Malam berganti pagi. Pagi menjadi siang. Jalan raya ibu kota menyaingi semut yang berburu makanan manis. Matahari telah naik, langit biru tetap cerah, lebih nikmat ditemani secangkir kopi dan makanan ringan saat jam istirahat datang.
Dulu, Alen merasa beban hidupnya adalah kelompokan tugas, organisasi, skripsian, dan menangisi mantan. Selama empat tahun meninggalkan kisah hidupnya sebagai budak cinta, Alen melakukan rutinitasnya sebagai budak korporat. Masa kini sendi–sendi tubuh atau ototnya mendadak berumur tua. Seperti sekarang, tengkuk lehernya pegal–pegal setelah bekerja. Berjalan di trotoar secara lambat, ia tidak ingin berpikir banyak selain cepat membeli kopi dan makan siang lalu rebahan di sofa restroom.
“Aduh ada nenek cantik lagi jalan–jalan!” Pria berkemeja biru langit itu merangkul Alen tanpa dosa.
“Aih!” Alen hampir terjungkal saat tangan lain merangkulnya tanpa aba–aba. “Berisik. Leher gue lagi pegal, lepasin!” Alen berusaha melepaskan diri dari rangkulan pria di sampingnya. Amat disayangkan Alen tidak memiliki tenaga yang cukup mengusirnya.
“Nanti bang Je beliin koyo.”
“Ngomong doang.” Alen mencibir.
“Kapan abang Je bohong? Apa sih, yang gak buat ayang.” Wajahnya mulai mendekat ke sisi kepala. Tangan Alen cepat tanggap menghindari bibir pria yang akan menyentuh pucuk kerudungnya.
“Ayang your eyes. Gak usah aneh–aneh! Kita lagi dijalan, Jaime!” Mata Alen melotot. Ia agak takut orang–orang memperhatikan tingkah pria yang dianggapnya tidak jelas ini.
“Alen maunya kita berduaan di pojokan ya? Abis ini kita berduaan di tempat nasi padang ya.”
“Ngaco–aduh pelan–pelan jalannya! Leher gue hampir patah!”
Alen pasrah tubuhnya diseret Jaime. Kehadiran rekannya memikat beberapa wanita selama perjalanan menuju tempat pertama mencari makan siang. Pada akhirnya Alen sampai di depan kafe MoonBucks. Sebelum mencapai pintu Alen mendadak membatu di tempat. Jaime pun berhenti dan menatap Alen kebingungan.
“Kenapa mata lu jadi kecil gitu?” Jaime menyadari Alen terlihat memandangi orang–orang dari jendela kafe dengan serius.
“Lupa gak bawa kacamata.”
“Udah seribu tahun gue selalu bilangin pakai kacamatanya terus.” Jaime mencubit satu pipi Alen niat menjahili, tetapi tangannya berhenti saat digenggam Alen.
“It—itu—”
“Itu apa? Lu mau foto di pohon natal?”
Alen menarik Jaime menjauh dari pintu kafe. Tubuh mereka bersandar ke jendela bagai mengendap di dinding. Jaime benar–benar bingung melihat wajah Alen terlihat ketakutan.
“Lu bikin gue takut! Kayak liat hantu aja.”
“Iya, pasti itu hantu.” Alen berbicara sendiri.
“Hah? Lu bisa lihat ‘penghuni’ di sana?” Jaime menoleh ke jendela, panik dengan reaksi Alen.
“Jangan lihat ke dalam!” Tingkah Alen semakin tidak jelas.
“Ada siapa emangnya?”
“Mas mantan.”
“Oh, mantan.” Jaime mengangguk sampai akhirnya iya mengerti dengan tingkah Alen. “Mantan yang lu putusin di WekDi itu?” Reaksi Jaime lebih terkejut dari tingkah Alen yang melihat hantu.
“B-bagaimana bisa? Kok bisa dia ada di sini?” Alen mengintip ke kafe sekilas. Tangannya memegang dada yang berdegup kencang. “Apa karena gue belum makan jadinya halu begini?”
Jaime memutar tubuh untuk melihat pemandangan kafe lebih jelas. Satu tangannya melindungi mata dari silau matahari. “Anjir. Beneran si mantan terindahnya Alen. Lagi ngopi bareng cewek, toh. Mbak, ayo ngadep sini, Mbak.”
“Jangan lihat–lihat nanti ketahuan!” Alen menarik Jaime kembali bersandar di kaca jendela kafe. “Bodo amat dia lagi ngopi atau nyimeng sama siapa. Mending kita ke MoonBucks aja, di sana biasanya banyak diskon.”
Jaime menahan tubuh Alen pergi. “Jangan, Len.”
“Lebih enak di sana. Nanti kita telepon—”
“MoonBukcs lagi rame di boikot gara-gara diminum selebgram yang baru ditangkap polisi kemarin.”
“Alamak, seremanya.” Alen menutup mulutnya. “Ya udah kita beli nasi padang dulu!”
“Kasian G-Cool kebauan rendang gara–gara kita.”
"Duh!" Alen mengusap wajahnya pasrah. “Ya kalau begitu mending lu aja yang masuk beli kopinya.”
“Len, gue yakin mantan lu gak bakal bertingkah aneh Mereka pasti gak ngeh orang yang beli kopi. Kita juga udah terlanjur iyain titipan anak–anak di sini. Abis itu capcus ke nasi padang, deh.”
Perkataan Jaime ada benarnya. Alen merasa geregetan. Dia ingin sekali pergi dan mengacak–acak kepalanya yang berkerudung, tetapi menyayangkan penampilannya. Ia merasa terlanjur datang dan mengemban amanah membeli minuman.
“Oke, fine! Kita pesan secepatnya. Pokoknya semua yang beli dan transaksi lu yang urus.”
“Asalkan lu bawa kartu member sama kartu debitnya, abang Je yang urus semuanya. Muach.” Jaime menggoda rekannya sekali lagi.
“Awas—”
“Udah ayo masuk!” Jaime mendahului Alen yang bersiap–siap menepuk mulutnya. Pria itu sudah membuka pintu kafe dan masuk tanpa merasa bersalah.
“Oke, sabar Alen. Sekarang pesen kopi dulu baru makan. Fokus! Bersikap natural tanpa melihat apa–apa.” Alen menarik dua pipinya agar mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terjadi di kafe nanti. Lalu, ia menyusul Jaime. Tak peduli dengan aktivitas orang-orang di kafe—atau sosok yang sedang ia hindari.
Sampailah Alen yang lupa membawa kacamata di sisi Jaime memandang display menu di atas kasir jalur pemesanan. Dia mengeluarkan ponsel membuka catatan memo lalu menyerahkannya pada Jaime.
“Mbak, pesan ice frappe cappucinous satu, ice whitepuff coffee dua, caramelice cool satu, choco sunday yang dingin dua.” Jaime menyebut semua pesanan sesuai catatan memo Alen kepada pelayan kasir.
“Kebetulan kami sedang launching varian terbaru Sunday Season. Ada tiramisu sunday dan velvet sunday. Setiap pemesanan Sunday Season varian terbaru akan mendapatkan potongan diskon lima puluh persen. Berlaku untuk ukuran large dan medium.” Petugas kasir menawarkan promo yang terpajang di samping mesin kasir. Penampakan dari menu varian baru yang dipromosikan terlihat menggiurkan.
“Berarti kalau beli dua, diskon seratus persen?” Alen mendadak penasaran dengan tawaran diskon sang karyawan.
“Kalau lu beli dua, satuan harganya tetap dapat diskon lima puluh persen,” jawab Jaime agar penjelasan promosi menu tersampaikan dengan baik.
“Benar dong, seratus persen. Lu beli dua yang harganya lima puluh persen sama aja dengan harga beli satu gratis satu,” jelas Alen melanjutkan perdebatannya.
“Gini Len, bayangin lu beli nasi padang lagi diskon. Harga normalnya sepuluh ribu ke lima ribu. Terus lu pengen beli dua, total bayarnya jadi sepuluh ribu. Nasi padang yang lu beli masing-masing lima ribu.” Jaime menunjukkan lima jari bagai hitungan uang.
“Tetap aja jatuhnya beli dua nasi dengan harga satu nasi. Iya ‘kan, Mbak?” Alen kembali menatap pelayan kasir yang tetap tersenyum dalam kebingungan.
“Gak usah diladenin, Mbak. Ayang saya emang gak jela—aw!” Alen langsung memukul pundak Jaime tanpa peringatan. “Aduh … sakit, Say.”
“Ba–wel.” Alen menatap Jaime dengan kejam, kemudian menatap pelayan kasir dengan senyuman manis. “Kalau gitu kami ganti pesanan yang varian sunday sebelumnya jadi tiramisu dan velvet yang cool.”
“Baik, Kak. Ukuran gelasnya small, medium, atau large?”
“Medium semua.”
“Baik, Kak. Saya sebutkan lagi pesanannya. Ice frappe cappucinous satu, ice whitepuff coffee satu, caramelice cool satu, Sunday season topping tiramisu dan velvet yang cool masing-masing satu. Ukuran gelas semuanya medium. Ada tambahan menu lain?”
“Tidak. Itu saja.” Alen mengangguk, membiarkan Jaime mengusap pundaknya sedih seakan dimarahi sang ibunda.
“Len, ada telepon.” Jaime menunjukkan layar ponsel yang mendadak bergetar.
“Dari siapa?"
“Nomor asing.” Jaime memberikan ponselnya kepada Alen. “Jangan–jangan ada stalker yang ngikutin lu.”
“Selebgram aja bukan kenapa jadi stalker gue? Palingan undian berhadiah bodong.” Alen menatap layar teleponnya lima sekon lalu menerima panggilan asing tanpa merasa curiga.
“Halo, assalamualaikum.” Alen menunggu jawaban pemanggil misterius itu. “Halo? Ini siapa?” Alis Alen naik. Tidak ada suara sama sekali. Terlalu hening untuk menebak siapa gerangan yang menghubunginya. Kemudian Alen menatap layar teleponnya yang mendadak mati.