Maora dan teman-temannya telah melalui masa ujian akhir semester. Hari terakhir ujian mereka masih menyempatkan berkumpul dan mengobrol.
“Kamu mudik kapan, Ra?” tanya Dian.
“Menunggu Kartu Hasil Studi keluar, baru bisa balik. Sekalian laporan nilai,” jawab Maora sambil tertawa.
“Terus di kos ngapain? Lumayan lho kalau buat pulang,” kata Nia.
“Yaaaa, persiapan buat semester depan. Kan tinggal lanjut baca chapter-chapter berikutnya. Atau main ke perpus,” jawab Maora sambil melirik Nia.
Nia menggelengkan kepalanya, “Otakmu enggak meledak?” katanya sambil menyeringai.
Maora dan Dian tertawa menatap ekspresi Nia.
“Kamu sendiri mudik kapan?” Maora balik bertanya.
“Besoklah. Mau libur panjang,” jawab Nia. Mendadak raut mukanya tertawa bahagia sambil membayangkan tempat-tempat yang akan dikunjunginya.
“Enaknyaaa,” Maora berkomentar.
“Mau ikut?” Maora langsung menggeleng cepat. Ia tidak terlalu menyukai tempat ramai kecuali jika memang ada kepentingan seperti untuk mendukung tulisannya.
“Kamu kapan pulang?” tanya Nia pada Dian.
“Mungkin besok, atau besoknya, atau besoknya lagi,” kata Dian sambil tertawa. Nia mulai cemberut. Maora balik menggoda Nia.
“Kamu tidak ada janji dengan Hasan?” tanya Nia kepada Maora.
Maora hanya memandang curiga karena Nia biasanya hanya menggodanya. Matanya tidak berkedip, ekspresinya pun datar.
“Seriuuus,” kata Nia. Ia paham Maora sedang mencurigainya.
“Ada, nanti sore,” jawab Maora. Nia hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kenapa? Tumben tidak komentar?” tanya Dian.
“Enggak, cuma mau bilang titip Maora,” jawab Nia. Ia berlari sebelum cubitan Maora melayang di lengannya.
Dian hanya tertawa melihat ulah mereka.
“Ini yang akan kurindukan dalam liburan panjang,” kata Dian dalam hati sambil tersenyum.
Mereka pun berpisah setelah saling berpelukan. Dian dan Nia pulang ke kos masing-masing, sedangkan Maora mampir di kantin. Ia melihat sosok yang dicarinya. Wajahnya tersenyum senang. Pun yang dipandangnya, senyumnya mengembang.
“Kopi?” tawarnya.
Maora menggeleng, “Kali ini coklat. Sudah tidak ada lembur. Hahaha,” kata Maora.
“Sepertinya lagi bahagia,” komentarnya.
“Iya. Sudah lega semua ujian sudah selesai,” jelas Maora.
“Owh…kirain karena bertemu aku,” katanya sambil tertawa.
“Itu alasan ke sekian,” kata Maora tersenyum. Ia memilih tempat duduk di pojok seperti biasanya.
Hasan tersipu, “Sebentar, ya, kubuatkan pesanannya dulu,” katanya. Maora mengangguk.
Tak lama kemudian ia membawa dua cangkir berisi minuman coklat hangat. Seperti biasanya, Maora menghirup aroma minuman yang dipesannya. Hasan hanya tersenyum memandang laku Maora yang sudah dihafalnya.
“Kamu mudik kapan?” tanya Maora.
Hasan menggelengkan kepalanya, “Aku mau persiapan tes lagi, jadi menunda pulang,”
“Kamu mau mudik, Ra?” Hasan balik bertanya.
“Belum. Masih menunggu KHS keluar,” jawabnya.
Hasan tersenyum sambil memandang wajah Maora cukup lama. Maora mulai salah tingkah.
“Kenapa?” akhirnya ia bertanya karena merasa tidak nyaman.
“Tidak apa-apa,” kata Hasan sambil tersenyum. Ia masih tetap memandang Maora tanpa melepas senyumnya.
“Mencurigakan,” gumam Maora sambil balik memandang Hasan. Tatapannya serius.
Mereka pun saling menatap, Maora dengan ekspresi seriusnya dan Hasan dengan wajah yang tak lepas dari senyum.
“Aku sudah ikut ujian, dan lolos,” ekspresi Maora berubah. Senyumnya mulai mengembang, kedua alisnya terangkat tanda antusias.
“Terus..terus? Bisa masuk Farmasi?” tanya Maora.
Hasan menggeleng, ia masih tersenyum saat berbicara.
“Teknik Kimia,” kata Hasan.
“Teknik Kimia?” Mata Maora membelalak. Hasan justru tertawa melihat wajah Maora yang syok.
“Kenapa tidak jadi Farmasi?”
“Agar bisa sering bertemu denganmu, berdiskusi denganmu,” kata Hasan masih dengan tawanya.
“Jangan becanda!” Maora terlihat serius.
Hasan pun berubah serius, “Aku sudah mempertimbangkan banyak hal, mengapa berubah dari Farmasi ke Teknik Kimia,” katanya.
“Kalau aku ambil jurusan Farmasi, hanya ada dua pilihan. Bekerja di perusahaan farmasi atau harus punya modal besar untuk mendirikan apotek. Sedangkan perusahaan farmasi juga bisa dari lulusan Teknik Kimia. Itu sudah poin lebih jika aku sarjana Teknik Kimia. Selain itu, kalau aku ambil Teknik Kimia, jangkauan perusahaan yang memberikan peluang lebih luas selain industri farmasi, seperti industri minyak dan gas, industri Fast Moving Consumer Goods misalnya Unilever dan Nestle. Juga ada industri kosmetik, petrokimia, pangan, pengolahan limbah, dan bisa juga jadi konsultan engineering,” jelas Hasan.
Maora yang di depannya tidak sadar jika mulutnya sedikit terbuka sambil memandang Hasan.
“Amazing! Kamu keren banget!” Maora spontan berkomentar. Ia langsung menutup mulutnya begitu tersadar. Hasan tertawa melihat Maora yang jadi salah tingkah.
“Jadi, sebagai seniorku, Maora harus banyak membantu dan membimbingku dalam kuliah,” kata Hasan sambil tertawa.
Maora hanya tertawa. Ia tidak pernah membayangkan mereka semakin dekat.
“Karena Maora tidak pulang, mau memaniku ke perpustakaan?” tanya Hasan.