Gadis dengan mahkota bunga menarik nafas setiap kali ia akan memutarkan tubuhnya, dengan sepasang kaki yang bergerak lincah kesana-kemari dan jemari yang menjepit setangkai mawar hutan, sang gadis pun menari-nari mengikuti irama angin dan cuitan burung liar di pepohonan.
Ia menari semakin cepat dan cepat, pikirannya hanya ada pada masa kini, pada gerakannya, pada nafasnya, pada detak jantungnya, pada tangannya yang membelah udara, pada kakinya yang menghentakan tanah digin berlumut, pada cahaya matahari yang meleleh di permukaan kulit halusnya, juga pada semilir angin yang menghidupkan rumput dan bunga di sekitarnya, hingga mereka ikut menari dan menebarkan aroma khas alam yang sangat gadis itu cinta, semua sensasi yang ia rasakan dengan panca inderanya membuat sang gadis memahami jika bentuk sesungguhnya alam semesta yang tak terbatas ini adalah hubungan antara manusia dengan alam itu sendiri.
Sang gadis berhenti menari, ketika ia mendapati seekor kelinci dengan kaki yang terluka melintas di hadapannya. Mata sang gadis jadi berair ketika melihat kelinci itu dengan susah payah meloncat-loncat menuju lubang tempat persembunyiannya. Sang gadis pun perlahan mendekati si kelinci dengan niat membantunya, namun kelinci itu malah ketakutan. Tubuhnya gemetaran, dia diam saja di sana, mungkin pasrah dengan sosok manusia betina yang ia pikir akan memakannya. Sang gadis berusaha memperlihatkan senyuman khasnya untuk memperlihatkan jika ia tak berbahaya, lalu perlahan disodorkannya setangkai mawar hutan pada si kelinci, diendus-endusnya mawar itu sebelum si kelinci dengan malu-malu memakan kelopaknya, sang gadis pun gembira dibuatnya.
Sambil mengunyah mawar hutan dengan dua tangan kecil yang menahan tangkainya, si kelinci digendong sang gadis layaknya bayi manusia, diantarnya kelinci itu menuju lubang di bawah bukit kecil, si kelinci segera melompat ketika tahu ia sudah sampai rumah, sang gadis berusaha mengintip ke dalam lubang dan mendapati ada tiga kelinci kecil di dalam rumah tersebut. Mungkin kelinci yang baru ia selamatkan adalah sang ibu. Melihat ibu kelinci yang kembali pada anak-anaknya dengan selamat membuat sang gadis jadi teringat pada sosok mendiang ibunya, yang tak akan mungkin kembali lagi kepadanya meski ia sudah menyelamatkannya berkali-kali dalam banyak mimpi.
“Naya!” teriak seorang pemuda, sang gadis dengan mahkota bunga menoleh ketika seseorang memanggil namanya.
“Langit?” ucap Kanaya pada pemuda berwajah oval yang berjalan mendekatinya. Langit membawa seikat kayu bakar yang ia gendong di punggungnya. Tangannya mengengam kapak yang baru saja ia gunakan untuk menebang pepohonan di hutan. Ia tampak kelelahan.
“Kau di sini rupanya...” Langit berusaha mengumpulkan nafas, sementara Kanaya perlahan menggeser kaki kanannya ke belakang dan menurunkan badan seraya menghubungkan kedua jari lentiknya seperti sebuah rantai di depan dadanya, ia sedang melakukan salam khas desa Sawarga.
“Salam harmoni dan kedamaian...” ucap Kanaya dengan anggun, Langit membalas, namun untuk pria salam dilakukan dengan membungkukan badan empat puluh lima derajat.
“Salam harmoni dan kedamaian...”
Kanaya tersenyum, “Kau mencariku? Ada apa?”
“...Sebelum itu, apa kau lihat kelinci yang terluka di sekitar sini?” tanya Langit. Sepertinya kelinci yang ia maksud adalah kelinci yang baru saja Kanaya selamatkan. Kanaya pun menunjuk lubang persembunyian si kelinci.
“Dia ada di dalam sana... tunggu, apa kau yang sudah membuat kelinci itu terluka?” Kanaya menatap Langit dengan tajam, bersiap untuk memarahinya.
“Bukan, Anjing hutan yang sudah melukai kelinci itu, tadi aku berusaha menyelamatkannya...”
“Oh...” lalu Kanaya melihat sebuah luka gigitan yang terbuka di betis Langit, “Langit! Kakimu terluka?!”
“Ya, barusan anjing hutan--”
Kanaya segera mencari sesuatu dari tas kecilnya yang terbuat dari anyaman rotan.
“Itu harus segera dibersihkan, jika tidak kau bisa terinfeksi! Duduk di sana!”
Langit menurut, ia duduk sambil bersandar ke sebuah batang pohon. Kanaya memeriksa luka Langit, ia melirik wajah Kanaya yang serius mengamati lukanya sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain. Jantungnya berdebar, ia tak sanggup memandang wajah cantik bermata biru itu terlalu lama.
Kanaya mencuci luka Langit dengan air putih yang ia bawa di botol minumannya, lalu menempelkan dedaunan obat dengan hati-hati, rasanya cukup perih, namun Langit menahan agar tidak meringis karena tak ingin terlihat lemah di depan Kanaya.
“Daun apa itu?” tanya Langit.
“Sirih. Ini efektif sebagai antibiotik,” ucap Kanaya sambil membalut kaki Langit menggunakan perban.
“Sebaiknya jangan kau gunakan perban itu padaku. Ayahmu sudah susah payah mendapatkannya dari dunia luar. Simpan untuk penduduk yang lebih membutuhkan.”
“Ayah bisa mencarinya lagi nanti. Selain itu dia sudah berjanji untuk mengajaku di pencarian selanjutnya, aku akan membawa banyak perban!”
“Kamu yakin? Dunia luar hutan adalah tempat yang berbahaya. Radiasi nuklir dapat membunuhmu pelan-pelan. Ayahmu sudah terbiasa, tapi kamu--”
“Tidak selama aku memakai baju pelindung,” Kanaya tiba-tiba mengencangkan ikatan perban di kaki Langit yang secara reflek membuatnya meringis, “Kenapa? Apa ikatannya terlalu kencang?”
“Bukan, bukan apa-apa.”
“Aku minta maaf jika membuatmu sakit--”
“Tidak, tidak-- aku kuat, tadi itu hanya... kaget.”
“Hm, kalau begitu cobalah berdiri.”
Langit berusaha berdiri, ia berjalan kesana-kemari, tak ada masalah.
“Kamu seharusnya jadi dokter di Sawarga,” ucap Langit.