Bagi pasangan manusia yang dimabuk cinta, tanggal 14 Februari menjadi hari cantik penuh warna merah. Diskon hari cinta di mana–mana. Berduaan di rumah pun juga tidak apa. Betapa menyenangkan hari penuh kasih sayang ini. Gemerlap kota Jakarta terlihat indah dikelilingi gelembung cinta.
Sayangnya Alen tidak bisa merayakan vibe hari kasih sayang itu. Mood-nya sudah hancur. Tak ada yang menghiburnya selain radio mobil kekasihnya.
[“One point two and three MyTime Fm, the time is yours! Balik lagi sama gue, Nando dan partner gue, Serin di program Me Time edisi valentine!"]
[“Kalau tadi ada Taylor Swift-Red menemani malam penuh cinta, saatnya kita berdua yang akan mewarnai malam kalian edisi Tell-Me Time lagi!"]
["Buat Gen U yang baru bergabung di Me Time, masih ada kesempatan buat ceritain kegiatan kamu selama valentine hari ini di Kilogram atau Twitwor kita, at mytimefm."]
["Mau request lagu juga boleh banget sertain curhatanmu di Tell-Me Time bareng Serin dan Nando. Yuk langsung aja kita bacain gabungan yang udah menggunung di inbox."]
Sisi tubuh Alen bersandar di kaca mobil. Melihat malam terlalu kelam tanpa setitik cahaya bulan yang berpasangan dengan bumi. Apakah bulan juga sedang menjauh karena bumi lebih memilih merayakan valentine dengan manusia? Mungkin begitu.
Mobil yang ia tempati ini sedang berhenti di depan restoran WekDi. Alen cukup iri melihat manusia berpasangan yang makan di WekDi itu. Cupid sepertinya senang membuatnya iri terpampang jelas sehingga ia melihat pemandangan manis nan hangat itu dari jendela. Alen sampai memalingkan wajah karena salah satu pasangan bucin sedang menyuap makanan satu sama lain.
Panjang umur, iri dengkinya mulai menghilang saat pintu kemudi terbuka. Alen betah menatap lahan parkir WekDi yang luas diisi beberapa mobil gelap. Sepertinya hanya mobil kekasihnya yang berwarna silver.
“Maaf, Sayang. Antriannya tadi cukup panjang,” jelas kekasihnya menaruh sekantong makanan WekDi di atas dashboard. Bau kentang goreng dan burger bersatu padu dengan pendingin mobil. Pria berkacamata minus itu mengambil air mineral dan membuka segelnya.
“Ayo minum dulu.”
Alen masih memalingkan wajah. “Gak usah. Buat kamu aja.”
“Len, lihat wajah kamu pucat begitu. Minum dulu biar gak haus—”
Alen mendadak menepis tangan sang kekasih hingga airnya tumpah kemana–mana. Kerudung dan pakaiannya tak luput basah.
Alen terkejut cipratan airnya mengenai wajah sekaligus kacamata kekasihnya.
“Ya ampun!” Sang pria merapatkan botol mineral dan mencari tisu di laci dashboard. Alen terdiam melihat tumpahan air mengenai pakaian mereka. Gerak cepat kekasihnya mengusap sisa–sisa air di baju dan kerudung Alen, lalu dia mengusap cipratan air di pipinya.
"Kotak kacamata … ketemu!" Kekasih Alen meraba daerah dashboard hingga menemukan kotak kacamata biru. Dia melepaskan kacamata untuk membersihkan sisa air.
Alen bergeming. Menatap kekasihnya yang tak kalah tampan dari pasangan bucin di restoran WekDi. Siapa yang tidak luluh dengan pria perhatian ini. Padahal Alen yang melempar air mineral itu dan tidak melihat tutupnya sudah terbuka. Makanan di dashboard pun tetap dibeli meskipun dia tidak menginginkan.
Bahkan setelah apa yang terjadi hari ini, Alen merasa tidak pantas satu mobil lagi dengan pria baik ini.
“Duh, baju kamu basah.” Kekasihnya khawatir setelah membersihkan kacamata. Ia tidak memperhatikan Alen yang menatap kegiatannya seperti patung. Dia melihat ada jaket menganggur di kursi belakang dan mengambilnya. Jaket hangat itu segera diselimutkan ke tubuh Alen.
“Pakai ini dulu. Aku mau membersihkan sisa air.”
Lihat. Betapa indahnya senyuman pria baik hati ini kala wanita dihadapannya mengatup bibir rapat–rapat. Seakan dia tidak melihat emosi yang bercampur aduk di wajah wanitanya. Tangan kekasih Alen bergerak cepat mengambil tisu lain untuk membersihkan sisa air di jok mobil dan pakaiannya sendiri.
Ah … ini semua memang salahku yang terus membuat orang lain kerepotan.
Alen mengerti. Kalau saja dia tidak di sini, Alen tidak perlu melihat kesatrianya kerepotan karena tumpahan air. Kalau dirinya tetap bertahan di sisi sang kekasih, maka segala bentuk kesalahan akan terus mengikuti pria ini selamanya.
Akhirnya ditemukan kesimpulan; Alenia adalah penyebab semua kesalahan ini sejak awal.
“Novan.”
“Iya Alen sayang?”
Tiba–tiba kekasihnya berhenti bergerak. Ia menoleh dengan senyuman indah yang terlihat baik–baik saja.
“Oh, masih ada sisa air di pipimu ya.” Kekasihnya mengambil tisu lain untuk mengusap pipinya yang terlihat bagai tetesan air. Namun, Alen menghentikan tangan itu.
“Alen?” Detik berikutnya pria itu menyadari ada hal yang aneh. Sepasang bola mata yang ia sukai mulai berkaca–kaca. Ia tersadar jika sisa air di pipi Alen adalah setitik air mata.
“Benar kata bundamu, gak seharusnya kamu mengenalku.” Alen berbicara setenang air meskipun hatinya keruh.
“Apa maksudmu?” Senyuman indah kekasih Alen mulai pudar.
Alen menarik napas pelan sebelum berkata hal yang selalu ia pendam sepanjang jalan. “Lebih baik kita berpisah saja.”
“Len, jangan bercanda,” elak kekasihnya yang tak percaya, “K-kok tiba–tiba bilang pisah? Mengenalmu adalah anugrah terindah buat aku. Bunda yang gak tahu apa–apa tentangmu. Kalau karena ucapan Bunda … aku minta maaf—”
“Kamu sudah lihat sendiri bagaimana reaksi Bunda dan Ayah kamu,” sela Alen menahan air matanya agar tidak terjatuh lagi. “Karena … karena aku hadir di acara ulang tahun sweet seventeen adikmu, acara keluargamu hancur. Seharusnya aku tidak datang kesana.”
“Len, ini bukan salahmu! Justru kalau gak ada kamu adikku—”
“Kalau kamu selalu bersamaku yang ada kamu kena sial terus!” Alen akhirnya menggertak. Pria baik di hadapan Alen akhirnya terdiam. “Ini semua gak akan terjadi … kalau kamu tidak mengenalku.”
Alen melempar jaket dan keluar dari mobil. Ia berjalan cepat meninggalkan mobil kekasihnya tanpa menoleh ke belakang. Sampai derap kaki menyusul dan menghadang Alen dengan tubuh tegapnya.
“Len! Tunggu sebentar—Alen!”
Alen berhasil dikejar. Kekasihnya menahan pundak Alen beranjak. “Kita bicarakan ini baik–baik oke? Atas nama keluargaku, sekali lagi aku minta maaf sebesar–besarnya karena sudah melukai perasaanmu. Aku paham dan marah melihat kamu diperlakukan buruk sama Bunda, tapi—”
“Apa? Tapi apa, Novan? Buat apa aku bertahan dengan hubungan yang selalu salah di mata keluargamu?” Mata Alen memanas. “Ucapan bundamu gak salah kok, aku memang bukan dari keluarga baik–baik. Aku dari kasta rendah dan aku terlihat cacat di matanya! Itu semua benar.”