Maple Note

Hildan Fadhilla
Chapter #3

Half Day

Srup...srup...

Lincoln menyeruput kopi yang baru larut. Uap panas keluar dari rongga-rongga busa yang terlihat creamy itu. Didapatinya ketenangan yang hinggap sedikit demi sedikit. Hmm...nikmatnya.

Baru lima detik berjalan, ketenangan yang ia dapatkan agak terusik oleh memori yang terus berputar dari semalam hingga ia baru bisa tidur tepat jam 12 malam. Gadis itu. Kembali hadir di pikirannya. Memandanginya tanpa berkedip dan hati yang mulai dag dig dug. Rasanya aneh kalau ia benar suka kepada gadis itu. Karena ini adalah pertama kalinya mereka bertemu. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

Lincoln menaruh cangkir kopi di atas meja dapur. Ia duduk di sisi tempat tidur. Tangannya mengambil daun maple yang ia simpan di bawah bantal. Entah mengapa, ia sangat yakin bahwa gadis itu ada hubungannya dengan daun maple yang ia temukan di jalan sesaat setelah sang gadis itu pergi dengan terburu-buru. Namun, di lain hal, ia tidak yakin akan hal itu. Bisa saja daun maple itu kabur dari rumah kayu besar yang selama ini ia tinggali. Ini begitu membingungkan.

Lincoln memutuskan untuk melupakan kejadian singkat semalam beserta sang gadis. Diambilnya hadiah pemberian Mr. Wilde. Lincoln membukanya dengan rasa penasaran. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat apa isi dari hadiah Mr. Wilde. Sebuah kamera bermerek Nikon D3300. Lincoln berdecak kagum. Matanya berbinar-binar. Seperti mimpi mendapatkan kamera yang harganya cukup menguras dompet itu.

Jari jemari Lincoln mulai beraksi. Tekan sana, tekan sini. Beberapa benda di ruangannya secara acak, ia abadikan dalam bentuk digital. Termasuk daun maple itu.

Lincoln membidik ke arah dinding putih tanpa ada lukisan ataupun figura foto di sana. Terlalu kosong. Sepertinya aku harus mengisinya dengan sesuatu. Tapi, apa ya? ungkapnya dalam hati.

Tiba-tiba, kruukk...kruukk. Bunyi perut Lincoln terdengar nyaring seperti siulan teko berbahan stainless steel. Rupanya, ia baru ingat kalau ia belum sarapan. Ia berhenti memotret. Meninggalkan kamera barunya sendirian di atas kasur. Dua bratwurst, satu telur dan sebungkus sayuran beku yang ia bawa dari Indonesia, ia keluarkan dari kulkas. Memasaknya di atas fry pan dengan tambahan margarin. Aroma lezat tercium keluar. Tak perlu waktu yang lama, makanan sederhana ala mahasiswa rantauan siap saji. Pftt, pftt, pftt, harumnya...

Beberapa saat kemudian, makanan yang enak rasanya tersebut sudah berkelana di perut Lincoln. Kopi panas yang sekarang sudah dingin juga telah mengalir di saluran pencernaan. Kenyang sudah.

Klik! Lincoln menjetikkan jarinya. Ide cemerlang muncul di kepalanya. Tanaman yang digantung di dinding tertera dalam bayang-bayang pikirannya. Segera, ia mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi keluar. Kaus polos putih, jaket trucker hijau army, celana jeans ketat, dan sepatu sneaker hitam bergaris putih terlihat keren di dirinya. Lincoln menyimpan kamera barunya di samping lampu tidur.

Lincoln melangkahkan kaki ke luar apartemen. Udara sejuk menyambutnya. Ia menghirup dalam-dalam sampai badannya merasa segar kembali. Terlihat dari tempat ia berdiri, parkiran apartemen begitu ramai. Pepohonan berdiri dengan tegaknya. Daun-daun mulai berubah warna. Suasananya hangat.

Ia membuka kunci ponsel apelnya. Mencari toko bunga yang dekat dengan apartemen lewat peta digital. Beberapa pencarian muncul. Dan, Cornell Florist ia pilih untuk dikunjungi. Untuk menuju ke sana tidak jauh. Berjalan kaki pun bisa. Tapi, ia sedang tak ingin melakukannya karena dua alasan. Pertama, itu cukup menghabiskan waktu hampir setengah jam. Lumayan lama. Yang kedua, ia malas. Sebenarnya, ia ingin naik transportasi umum seperti taksi ataupun kereta. Tapi, ia tak mau keluar uang. Ribet memang. Beginilah anak perantauan. Berusaha untuk menghemat uang yang ada. Tak sengaja, Lincoln melirik ke arah parkiran. Sebuah sepeda tua merah berkeranjang terparkir. Ia tahu siapa pemilik kendaraan minimalis itu. Pria berpakaian rapi yang usianya sekitar 40-an, ia hampiri.

"Good morning, Mr. Camden," sapa Lincoln.

"Good morning, boy." balas pria itu ramah. "What can I do for you?"

"Hm..do you mind if I...ride your bicycle for...two hours?" pinta Lincoln gugup.

"Of course. Why not?" Mr. Camden membolehkan.

"Really? Thank you, Mr. Camden," kata Lincoln sambil melakukan handshake pada pria yang bernama asli Duke Camden itu.

"No problem," ucap Mr. Camden. Lincoln pun segera menuju sepeda yang terletak di sudut parkiran. Ia pun mulai mengendarainya.

"I'll be back soon! Don't worry!" teriak Lincoln dari dekat pagar hitam.

"I believe in you!" sahut Mr. Camden. Kakinya jinjit.

Sepeda tua yang masih awet itu berkendara di jalanan besar. Lincoln menikmati petualangan pertamanya itu. Toko-toko berdekorasi unik di sisi kanan dan kirinya membuat suasana semakin meriah. Orang-orang ramai memenuhi trotoar yang luas. Lincoln tersenyum sendiri. Hiruk pikuk di Chicago ia jadikan sebagai sukacita yang sempurna. Kendaraan-kendaraan besar terasa memojokkannya seperti benda yang tak berguna disaat macet mulai berteriak terlalu kencang. Lincoln tak merasa khawatir. Dengan mudahnya, ia melewati jalur sempit antara dua mobil dimana motor pun tak bisa melakukannya. Hanya butuh waktu 7 menit lebih sedikit untuk sampai di Cornell Florist.

Lihat selengkapnya