MARAPI

Da Pink
Chapter #2

#2 Ditinggal Selamanya

"Papa, jangan tinggalkan Mera sama Mama, Pa. Kami nggak akan kuat hidup tanpa Papa."

Raungan Meranti mengiris hati para pelayat yang datang. Betapa tidak, gadis itu dekat sekali dengan papanya. Menjadi anak semata wayang, perempuan pula, sudah jelas memberikan privilese terbaik untuknya. Walau Papa hanya bekerja sebagai sopir pembawa truk berisi material bangunan, segala keinginan Meranti tak pernah tidak terpenuhi.

Kini, di saat usia Meranti genap 18 tahun, ia telah menjadi yatim. Papa meninggal begitu saja, selepas salat Subuh, di bulan Ramadhan pula. Sungguh kematian yang indah. Diidamkan oleh setiap insan. Hanya saja, duka mendalam tertinggal karenanya. Meranti dan Mama, tak bisa merelakan begitu saja. Papa tidak sakit. Tak menyusahkan sama sekali. Ia pergi dalam damai, membawa segunung amal yang tak diketahui banyak orang. Mungkin inilah penyebab, betapa mudahnya malaikat maut membawa ruh milik Papa lepas dari raga.

"Mera, yang sabar, Nak. Tabah kamu, Mer. Allah lebih sayang papamu," ucap Bu Lastri, adik Bu Yuli, mama Meranti.

Meranti terus saja meraung. Matanya telah pun bengkak sampai tak sanggup kelopak itu terbuka sempurna. Ada ganjalan rasanya.

Sementara Bu Yuli, menangis sesenggukan. Ia terus memintakan maaf atas kesalahan sang suami pada pelayat yang berdatangan tiada henti.

"Pak Aslan tidak ada salah apa-apa, Bu Yuli. Justru kami yang jadi merasa kehilangan sosok sebaik beliau. Beliau ringan tangan, menolong orang tanpa pamrih, tanpa banyak mikir," ujar salah satu warga yang sering bergurau dengan Pak Aslan.

"Betul Bu Yuli, semalam saya masih ketawa-ketawa sama Pak Aslan pulang tarawih. Tak disangka subuhnya beliau wafat. Pak Aslan pasti masuk surga. Allah memang sayang betul pada beliau," sambut yang lainnya.

Kesaksian-kesaksian baik seperti ini sejatinya menjadi pelipur lara bagi keluarga yang ditinggalkan. Kehilangan rupanya menyeruak pada seluruh warga. Siapa yang tidak kenal Pak Aslan. Pribadi periang, suka menolong tanpa pamrih, rajin ke masjid, penyayang anak-anak, kini telah wafat dengan wajah tenang seperti tengah lelap dalam tidur. Air muka bersih seolah memancarkan cahaya dari sana. Meranti dan Bu Yuli wajar merasa kehilangan yang begitu kuat.

Detik demi detik seakan melambat. Rengekkan Meranti saat meminta mainan pada Papa, bergelayutan di memori. Ritmenya kadang melambat, kadang bergerak cepat. Berganti-ganti bagai slide show kumpulan gambar. Meranti menatap hampa pada hamparan tikar yang masih dibiarkan terkembang di ruang depan rumah mereka. Tadi, dari pagi hingga sebelum azan Zuhur, jasad Papa masih terbaring ditutup kain jarik hingga terbungkus kafan. Lantas, mereka menandu keranda, membawa raga Papa menuju rumah terakhir. Kemudian, beramai-ramai menyolatkan. Shafnya banyak, hampir penuh satu masjid. Setelah itu, Papa dibawa lagi ke dekat liang. Beberapa orang membantu menurunkan jasad Papa yang terbungkus kafan. Sampai akhirnya Meranti tersentak. Ia berteriak memanggil Papa manakala bayangan pemakaman tadi, mampir lagi di pelupuk mata.

"Mera, sudahlah, Nak. Ikhlaskan papamu."

Bu Yuli yang tengah menghidu aroma tubuh di bekas pakaian yang dikenakan Pas Aslan semalam, langsung melompat keluar ketika mendengar Meranti histeris. Ia peluk gadis itu. Putri kesayangan mereka berdua.

Lihat selengkapnya