MAORI

Faida Zuhria
Chapter #1

Chapter 1: Jeritan Malam

Aaaaaaaaargh!!!

Maora membelalakkan matanya. Nafasnya memburu. Jantungnya berdegup kencang. Suara jeritan yang ia dengar seolah nyata, tepat saat alarm di handphone-nya berbunyi. Tangannya meraba-raba handphone yang terletak di samping bantalnya, mematikan alarm. Ia menyipitkan matanya, melihat layar handphone yang menyilaukan. Waktu menunjukkan pukul 01.05 WIB. Ia kembali meletakkan handphone-nya. Nafasnya masih sedikit tersengal-sengal meskipun degup jantungnya sudah sedikit teratur. Jeritan itu…nyatakah? Maora membatin. Ia mengumpulkan seluruh fokusnya, menajamkan pendengaran, berusaha menangkap kenyataan di sekitarnya. Namun tidak terdengar suara apapun, kecuali hewan malam. Sepi. Rumahnya yang terletak di pinggir sawah, jauh dari rumah-rumah yang lain menambah suasana sunyi. Mimpi burukkah? Ia mencoba mengingat-ingat apa yang dijelajahi alam bawah sadarnya saat tidur, namun gagal. Suara burung hantu yang sesekali berbunyi membuat bulu kuduknya berdiri. Suasana terasa semakin mencekam.

Tiba-tiba ingatannya kembali melayang beberapa tahun yang silam, saat rumah yang ditempatinya belum dibangun. Tanah itu dulunya adalah bekas sebuah kebun luas. Tepat di kamar Maora adalah bekas tumbuhnya pohon tanjung yang usianya sangat tua. Menurut cerita yang didengar dari ibunya, pohon tanjung itu bahkan sudah ada sebelum nenek Maora lahir.

“Wah, sudah sangat tua sekali ya, Buk? Seperti nenek?” komentar Maora.

Maora, yang saat itu baru berusia 5 tahun teringat wajah neneknya yang juga sudah sangat tua.

“Iya, kalau dihitung-hitung mungkin lebih dari seratus tahun,” jawab ibunya sambil memunguti bunga tanjung yang berguguran.

Maora pun menengadahkan kedua tangannya, mencoba menghitung dengan jari-jarinya seberapa banyak angka seratus itu. Ibunya yang melihat hanya tersenyum dengan kepolosan Maora. Ia terlihat bingung menghitung angka seratus.

“Maora mau belajar berhitung?” tanya ibunya.

“Mau! Mau!” jawab Maora bersemangat.

Ibunya selalu dapat melihat dan menangkap peluang untuk mengenalkan hal-hal baru dengan menarik. Itulah mengapa Maora sangat menyukai belajar bersama ibunya yang juga seorang guru sekolah dasar.

“Jadi, mau pulang sekarang?” tanya ibunya. Maora hanya mengangguk. Ia melihat ibunya membawa keranjang yang berisi bunga tanjung cukup banyak.

Ibunya suka membuatkan gelang maupun kalung dengan rangkaian bunga tanjung. Wanginya yang tahan lama meski bunganya kering membuat ibunya sangat menyukai bunga itu.

Sambil berjalan kaki, ibunya menggandeng putrinya pulang. Jarak rumah dengan pohon itu sekitar 200 meter. Meski cukup jauh, namun pohon itu masih dapat terlihat dari rumahnya yang dulu. Jika malam tiba, hanya terlihat gelap dan terkesan angker. Terlebih jika sedang purnama, bayangan-bayangan yang tercipta seolah banyak makhluk berdiam di pohon itu.

“Aku semalam lewat dekat pohon tanjung itu, aku melihat putih-putih terbang,” cerita temannya suatu hari. Pohon tanjung itu memang dikenal angker dan menakutkan. Bahkan orang tua di kampungnya sering menakut-nakuti anak-anaknya agar tidak mendekat meskipun hanya untuk mencegah anak-anaknya bermain terlalu jauh dan berbahaya. Namun cerita demi cerita terlanjur membuat pohon tanjung itu semakin terkenal angkernya.

Saat neneknya meninggal, Maora tepat berusia 6 tahun. Kebun dengan pohon tanjung itu diwariskan kepada ibu Maora, sedangkan rumah yang ditempati Maora berpindah tangan ke kakak perempuan ibunya. Secara bertahap, orang tua Maora membangun rumah di tanah warisan. Pohon tanjung pun ditebang. Ruang kamar Maora adalah bekas pohon tanjung berdiri. Ia tidak pernah tahu mengapa memilih kamar itu. Ia hanya merasa sangat menyukainya.

Namun jeritan yang didengarnya malam itu mengusik ingatannya. Ia masih ragu jeritan itu nyata ataukah hanya dari alam bawah sadarnya. Tiba-tiba ia mencium aroma bunga tanjung yang sudah lama terlupakan. Ia mengendus-endus, meyakinkan penciumannya. Tak asing lagi. Batinnya. Iya yakin itu adalah aroma bunga tanjung yang sudah tidak pernah diciumnya semenjak pohon itu ditebang 16 tahun silam, saat usianya 7 tahun.

Maora menarik selimutnya, rapat menutupi seluruh badannya. Ia yang tadinya berencana bangun malam untuk mengerjakan skripsinya akhirnya mengurungkan niatnya. Rasa takut menyergapnya. Bahkan untuk berdiri ia tak punya cukup nyali. Terbayang berbagai cerita yang menyeramkan yang didengar dari teman-temannya dulu, meskipun ia sendiri belum pernah mengalaminya langsung. Ia memejamkan matanya, berharap tidak melihat hal-hal menyeramkan seperti yang diceritakan teman-temannya. Hingga tak terasa tertidur kembali.

Ia terbangun saat terdengar adzan subuh. Suara kokok ayam mulai ramai. Hawa dingin masih sangat terasa, namun ia merasa sudah cukup berani untuk bangkit. Perlahan ia bangkit menuju kamar mandi. Rumahnya besar dan luas. Untuk sampai di bagian belakang, ia melewati 3 kamar tidur besar di samping kamarnya, di sisi sebelahnya terdapat ruang keluarga. Setelah itu melewati ruang makan yang cukup luas, berdekatan dengan dapur. Barulah ia sampai di kamar mandi yang letaknya bersebelahan dengan dapur. Di dapur, ia disambut hangat kucingnya yang berbulu putih lebat. Matanya yang biru memandang Maora, seolah-olah meminta sesuatu. Maora paham, binatang kesayangannya itu minta dipeluk dan dielus. Ia mengajaknya bermain sejenak sembari memberi makanan. Setelah puas, ia pun melanjutkan berwudhu dan sholat. Ibunya sudah terlihat duduk dengan khusu’ berdoa di “peshholatan”, istilah yang ia dan keluarganya pakai sebagai tempat sholat. Luas peshholatan muat untuk 4 orang, terletak di samping ruang keluarga yang dibatasi oleh sekat tembok.

Maora kembali ke kamarnya sembari membawa secangkir kopi. Ia menarik kursi kayu yang berada di bawah meja, menyesuaikan duduknya. Laptop dengan mode sleep mulai ia nyalakan. Ia mulai menjelajah mencari folder yang berisi jurnal-jurnal berbahasa Inggris. Otaknya mulai bekerja, sesekali tangannya meraih gagang cangkir, menyeruput kopi hitam yang masih hangat. Hampir 2 jam ia berkutat di depan laptop, memahami materi yang ia hadapi. Lembaran word pun ia buka, jari jemarinya mulai menuangkan kata demi kata, merangkum materi yang baru saja ia pelajari.

“Selesai”. Gumamnya sambil membuang nafas berat. Ia meraih handphone di samping laptop. Waktu menunjukkan tepat pukul setengah 7 pagi. Ia beranjak keluar kamar, menuju dapur. Seperti biasanya, ibunya sudah sibuk membuat sarapan. Sebelum menuju dapur, Maora sejenak menengok salah satu kamar tidur yang terletak paling ujung, dekat dengan ruang makan.

“Maori masih tidur” kata ibunya yang berada di ruang makan tanpa menatap Maora, sibuk menata makanan di meja. Maora hanya tersenyum kepergok ibunya. Ia mendekati ibunya.

“Bapak kemana?” tanya Maora.

“Dari subuh tadi belum pulang, mungkin masih di masjid” jawab ibunya.

“Mau sarapan sekarang?” tanya ibunya. Maora menggeleng.

“Bapakmu ingin dibuatkan bubur.” Lanjut ibunya tanpa Maora bertanya.

 “Nanti saja, sarapan bareng Bapak” jawab Maora. Ia meraih kerupuk udang yang ada di toples, dekat tempatnya duduk.

Ia mengeluarkan handphone yang ada di saku sweater-nya. Hawa dingin masih menyergap. Berbeda dengan kota Jogja tempatnya menempuh pendidikan yang sudah panas di jam pagi, rumahnya yang terletak di pinggiran kota Klaten yang masih asri karena banyak pepohonan dan sawah membuat udara segar dan jauh dari polusi.

Sambil makan camilan, ia mulai membaca novel dari handphone. Biasanya ia membaca buku, namun jika sambil memegang makanan ia memilih membaca dari handphone agar tidak mengotori buku.

“Assalamu’alaikum” terdengar suara dari pintu belakang.

“Wa’alaikumsalam,” Maora menjawab sambil melihat ayahnya pulang.

“Sudah sarapan?” tanya ayahnya

“Nunggu Bapak” jawab Maora

“Ya” jawab ayahnya singkat sambil masuk kamar.

“Maori belum bangun?” tanya ayahnya sesudah keluar kamar.

“Belum” jawab Maora sambil tak lepas matanya dari layar handphone.

Ibunya mulai ikut duduk di samping Maora. Maora mulai meletakkan handphone, fokus untuk sarapan bersama. Tidak ada suara saat makan bersama, semua terdengar tenang hingga semua selesai. Maora membereskan piring-piring kotor dan langsung mencucinya. Selesai membersihkan piring, ia kembali menengok kamar Maori, saudara kembarnya. Pintu yang sedikit terbuka membuatnya bisa mengintip Maori.

"Masih tidur." Batin Maora.

Ia berjingkat menjauh kamar Maori agar tidak terbangun, menuju kamarnya. Waktu masih menunjukkan pukul setengah 8 pagi. Ia mulai berbaring, sambil melanjutkan membaca novel.

Maora baru 2 hari berada di rumah. Kejenuhannya dengan tugas akhir membuatnya pulang, sekaligus menengok keluarganya. Selama beberapa tahun ia menghabiskan waktunya di Jogja, belajar serius agar dapat segera lulus cumlaude, seperti harapan ayahnya. Semester-semester awal ia lalui dengan belajar. Ia membuktikan diri lebih unggul dibanding lainnya di bidang akademik.

Semakin lama ia mengenal banyak orang di Jogja membuat pola pikirnya berkembang. Memasuki semester 4, kesehariannya tidak lagi sebatas study oriented. Ia mulai mengasah kemampuan dirinya di luar akademik, mulai aktif berorganisasi dan mencoba mencari lowongan kerja freelance. Ia pun mulai mengisi les untuk anak SMP dan SMA. Jurusannya di Teknik Kimia memberikan peluang mengajar di bidang Kimia, salah satu mata pelajaran yang dianggap momok oleh sebagian besar siswa. Maora pun berjuang mengatur waktu, menyeimbangkan kuliah dan pekerjaannya. Meskipun ia sudah bisa menyisihkan beberapa rupiah untuk kebutuhan pribadinya tanpa menunggu kiriman orang tua, sebisa mungkin nilai akademiknya tidak anjlok hanya gara-gara kesibukan bekerja. Itu membuat ayahnya akan sangat kecewa.

Lihat selengkapnya