Bagai terpanggang panasnya ultraviolet, Alen merasa dari kepala hingga punggungnya terbakar. Tubuhnya rukuk sembilan puluh derajat. Dua tangannya berpegangan di dinding kusam. Emosinya yang tertahan tengah menguap. Mungkin orang bilang tingkat kematangannya telah mencapai medium rare.
“Len, minumannya keburu mendidih, nih.”
“Gue mau ambil napas dulu.”
Jaime khawatir dengan temannya. Setelah keluar dari MoonBucks, Alen berjalan cepat mencari pegangan. Kebetulan mereka hampir sampai ke Rumah Makan Padang, namun Alen memilih berhenti sejenak di dinding toko perlengkapan ATK dan fotokopi.
“Gue turut berduka cita atas apa yang terjadi.” Jaime merasa berbela sungkawa atas peristiwa yang menimpa Alen serta dirinya.
“Lu sendiri yang bilang kita cuman beli kopi,” balas Alen penuh dendam.
“Kita emang beli kopi.”
“Masalahnya kenapa dia malah nyamperin gue!” Alen berteriak kesal. “Mau ditaruh mana muka gue ini."
Jaime ingin sekali mengusap punggung Alen. Sayang sekali dua tangannya membawa tas karton minuman.
“Sorry Len, andaikan MoonBuck gak di boikot, gue bakal nerima usulan lu ke sana.”
“Bodo amat!” Alen mulai bangkit. Satu tangannya masih menyeimbangkan tubuhnya yang cukup lemah menahan kejengkelannya. “Mau dia tunangan atau nikah sama cewek lain gue gak peduli tapi—”
“Tarik napas dalam–dalam, lalu keluarkan.”
Alen menarik napas panjang, lalu diembuskan kasar bagai banteng yang bersiap menabrak kain merah matador.
“Bagus. Lanjutin.” Jaime mempersilakan Alen kembali berbicara.
“Mukanya nyebelin banget, sih!” Alen mengingat detik-detik perempuan bernama Anggun itu memperkenalkan sang mantan terindah sebagai tunangannya. “Wah … gue bisa baca pikirannya waktu pamer cewek baru.”
“Maksudnya Novan balas dendam karena diputusin duluan?”
“Iya! Pasti gitu!” Alen mengangguk yakin. “Gue sempat menduga bakalan bertemu dia lagi antara doi yang udah punya pacar baru atau gue. Ternyata benar dong! Mana doi makin glow up. Gue belum siap berhadapan sama dia!” Alen menggaruk belakang kepalanya frustasi, tak peduli kerudungnya mulai berantakan.
“Doi?” Jaime tersenyum jahil. “Ternyata seorang Alen masih manggil mantannya … doi?”
“Berisik!” Alen mencubit dua pipi Jaime agar diam. “Emang kenapa kalo gue nyebut doi?”
“Twapi lwu udwah gwak swama dwoi lagwi.” Jaime tetap berbicara saat Alen masih mencubit pipinya. “Aw, pwipi uwe swakit aw.”
“Mau gue bilang doi, dai, daki, terserah gue.” Lalu Alen melepas pipi Jaime begitu saja. “Gue akui Novan belum sepenuhnya hilang dari ingatan gue. Ah, sial! Tadi malam pun juga mimpiin dia lagi.”
Alen mendadak tersadar akan ucapannya. “Jangan–jangan mimpi tadi malam jadi pertanda kejadian hari ini?"
“Wajar kalau lu belum bisa lupain Novan. Lu suka bucin akut gitu,” tambah Jaime mengingat masa lalu seorang Alen. “Lucu juga lu sampai mimpiin dia. Mimpi apaan lu?”
Alen menatap sinis rekannya. “Teror zombie.”
“Lu jadi zombie?”
“Lu sama Novan, bego!” Alen segera pergi dari tempat mengeluhnya. “Bisa-bisa kalian jadi zombie karena makan kacang ijo. Aneh banget gue sampai mimpi kayak begitu.”
“Gue? Gue juga ada di mimpi lu? Jadi zombie? Hohoho menarik.” Jaime merasa bersemangat dan menyusul ke sisi Alen. Seakan kemarahan Alen tidak ada apa–apanya, Jaime merasa tenang Alen mulai mengontrol emosinya untuk melupakan sejenak kejadian di MoonBucks.
+++
Dua manusia budak korporat yang sedari tadi mendambakan nasi padang sampai di Rumah Makan Padang Satu Nusa. Jaime melangkah duluan untuk memesan makanan mereka.
"Mas Eki! Masih ada perkedelnya?"
"Masih, dong! Baru aja diangkat dari penggorengan." Penjaga rumah makan menyahut saat berjibaku dengan bungkusan nasi.
“Lagi banyak pesanan ya, Mas?” Alen ikut menyapa penjaga rumah makan.
“Alhamdulillah ramai, pesanan anak kampus belakang yang jadi panitia.” Eki, pria berpeci bulat yang terlihat lebih tua dari Jaime dan Alen menjawab rasa penasaran mereka berdua.
“Ya udah, Bang, kita tungguin di meja,” tanggap Jaime.
“Bungkus atau makan di sini?”
"Bungkus, Mas. Kayak biasanya, pakai sambal merah dan ijo. Banyakin singkong, perkedelnya masing-masing dua."
"Oke siap! Mohon ditunggu." Pemuda berpeci bulat itu memberi tanda jempol lalu membuat pesanan nasi bungkus lainnya. Kemudian Jaime maupun Alen menunggu pesanan di meja salah satu meja paling tengah.
“Tumben sepi.” Jaime duduk setelah menata pesanan kopinya lalu duduk di samping Alen. “Harusnya kita ke sini dulu biar gak ketemu Anggun sama Novan di sana.”
Wanita itu mendadak berpikir keras. “Anggun … kayaknya gue pernah ketemu dia sebelumnya.” Matanya menyipit lurus ke televisi menayangkan berita entertaiment.