Many Things Happened

Naomi Indira
Chapter #2

CHAPTER 1 : KABAR BURUK

 

CHAPTER 1 : KABAR BURUK

 

  Ini merupakan hari Minggu, hari dimana kami sebagai umat Kristen akan datang untuk beribadah ke gereja. Ayahku sudah keluar dari rumah sakit 2 minggu yang lalu dan sekarang dia nampak sangat sehat. Kami sekeluarga pun pergi untuk beribadah. Kami bersiap dan kami sudah memasuki mobil, lalu berangkat pergi ke gereja.

  Hari ini aku sangat senang bisa kembali pergi bersama ayah dan ibuku. Namun sayang sekali, sambil pergi ke gereja aku dikelilingi firasat buruk. Padahal kami sedang berada di suasana bahagia. Kami sampai di gereja dengan selamat, kemudian kami duduk bersama. Kami mendengarkan khotbah pendeta dengan baik lalu setelah selesai beribadah kami menyapa jemaat jemaat lain lalu memberikan salam.

“Halo pak Leon, bagaimana kabar anda?” Tanya salah satu jemaat kepada ayahku.

“Saya baik, saya baru saja keluar dari rumah sakit, bagaimana dengan anda?”

“Saya juga baik. Pak Leon baru habis pasang ring jantung ya?”

“Ya, saya baru saja pasang ring hahaha”

“Wah, memang umur segini cepat kena kolestrol ya pak.”

  Pembicaraan terus berlangsung. Obrolan seperti ini memang sudah sering terjadi antara jemaat satu dengan jemaat lainnya. Aku juga melihat ibuku sedang mengobrol dengan jemaat lainnya. Walaupun selesai beribadah, firasat yang tadi aku rasakan masih sama. Aku masih merasakan rasa aneh dalam diriku. Seperti akan ada sesuatu yang terjadi.

“Hahaha, baiklah pak, semoga sehat selalu ya, anak anda tampan, Clement kan?”

“Ya pak saya Clement.”

“Hahaha, kelas berapa sekarang?”

“Saya baru saja lulus kemarin, saya sedang masa transisi SMA ke kuliah, pak.”

“Wah, kau sudah besar ya sekarang, kau melanjutkan kuliah dimana?”

  Pertanyaan yang tidak aku inginkan muncul. Aku tidak suka orang lain bertanya soal perguruan tinggiku. Aku hanya ingin hal tersebut menjadi privasi ku.

“Saya sedang dalam proses mencari perguruan tinggi.”

  Sepertinya cukup kujawab seperti itu. Aku tidak merasa nyaman dengan pertanyaan seperti itu. Untungnya paman itu tidak bertanya banyak hal lagi menunjukkan bahwa jawabanku itu sudah cukup baginya.

“Baiklah, ayah ayo kita pulang, aku lapar.”

Lihat selengkapnya