Manusia Teras

Wulan Kashi
Chapter #3

SIDOARJO, 1968

"Jendraa, wes mari Le?" (Jendra, udah selesai Nak?)

"Sampun Bu Dhe," jawab Rajendra cepat. Tapi, pandangan matanya, tidak setegas suaranya. (sampun=sudah) Tak mengapa, Bu Dhe Har, tetangga sebelah rumah tersayangnya itu, sedang tidak melihatnya. Pandangan Rajendra sekali lagi, mengitari kamar yang ia tempati selama ini. 

Usianya sekarang 10 tahun. Berarti, sekitar itu pulalah dia menempati kamar dan rumah ini. Selama bertahun-tahun, kamar ini menyimpan banyak kisah yang sekarang, ingin ia kenang baik-baik. 

Gambarannya saat masih kelas satu SD, masih bertengger di lemari usang di depannya. Gambar itu, standar saja sebenarnya. Gunung, sawah, gubuk kecil. Hanya di dekat gubuk itu, ada gambar orang tuanya, yang sedang menggandeng dirinya. Paling tidak, itu yang berusaha Rajendra gambarkan. Keluarga kecil, yang bahagia. Meski sayang, kebersamaannya dengan orang tuanya, baru saja usai. 

Mereka sudah 'berangkat' lebih dulu menghadapNYA setelah tertabrak truk pengangkut tebu saat baru pulang dari berjualan di pasar di suatu sore, beberapa hari lalu. 

Saat Pak Dhe dan Bu Dhe Rinto yang merupakan saudara dari pihak almarhumah ibunya datang tadi pagi, Rajendra paham apa yang harus dia lakukan. Yaitu menyiapkan diri dan barang-barang yang perlu ia bawa. Tidak banyak. Hanya beberapa baju yang ia punya. Yang perlu ia siapkan sebenarnya adalah hati, untuk meninggalkan rumah dan segala kenangannya. Baik pedih maupun indahnya. Keduanya, sudah berlalu. Berikutnya, entah. 

Rajendra akan berupaya mandiri. Itu pesan Bu Dhe Har. Karena bagaimanapun, Pak Dhe Rinto dan Bu Dhe Rinto, punya 2 anak yang perlu mereka urus. Rajendra memang masih anak lelaki usia 10 tahun. Tapi bukan berarti dia tidak cukup mengerti akan posisinya saat ini. Dia sadar, minggu kemarin dia masih berada di dunia yang penuh keceriaan. Dan sekarang, langit-langit hatinya runtuh seperti kastil pasir yang diterpa ombak tak terduga. Tak bersisa, selain kenangan. 

Rajendra sadar, meski hancur, dia tak boleh membiarkan dirinya hanyut tanpa bisa menepi dan melanjutkan langkah. 

Tegar. 

Orang tuanya tidak mengajarkan dirinya untuk lemah. Rajendra menarik napas panjang, sekali, dua kali. Lalu sekali lagi, pandangannya menyisiri hampir seluruh sudut rumah, lalu melangkah ke luar, tanpa air mata. Hanya sedikit sesak dalam dada, yang ia tutupi dengan senyum menatap Pak Dhe dan Bu Dhe Har, yang ikut menungguinya, dengan air mata yang deras mengalir. 

Rajendra mencium punggung tangan kedua tetangganya itu. Mengucap terima kasih, dan memohon doa. Setelah itu, melangkahkan kaki mengikuti Pak Dhe Har dan Bu Dhe Rinto, tanpa berani untuk menoleh ke belakang sama sekali. Rajendra takut air matanya jatuh. Dia tak mau terlihat lemah. Dia tak mau membuat kedua tetangga yang sudah seperti Pak Dhe dan Bu Dhenya sendiri itu merasakan kepedihannya. 

Tidak perlu. 

Ia harus kuat dan tegar. Kelak saat dewasa, semoga ia bisa membalas kebaikan mereka. 

Selamat tinggal untuk sementara, rumah kenangan. Dan selamat tinggal pula, keluarga tanpa hubungan darah. 

  ***

 

Tidak banyak yang berbeda kalau dari segi cuaca. Sidoarjo dan Surabaya sama-sama panas. Bedanya, Surabaya lebih ramai daripada rumah lama Rajendra di sebuah desa di Sidoarjo sana. 

Di Surabaya, ada Pak Dhe Rinto, Bu Dhe, Mas Eka, Mbak Dwi, Rajendra. Mas Eka sudah SMA, Mbak Dwi SMP, dan keduanya sibuk dalam kegiatan sekolah mereka. Pulang, hanya bertegur sapa seadanya lalu sibuk kembali di kamar masing-masing. Pak Dhe dan Bu Dhe, sibuk dengan aneka dagangannya di toko kecil di samping rumah induk. Hanya kalau sore dan toko mereka tutup, baru mereka akan kembali ke rumah induk. Makan sore bersama di ruang makan berlima. 

Mereka memiliki sebuah radio di ruang tengah, dan Bu Dhenya saat memasak pagi, sering menyalakan radio dan dari sanalah update lagu Bu Dhenya berasal. Rajendra, yang paling sering membantu Bu Dhe memasak, mau tak mau terbawa juga. Dan biasanya mereka menyanyi bersama. 

Setelah memasak dan bernyanyi bersama, Bu Dhe biasa mengusap kepalanya sambil tertawa, dan berucap, "suaramu apik tenan Le, bakat jadi penyanyi."

Lihat selengkapnya