun usianya kini, sebuah pencapaian mengagumkan untuk ukuran manusia biasa. Dia adalah Kanaya, wanita tangguh yang terus bertahan disaat bumi sudah diambang kehancuran. Tahun 2122, Perubahan iklim yang drastis merubah sebagian besar bumi menjadi padang gurun pasir tandus, para manusia saling bunuh untuk memperebutkan wilayah yang dapat mereka tumbuhi makanan. Mereka berperang demi kehidupan kelompoknya masing-masing sampai akhirnya perang nuklir pun terjadi. Para manusia yang sudah tak memiliki tempat karena kebodohannya melakukan migrasi besar-besaran ke planet Mars, di langit pun terlihat puluhan roket yang berlomba-lomba terbang meninggalkan bumi, menuju tempat yang mereka sebut sebagai ‘rumah baru’.
Sementara Kanaya memutuskan untuk tinggal di Bumi, mungkin ia adalah manusia terakhir di planet ini. Selama hidupnya Kanaya tak pernah berurusan dengan dunia luar yang kacau-balau, ia hidup dengan damai dan sederhana di sebuah tempat tersembunyi bersama puluhan ‘Alien’ yang ia anggap sebagai anaknya sendiri. Sosok para Alien itu mirip manusia, hanya saja mata mereka berwarna hitam penuh tanpa adanya bagian putih di sekitar pupil. Para Alien itu memanggil Kanaya dengan sebutan ‘Ibu’, karena selama ini Kanaya telah menjaga dan mendidik mereka dengan penuh cinta.
“Mereka pergi meninggalkan kita...” ucap salah satu Alien.
“Biarkan mereka pergi. Mereka tak tahu masih ada tempat seperti ini di bumi,” jawab Kanaya.
“Jika mereka tahu, apakah para manusia akan membatalkan migrasi ke Mars?” lanjut Alien itu.
Kanaya terdiam sesaat, “Aku tidak yakin. Tempat ini terlalu kecil untuk seluruh manusia di Bumi.”
“Apa kita akan baik-baik saja Bu? tinggal di planet yang hampir mati ini?”