MAORI

Faida Zuhria
Chapter #10

Chapter 10: Merantau

Jogja menjadi tujuan Maora untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sejak lama ia bermimpi untuk menjejak di kota itu dengan berbagai alasan. Selain dikenal sebagai kota pendidikan, Jogja juga merupakan kota terdekat dari tempat tinggalnya, Klaten. Setidaknya, ia bisa sering pulang menengok orang tuanya dan Maori.

“Bapak sangat mendukungmu, seratus persen.” kata ayahnya ketika Maora meminta izin kuliah di Jogja.

“Ibu pun mendukungmu, yang penting jaga diri baik-baik. Pintar-pintar membawa diri,” nasehat ibunya.

Maora mengiyakan nasehat ibunya. Ia mulai menimbang untuk memilih jurusan yang diinginkannya. Pertama, psikologi. Namun ayahnya memberi pertimbangan lain.

“Psikologi dan hukum itu sudah sangat banyak, nanti jika 4 tahun lagi kamu lulusnya, maka persaingan di tempat kerja akan semakin ketat,” jelas ayahnya.

Maora yang sangat berminat di bidang bahasa dan sastra, juga diberi pertimbangan lain oleh ayahnya.

“Kalau ambil bahasa dan sastra, itu bisa dipelajari dari Bapak, tidak perlu mengambil jurusannya,” kata ayahnya yang merupakan guru Bahasa Indonesia.

“Hmmm…apa ya?” tanya Maora.

“Maora suka mata pelajaran apa di sekolah?” tanya ibunya.

“Kalau mata pelajaran sih paling suka Matematika sama Kimia,” jawab Maora.

“Matematika umumnya kaitannya sama pendidikan, biasanya peluang paling banyak menjadi guru,” kata ayahnya.

“Kalau yang kaitannya sama Kimia, mungkin bisa memilih Farmasi, ya, Pak?” tanya Arini sambil memandang suaminya.

Ayah Maora hanya mengangguk-angguk sambil keningnya berkerut tanda berpikir. “Ada pilihan lain selain Farmasi, Pak?” tanya ibunya.

“Kimia Pendidikan, MIPA,” jawab Malik.

Maora hanya mendengarkan, menunggu arahan orang tuanya. Diskusi dengan orang tuanya masih sebatas wacana mengenai beberapa jurusan yang terkait dengan minatnya. Ia mulai mencari-cari informasi mengenai jurusan Farmasi. Ia pun tertarik dengan berbagai ulasan tentang jurusan itu dan memutuskan untuk mengambilnya.

Sasaran kampus yang menjadi minatnya tentu saja Universitas Gadjah Mada, universitas tertua dan terkemuka di Jogja yang dianggapnya berpengalaman dalam pendidikan. Ia menyadari bahwa UGM menjadi tempat pertarungan para lulusan dari seluruh Indonesia. Track record-nya memainkan peranan penting dalam menarik banyak calon mahasiswa S1 sehingga segala upaya ia lakukan untuk dapat masuk dalam universitas tersebut, dari belajar setiap hari hingga mengikuti bimbingan belajar masuk perguruan tinggi.

Pilihan kedua ia jatuhkan pada jurusan teknik kimia, yang masih ada kaitan dengan minatnya. Ia tidak memilih Kimia Pendidikan karena ia sering grogi berhadapan dengan banyak orang sehingga mengajar bukan pilihan dari pekerjaannya kelak meskipun kedua orang tuanya guru.

Ujian di kampus itu telah ia lewati, tinggal menunggu hasil. Ia banyak berdoa dan berharap bisa lolos di kampus itu. Namun kekecewaan pun harus ditelannya dengan kegagalan yang diterima. Ia tidak patah semangat. Bersama ayahnya, Maora kemudian mendaftar di salah satu kampus swasta yang termasuk diperhitungkan di Jogja. Sayang ia juga hanya diterima di pilihan kedua, Teknik Kimia.

“Ini yang terbaik, kamu harus yakin itu,” kata ayahnya.

Ia sangat tahu bahwa Maora sudah berjuang penuh, seberapa jauh Maora mengusahakan keinginannya. Namun jika akhirnya harus menjalani di luar keinginan yang membuatnya kecewa, tugasnya adalah menghibur dan mendukung penuh apa yang akan dihadapi anaknya.

“Baiklah, Maora akan menjalaninya dengan sebaik mungkin,” kata Maora berusaha tegar. Ia tidak ingin membuat ayahnya semakin terbebani.

Bapak sudah sangat besar perjuangannya, ikut mendukung sejauh ini. Aku pun tidak boleh menyia-nyiakan apa yang telah kudapat meski belum keinginanku,” kata Maora dalam hati.

Ayahnya tersenyum, lega mendengar putrinya tidak putus asa dan pantang menyerah meski didera rasa kecewa.

“Kita sekalian mencari kos dan beberapa keperluanmu untuk persiapan kuliah besok,” kata ayahnya. Maora hanya mengangguk.

Dengan ditemani ayahnya, Maora menyusuri beberapa tempat yang menawarkan kos di sekitar kampus, namun sudah yang terisi. Ia pun mendapatkan kos yang berjarak sekitar satu kilometer dari kampus. Meskipun sedikit jauh, namun masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Selain itu juga lebih murah dibandingkan yang ada di sekitar kampus. Satu rumah pun hanya terdapat tiga kamar.

Ah…menenangkan. Setidaknya aku bisa tenang dan fokus,” batin Maora.

Setelah mendapatkan kos, Maora melanjutkan untuk mencari perlengkapan yang diperlukan di dalam kos. Tidak banyak fasilitas yang diberikan ayahnya kepada Maora, hanya kasur tipis, lemari baju, meja dan lampu belajar, dan galon air.

“Belajar prihatin, ya,” kata ayahnya.

Maora pun mengangguk sambil tersenyum. Ia tahu sudah berapa uang yang harus dikeluarkan oleh ayahnya untuk membuatnya dapat kuliah. Ia pun tidak ingin banyak menuntut dan menambah beban ayahnya.

“Sudah beres semuanya,” kata ayahnya. Maora tersenyum sambil mengangguk.

Wajah putih berbalut kerudung coklat itu pun menyiratkan kelegaan setelah seharian berkeliling memenuhi kebutuhannya. Hal terakhir yang harus ia pelajari adalah rute dari rumahnya ke kos yang akan ditempatinya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Panas terik kota Jogja cukup membuat peluh mengalir deras. Maora menahan ketidaknyamanan itu. Ia pun paham rute untuk sampai ke kosnya jika harus berangkat sendiri menggunakan transportasi umum.

“Sudah selesai, kita pulang,” kata ayahnya.

Hari sudah sore, menjelang pukul 4. Mereka berdua naik motor untuk kembali ke Klaten dan sampai setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam. Ibunya menyambutnya antusias, memeluknya dan mencium dahinya.

“Mandi terus makan ya,” kata ibunya sambil tersenyum. Maora hanya mengangguk sambil membalas senyum ibunya. Ia memang sangat lelah dan lapar, belum lagi seharian terpanggang matahari membuatnya gerah dengan baju yang dipakainya.

Selepas magrib, Maora berada di kamar Maori, beserta ayah dan ibunya. Ia menceritakan pengalamannya hari itu, agar Maori pun juga bisa mendengarkan. Maori duduk di kasur, sesekali hanya tertawa kecil, terkadang melihat langit kamarnya ketika Maora bercerita. Maora memang sangat ingin menghabiskan waktu-waktunya bersama Maori sebelum ia merantau ke Jogja.

Selesai bercerita, ia ikut duduk di samping Maori. Maora memeluknya,

“Kali ini pergiku sangat jauh, dan akan sangat lama,” kata Maora. Ia pun menceritakan tempat yang menjadi impiannya itu.

Bulir-bulir air matanya keluar menetes. Ia menarik napasnya, berusaha menahan air matanya tidak banyak keluar. Ibunya pun sesekali mengusap pipinya, air matanya pun tak terbendung. Maori hanya diam dan menunduk. Ia memahami apa yang disampaikan Maora, namun tidak mampu membalas ucapannya. Kesedihan menyelimuti ruangan itu. Hening untuk beberapa menit. Hanya suara napas-napas sesak menahan air mata.

“Yuk, istirahat. Biar besok Maora bisa menyiapkan keperluan untuk ke Jogja,” kata ayahnya memecah keheningan.

Ibunya mengangguk. Maora masih memeluk Maori. Ayah dan ibunya membiarkannya.

Terima kasih telah menjagaku selama ini. Karenamu, aku menemukan orang-orang yang tulus,” kata Maora dalam hati.

Ia pun menyudahi memeluk saudara kembarnya itu, mengusap air matanya. Ia berdiri, kemudian membungkuk sambil mengusap-usap punggung Maori. Sambil tersenyum, ia berucap lirih,

“Doakan aku.”

Maora dan ayahnya keluar dari kamar Maori, sedangkan ibunya sibuk mempersiapkan tempat untuk tidur Maori. Mereka masuk ke kamar masing-masing.

Hari di mana Maora harus meninggalkan rumah demi impiannya sudah tiba. Tak pelak lagi, banjir air mata seluruh penghuni rumahnya mewarnai hari itu. Peluk erat dan bisik-bisik lembut terdengar.

Lihat selengkapnya