“Suara apa itu?” gumam Meranti yang berada paling dekat dengan kawah Gunung Marapi dalam jarak 500 meter, sambil mendongak menatap ke langit. Ia pikir ada pesawat yang terbang di atas kepala.
“Mera, menjauh dari kawah!” teriak Dika, ketua rombongan dari kampus.
Tak berselang lama, dari lubang kawah menyembur batu-batu panas sebesar tinju orang dewasa.
Para pendaki yang beberapa sedang berada di Tugu Abel—sekitar 700 meter dari Puncak Merpati atau kawah, sontak mencari tempat untuk berlindung. Dika hendak mengejar Meranti yang sendirian berada di posisi paling atas, di antara semua survival yang juga sedang ikut mendaki.
Teriakan histeris dan suara takbir menggema memenuhi udara di sekitar puncak Marapi yang berubah tidak ramah lagi mencekam.
“Mera!” Dika berteriak sembari melindungi kepala dengan ransel yang tadi disandang. Jaket gunung pun dipererat guna meminimalisir panas yang terasa. Hujan batu masih terus berlangsung.
“Dika …!” pekik Meranti cemas. Ia terjebak, berusaha mencari perlindungan. Ia terus merangkak dengan menggunakan ransel sebagai pelindung kepala seperti yang dilakukan oleh Dika.
Baru saja hendak mengejar ke arah suara, satu batu menimpa lengan Dika. Disusul batu berikutnya yang menimpa bahu. Reflek tangan pemuda itu menjatuhkan ransel. Di saat bersamaan, batu selanjutnya berhasil menembus kepalanya. Dika tewas seketika.
“Dika!”
Wahyu yang melihat Dika terkapar sembari terus menerima hujan batu mengenai tubuh, tak dapat berbuat apa-apa. Ia berusaha mencari perlindungan sebisa mungkin.