Pukul 7 malam waktu Chicago. Lincoln sudah bersiap untuk turun. Menyimpan kembali earphone ke tempatnya, dan mempersiapkan jiwa dan raga untuk berpetualang di kota terbesar di Illinois itu.
Pemandangan langit tentu telah berganti. Matahari beristirahat dari tugasnya, digantikan oleh bulan. Bintang-bintang memperlihatkan cahayanya yang jika dilihat dari jauh seperti hamburan glitter untuk prakarya.
Pesawat mendarat. Orang-orang mulai berdesakan. Hampir tak ada celah untuk Lincoln keluar. Ia hanya perlu waktu yang tepat. Tak lama, antrian keluar kapal terbang berkurang. Lincoln menurunkan kopernya dan menyeretnya disertai deritan dari roda-roda yang mulai berkarat.
Lincoln menginginkan keadaan di Bandara O'Hare saat ini begitu tenang. Ia cukup kelelahan hari ini. 20 jam lebih berada di udara bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Ya, walaupun Lincoln sudah beberapa kali ke Chicago untuk berlibur bersama keluarga.
Harapan musnah seketika. Apa yang ia inginkan tak sebanding dengan realita yang ada. Puluhan orang, bahkan mungkin ratusan orang memadati bandara ini. Seperti tak ada jalan keluar layaknya labirin. Di tengah-tengah ia menggunakan pikirannya untuk mencari gerbang kebebasan, seseorang memanggil namanya.
"Lincoln!" seru seseorang. Refleks, Lincoln mengedarkan matanya ke sekeliling. Mencari siapa yang memanggil namanya. Ia menyipitkan matanya. Berusaha untuk fokus. Tepat di dekat pintu keluar, pria paruh baya berjas hitam lengkap dengan dasi dan celana yang senada serta kacamata berbingkai biru gelap melambaikan tangan ke arahnya. Lincoln pun mendekati pria tersebut tanpa curiga. Tatapan pria tersebut tak terlihat asing.
"Hey, Lincoln!" seru pria itu sumringah. Pria itu adalah teman dari ayahnya Lincoln.
"Mr. Wilde? How are you?" tanya Lincoln dengan menyalin ekspresi pria itu. Mereka berjabat tangan.
"I'm fine, absolutely."
"Me too," tawa cringe mereka ungkapkan.
"Mengapa kau berada di sini, Mr. Wilde?" lanjut Lincoln.