MAORI

Faida Zuhria
Chapter #9

Chapter 9: Bodyguard

Lutfi menuliskan nama-nama ke selembar kertas yang disodorkan Bu Ani. Bu Ani melipatnya sambil berkata,

“Kita akan bertemu besok pagi. Ibu ingin mendengar kesaksianmu atas nama-nama ini,” kata Bu Ani.

Lutfi mengangguk. Ia pamit dan keluar ruangan. Maora hanya terpaku, menahan napas agar tidak menimbulkan suara yang menarik perhatian Lutfi. Beruntung sudut tempat duduknya itu gelap. Tirai yang terpasang di beberapa jendela telah ditutup yang membuat Maora lebih nyaman.

Kenapa harus dia?” tanya Maora dalam hati.

Aku tidak akan bisa menanyainya tentang nama-nama itu,” ia masih berdialog dengan dirinya sendiri.

Lima belas menit telah berlalu dari waktu terdengarnya bel pulang. Maora hendak pamit karena segan dengan Bu Ani. Terlebih ada dua guru yang masuk ruangan itu yang membuat rasa sopan dan sungkan Maora terusik. Maora berdiri. Ia mendatangi Bu Ani yang sedang duduk memeriksa berkas,

“Ibu, permisi. Saya pamit sekarang, ya.” kata Maora sopan.

Bu Ani mendongakkan kepalanya memandang Maora.

“Kamu tidak apa-apa pulang sekarang?” tanya Bu Ani.

“Iya, Bu. Saya takut terlambat pulang. Ibu saya akan khawatir,” kata Maora beralasan.

“Baiklah. Hati-hati. Abaikan saja apa yang menjadi bahan gunjingan orang lain tentangmu maupun keluargamu,” nasehat Bu Ani sebelum Maora melangkah keluar.

“Iya, Bu,” kata Maora ta’zim.

Maora berjalan menuju kelasnya hendak mengambil tasnya. Beberapa siswa masih terlihat bergerombol, memandanginya yang berjalan. Terdengar beberapa suara tawa, Maora berusaha abai. Ia masih sensitif dengan suara tawa orang-orang di sekitarnya karena asumsinya mereka menertawakan dirinya.

Rasanya ingin menghilang mendadak. Atau tiba-tiba tak kasatmata,” kata Maora dalam hati. Badannya gemetaran. Jarak dari ruang BP ke kelasnya harus melewati beberapa ruang kelas. Beruntung ia tidak melewati koridor, cukup melewati jalan setapak. Meskipun ruang-ruang kelas masih terlihat tidak jauh dari dirinya, namun mereka cukup berjarak yang membuat Maora sedikit tenang.

Dari luar ruang kelasnya ia masih mendengar suara-suara. Ia beranikan diri masuk ruangan. Ternyata beberapa teman dekatnya,

“Maora..sini! Sini!” kata Ika langsung berdiri, ia berjalan menghampiri Maora yang terlihat lemas berjalan. Maora duduk di kursinya, sementara teman-teman lainnya memandang iba.

“Aku tadi ke UKS, tapi dari jauh kulihat kamu sama Bu Ani berjalan. Kupikir kamu sudah aman,” kata Ika.

Maora hanya mengangguk. Ia merasa sangat lelah dan letih. Dari pagi pun belum ada makanan yang masuk, namun energinya sangat terkuras.

“Aku pinjam catatan, ya..” pinta Maora pada Ika.

Ika mengangguk. Ia segera mengambil buku-buku catatannya.

“Boleh kamu bawa pulang, tidak apa-apa mengembalikan besok,” katanya. Maora hanya mengangguk. Matanya terlihat sayu.

“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Tyas.

Maora mengangguk, “Ibuku akan cemas kalau aku pulang terlambat,” katanya.

“Mau pinjam handphone-ku untuk menghubungi ibumu?” Mia menawarkan. Mereka tahu bahwa Maora memang tidak memiliki handphone.

“Belum saatnya,” kata ayahnya waktu Maora memintanya. Maora menurut. Ia yakin pasti ayahnya punya tujuan baik kenapa belum memberikan handphone seperti teman-temannya.

Maora menggeleng ketika Mia menawarkan, “Aku tidak punya alasan cukup kuat untuk pulang terlambat,” kata Maora.

“Kamu bisa bilang kalau mendadak harus belajar kelompok persiapan ujian,”

Maora kembali menggeleng sambil tersenyum, “Itu bukan gayaku. Selama ini aku tidak pernah memberikan jadwal dadakan. Aku pun tidak bisa berbohong,” jelasnya.

Mia tidak bisa memaksa. Ia berusaha mengerti. Mereka keluar bersama-sama dan berpisah di halaman sekolah. Rata-rata teman Maora rumahnya tidak jauh dari sekolah sehingga pulang jalan kaki.

“Kamu tidak apa-apa pulang sekarang? Matamu terlihat bengkak,” kata Ika setelah teman-teman yang lain pulang.

“Aku ke toilet mushola sebentar,” kata Maora. “Kamu tidak apa-apa kalau mau pulang dulu,” kata Maora lagi. Ika hanya tersenyum.

Maora berjalan sambil menunduk menuju mushola. Sebuah tangan merangkul pundaknya. Maora menoleh. Senyuman itu menguatkannya.

“Aku tetap akan menemanimu,” kata Ika. Maora tidak dapat menyembunyikan rasa harunya. Air matanya menetes deras tanpa suara tangis.

Apa yang lebih berharga selain kamu menemukan orang-orang yang tulus?” kata Maora dalam hati.

Ika setia menunggu di teras masjid sambil menjaga tas Maora. Ia mengamati sekeliling, sudah sepi. Semilir angin membuatnya mengantuk. Ia memejamkan mata, menikmati udara segar yang meninabobokkannya.

“Sudah,” kata Maora sambil menepuk bahu Ika pelan.

Ika terbangun. Ia sedikit terkejut karena sempat tertidur. Maora tahu, namun ia sedang tidak ingin bercanda.

“Mau langsung pulang?” tanya Ika. Maora hanya mengangguk.

“Sudah sedikit berkurang bengkaknya,” kata Ika sambil mengamati wajah Maora.

Maora tidak menjawab. Ia hanya balik memandang Ika.

“Ra, kamu pernah protes atau menyesal memiliki adik seperti itu? Merasa hidupmu tidak adil, atau merasa kenapa harus kamu yang mengalaminya?” tanya Ika sambil berjalan pelan di samping Maora.

“Dulu sekali, saat pertama kali aku diejek karena memiliki adik seperti itu.” Ika hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kamu tahu enggak, kenapa adikmu seperti itu?” tanya Ika lagi.

“Ya, karena dulunya jatuh pas masih kecil,” kata Maora.

Ika buru-buru menggeleng, “Bukan itu maksudku. Kenapa adikmu harus mengalami itu? Itu maksud pertanyaanku,” kata Ika.

Maora diam sambil menunduk. Ia berpikir keras kenapa adiknya harus separah itu sakitnya.

“Kamu tahu kan tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia? Ada hikmah di balik setiap kejadian?” tanya Ika sambil memancing.

Maora hanya mengangguk.

“Menurutmu?” tanya Maora setelah beberapa saat. Ia menyerah.

Ika menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan cepat. Ika tersenyum, kemudian menoleh Maora sambil tersenyum.

“Kamu akan menemukan orang-orang yang tetap berdiri di sampingmu meski mengetahui segala kekuranganmu,” kata Ika.

Maora diam, mencoba mencerna kalimat Ika.

“Kita lihat, setelah tahu kamu dan keluargamu seperti apa, siapa saja yang tetap baik kepadamu. Anggap saja kamu menemukan orang-orang yang tulus,” lanjut Ika.

Maora terdiam. Mereka sudah sampai pintu keluar.

“Tidak mengapa saat ini kamu bingung, tapi kelak kamu akan paham mengapa keadaan adikmu seperti itu,”

Ika menepuk pundak Maora pelan. “Semua akan berlalu, kamu hanya perlu bertahan,” kata Ika menyemangati Maora. Mereka berpisah di depan pintu gerbang sekolah. Maora menunggu angkot, sementara Ika berjalan menuju jalur angkot lainnya yang menuju rumahnya.

Maora berusaha tegar selama perjalanan pulang. Ia merasa sangat sedih mengingat perlakuan buruk yang diterimanya. Keinginan terbesarnya adalah ingin segera sampai rumah dan memeluk orang-orang terdekatnya.

Sepanjang perjalanan ia menghayati dan mencoba memahami perkataan Ika. Angkot sudah mulai banyak yang kosong. Ia menyadari bahwa pulangnya sangat terlambat. Sesampai di rumah, beruntung ibunya tidak menanyakan alasannya terlambat pulang.

Lihat selengkapnya