Dari kejauhan, sebuah mobil hitam dengan beberapa deret angka dan huruf pada plat-nya tampak semakin mendekat mengarah pada rumah bertingkat yang memiliki halaman luas itu. Bola mata Boby dan Chlory yang sedang duduk di teras sembari menikmati secangkir teh hangat bergerak mengikuti arah laju mobil yang berhenti tepat di gerbang rumah milik asisten Big Bos itu.
Klakson mobil berbunyi, menandakan bahwa tumpangan Boby dan Chlory telah sampai. Boby menghampiri mobil tersebut yang di dalamnya telah terduduk seorang pemuda memakai kacamata hitam di kursi kemudi, yang tidak lain adalah Aden. Samar-samar Boby tersenyum, merasa puas karena sepertinya Aden sudah menerima tawarannya dengan ikhlas.
Boby melihat pergelangan tangannya yang dililiti arloji. Pukul 07.25 A.M, masih terlalu pagi untuk berangkat, pikir Boby. Boby mengetuk kaca mobil, menawarkan teh pada Aden sebelum berangkat ke lokasi yang diam-diam sudah disurvey oleh Boby dan tim yang lain dari jauh-jauh hari. Aden menolak, ia lebih memilih mendengarkan musik di dalam mobil.
Boby kembali menemui Chlory. Dari sudut mata Aden, ia menangkap keakraban antara Boby dan gadis itu. Terlihat dari cara mereka tertawa. Aden kembali memejamkan matanya, bersandar pada kursi kemudi dan menikmati lagu dari earphone yang menggantung di telinganya sembari menunggu Boby dan gadis yang bernama Chlory itu bersiap-siap.
Ransel berukuran jumbo tertangkup di punggung Boby dan Chlory. Boby pergi ke bagasi mobil yang diikuti oleh Chlory untuk menyimpan ranselnya masing-masing.
"Anjir! Lu bawa apa aja, Den?!" ujar Boby kaget saat melihat bagasi mobil yang penuh dengan barang-barang milik Aden.
"Perlengkapan buat nanti di sana lah! Lu pikir cari berita yang akurat sesimple yang ada di otak lu!" sahut Aden yang kini ikut keluar dari dalam mobil menghampiri Boby dan Chlory. "Seminggu itu lama, Bob!" sambungnya.
"Lu kalah sama Chlory, Den!" balas Boby dengan nada sedikit menyindir.
Sekilas mata Aden melirik ke arah Chlory yang tengah tersenyum ke arahnya. Gadis berponi yang memiliki kulit kuning langsat khas Asia itu memang terkenal pemalu dan tidak banyak bicara ketika di kantor. Aden juga melirik pada ransel yang memeluk punggung Chlory, memang terlihat lebih simple untuk ukuran perempuan yang biasanya membawa banyak barang.
Terlepas dari urusan barang bawaan, Aden tidak habis pikir, mengapa di antara banyak rekan kerjanya yang lain, Boby malah memilih gadis ini? Gadis yang tidak pernah bertegur sapa dengan Aden. Gadis yang Aden pun hanya baru mengetahui nama dan rupanya, tetapi belum pernah secara gamblang memperkenalkan diri padanya. Bahkan, sempat terbersit di benak Aden, bagaimana gadis itu bisa menarik minat perusahaan untuk merekrut dirinya bekerja di sana?
Setelah memasukkan ransel-ransel tersebut ke dalam bagasi yang sesak, ketiganya memasuki mobil. Aden kembali duduk di kursi kemudi yang di sebelahnya telah terduduk Boby. Sementara Chlory duduk di kursi belakang, sendirian.
"Lu udah dapet izin dari orang tua lu, 'kan?" tanya Aden sembari melirik Chlory dari spion mobil yang berada tepat di depan atas kepalanya.
Chlory hanya mengangguk tanda membenarkan. Aden pun hanya mengangguk untuk menanggapi.
"Cepetan jalan, Njir!"
Aden memasangkan kembali earphone pada kedua lubang telinganya. Terlalu malas bagi Aden untuk mendengarkan celotehan dari mulut Boby. Aden menginjak pedal gas sehingga roda mobilnya berputar, mengantarkan mereka pada pengalaman yang masih tabu dan tidak bisa ditebak oleh siapa pun, kecuali oleh Sang pemilik alur kehidupan.
***
Seperti yang diperintahkan oleh Kyai Mukhsin, Ihsan mengajak salah satu temannya, Fahmi, yang juga merupakan santri kepercayaan Kyai Mukhsin untuk membantunya membuka gerbang dan semua pintu berikut jendela-jendela pesantren.
Gerbang yang menjulang setinggi empat meter lebih itu menciptakan derit khas seperti besi berkarat yang saling bergesekan ketika dibuka. Maklum, sudah terlalu tua besi itu menjadi saksi perjuangan Kyai Mukhsin mempertahankan pesantren tersebut di tengah masyarakat yang tidak lagi mempercayai Tuhan dan hidup dalam kesesatan.
Perlahan tapi pasti, gerbang besi itu terbuka selebar-lebarnya. Menimbulkan berbagai macam pertanyaan di benak Fahmi yang tak bisa lagi ia bendung.
"Tumben ya, San," Fahmi menggantung kalimatnya sejenak. "Memangnya mau ada yang datang?"
"Sebenarnya, saya juga kurang tahu. Bade naroskeun teh sieun teu sopan, Mi,"² balas Ihsan dengan logat sundanya yang khas.
Fahmi hanya mengangguk paham yang kemudian melanjutkan aktivitasnya membuka seluruh pintu dan jendela pesantren bersama Ihsan.
Dari kejauhan, tampak seorang santri berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke arah Fahmi dan Ihsan yang masih belum selesai mengerjakan tugasnya.
"Kang Ihsan!" serunya.
Ihsan menoleh ke sumber suara yang memanggil namanya. Seorang santri dengan setelan koko dan sarung motif kotak-kotak itu masih berjalan dengan tergesa-gesa.
"Dipanggil Kyai," sambungnya setelah sampai di hadapan Ihsan.